Akademi Debocyle adalah akademi yang paling luas, bahkan luasnya hampir menyamai kota metropolitan. Akademi asrama yang sangat mewah bagaikan surga.
Tahun ini, berita-berita pembunuhan bertebaran dimana-mana. Korban-korban berjatuhan dan ketakutan di masyarakat pun menyebar dan membuat chaos di setiap sudut.
Dan di tahun ini, akademi Debocyle tempatnya anak berbakat kekuatan super disatukan, untuk pertama kalinya terjadi pembunuhan sadis.
Peringatan : Novel ini mengandung adegan kekerasan dan kebrutalan. Kebijakan pembaca diharapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garl4doR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Keluh Kesah Investigator
Di sebuah arena tarung di dalam Akademi Debocyle, gema langkah kaki dan napas berat memenuhi udara. Sepuluh siswa dari tim Pershev berdiri dalam formasi defensif, tatapan mereka penuh percaya diri. Di sisi lain, Goliath berdiri di tengah Boris dan dua anggota El-Virness yang tersisa.
“Ini yang kalian sebut tim?” ejek salah satu siswa dari Tim Pershev, seorang pemuda bertubuh kekar dengan rambut pendek berwarna pirang. "Empat melawan sepuluh. Kalian benar-benar sudah kehilangan akal.”
Goliath hanya tersenyum tipis, tatapannya dingin seperti salju di puncak gunung. Ia melangkah maju, tubuhnya yang besar membuat bayangan panjang di lantai arena. “Kalian salah menilai kami,” katanya dengan suara rendah tetapi menggelegar. “Jumlah tidak pernah menentukan hasil. Kekuatan sejati datang dari tempat yang lebih dalam.”
Anggota Tim Pershev tidak membuang waktu lagi. Dengan seruan komando, mereka bergerak serentak, menyerang dengan senjata dan kemampuan khusus mereka. Boris dan anggota El-Virness berusaha bertahan, tetapi keunggulan jumlah lawan terlalu besar. Dalam hitungan detik, dua anggota El-Virness terlempar ke dinding, terkapar dan terluka.
Boris menggeram, menangkis serangan dari dua lawan sekaligus. Namun, ia mulai terdesak. “Goliath! Apa rencanamu?!” serunya.
Goliath tetap tenang, berdiri di tempat dengan tangan disilangkan di dada. Ia menunggu hingga detik yang tepat. Ketika Boris hampir jatuh ke tanah, Goliath mengangkat satu tangan. Energi hitam pekat mulai berputar di sekitar tubuhnya, seperti badai kecil yang mengancam.
“Mundur,” perintah Goliath, suaranya menggelegar di seluruh arena. Boris dan anggota El-Virness yang tersisa langsung mundur, meskipun dengan napas terengah-engah.
Goliath melangkah maju, energi hitam semakin tebal mengelilinginya. Dengan satu gerakan tangan, ia mengarahkan energi itu ke Boris dan anggota El-Virness yang tersisa. Mata mereka seketika menyala merah, tubuh mereka bergetar seperti menerima kekuatan baru.
“Rasakan kekuatan yang sejati,” ucap Goliath dingin.
Boris melompat kembali ke medan, kali ini dengan kecepatan yang mustahil. Ia mendaratkan pukulan kuat ke salah satu siswa lawan, menghancurkan perisai energi mereka dengan satu serangan. Anggota El-Virness lainnya, meskipun awalnya terluka, kini bergerak seperti mesin pembunuh.
“Apa-apaan ini?!” seru salah satu anggota Tim Pershev, ketakutan.
Dalam waktu singkat, keunggulan jumlah Tim Pershev menjadi tidak berarti. Boris dan anggota El-Virness menghancurkan formasi mereka satu per satu, gerakan mereka seperti dipandu oleh naluri pembunuh.
Goliath hanya berdiri di tepi arena, menyaksikan semuanya dengan tatapan puas. “Ini baru permulaan,” gumamnya. “Kalian Adalah pion. Dan pion hanya ada untuk dihancurkan.”
Dalam waktu lima menit, medan laga menjadi sunyi. Tim Pershev terkapar di tanah, sebagian besar pingsan, sementara Boris berdiri di tengah, terengah-engah tetapi tersenyum liar.
“Kita menang,” kata Boris sambil menatap Goliath. “Apa selanjutnya?”
Goliath melangkah ke tengah arena, menatap tubuh-tubuh yang terkapar di sekitarnya. “Selanjutnya? Kita perlihatkan pada mereka semua… bahwa tidak ada tempat aman dari Goliath.”
Ia memandang Boris dan anggota El-Virness lainnya dengan tatapan penuh keyakinan. “Kalian adalah pasukanku. Bersiaplah, ini baru awal dari kehancuran.”
Bau logam darah dan suara napas berat memenuhi udara di arena yang kini penuh dengan tubuh-tubuh tak berdaya. Boris berdiri dengan dada yang naik-turun, wajahnya berseri-seri meskipun darah lawan masih menetes di tangannya. Dua anggota El-Virness yang tersisa berdiri di dekatnya, meskipun luka mereka terlihat, aura baru yang diberikan Goliath membuat mereka tetap tegak.
Sementara itu, Goliath melangkah perlahan menuju pusat arena. Sepatu bot hitamnya berdentang, suaranya menggema dalam keheningan yang mencekam. Ia berhenti di depan pemimpin tim lawan yang masih tersisa kesadarannya, berlutut dengan tangan memegangi luka di perutnya.
Pemuda itu mengangkat pandangannya dengan sisa keberanian. “Apa… yang kau inginkan?” suaranya parau, hampir seperti bisikan.
Goliath berjongkok, tubuhnya yang besar tampak mendominasi pemuda tersebut. Ia mengulurkan tangannya, mencengkeram kerah pemuda itu dan mengangkatnya dengan mudah. Matanya yang gelap seperti menyerap cahaya di sekitar.
“Aku menginginkan apa yang selalu menjadi hakku,” ucapnya dingin. “Dominasi. Dan kau serta tim kecilmu hanyalah langkah kecil dalam perjalananku.”
Dengan satu gerakan, Goliath melempar pemuda itu ke dinding. Tubuhnya terempas dengan keras, tidak lagi bergerak. Goliath berbalik, menatap Boris dan anggota El-Virness lainnya.
“Ini adalah pesan,” kata Goliath sambil mengangkat tangannya, menunjukkan simbol El-Virness yang diukir di sarung tangan hitamnya. “Pesan bagi semua orang di Akademi Debocyle. Mereka yang menolak tunduk akan dihancurkan.”
Boris menyeringai, semangatnya berkobar setelah kemenangan ini. “Apa langkah kita berikutnya, Goliath? Siapa yang akan kita hancurkan berikutnya?”
Goliath menatap jauh ke arah pintu keluar arena, seolah bisa melihat seluruh akademi di balik dinding tersebut. “Langkah berikutnya adalah membuat mereka takut sebelum kita menyerang. Kita akan menyebarkan rumor tentang apa yang terjadi di sini.”
Ia melangkah mendekati Boris, menepuk bahunya dengan kekuatan yang hampir membuat Boris terhuyung. “Dan kau, Boris. Kau akan menjadi wajah dari kekuatan baru ini. Biarkan mereka melihatmu sebagai simbol kekuatan kita."
Boris menegakkan tubuhnya, merasa bangga dengan perintah tersebut. “Aku tidak akan mengecewakanmu.”
Goliath tersenyum tipis, meskipun senyuman itu tidak memberikan kehangatan apa pun. “Bagus. Sekarang, bersihkan arena ini. Pastikan tidak ada jejak yang tersisa. Kita tidak membutuhkan bukti, hanya ketakutan.”
Di balik bayangan di sudut arena yang mulai sepi, Latania memandang dengan napas tertahan. Ia menyaksikan kekejaman Goliath dan pasukannya tanpa bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya menempel pada dinding dingin, berharap bayangan dan keremangan di sekitarnya cukup untuk menyembunyikannya.
Matanya terfokus pada tubuh-tubuh tim akademi yang kalah, sebagian besar tergeletak tidak bergerak, sementara sisanya dipaksa merangkak ke pintu keluar dengan luka yang begitu parah. Latania mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Pemandangan itu membuat darahnya mendidih, tetapi ia tahu, bertindak sekarang hanyalah bunuh diri.
Saat ia hendak bergerak mundur untuk menjauh dari tempat itu, suara berat dan dingin menghentikannya.
“Kau menikmatinya, bukan?”
Latania membeku. Suara itu datang dari tengah arena. Dengan jantung berdebar kencang, ia mengangkat kepalanya perlahan. Goliath berdiri di sana, punggungnya menghadap padanya, tetapi ia tahu, ia berbicara kepadanya.
“Aku tahu kau di sana sejak awal,” lanjut Goliath, kali ini suaranya lebih pelan, namun lebih menusuk. “Jangan khawatir. Aku membiarkanmu hidup… untuk sekarang.”
Ia berbalik perlahan, mata gelapnya seperti menembus langsung ke tempat Latania bersembunyi. Senyum kecil yang dingin muncul di wajahnya.
“Pulanglah, ini peringatan untuk semua pengintai,” kata Goliath dengan nada hampir mengejek. “Apa yang kau lihat hari ini hanyalah awal. Jika kalian ingin menjadi pahlawan, maka bersiaplah untuk mati seperti mereka.”
Latania merasa napasnya tertahan. Ia ingin melawan rasa takut yang merayap di dadanya, tetapi tatapan Goliath membuatnya merasa seperti mangsa yang tak berdaya di depan pemangsa.
“Pergilah, sebelum aku berubah pikiran,” ucap Goliath lagi, kali ini dengan nada peringatan yang tegas.
Tanpa menunggu lagi, Latania berbalik dan berlari, meskipun kakinya terasa lemas. Ia tahu Goliath bisa menghentikannya kapan saja, tetapi ia juga tahu bahwa ancaman itu nyata.
***
Setelah cukup jauh dari arena dan merasa aman, Latania berhenti sejenak di balik pohon besar di taman belakang Akademi. Napasnya masih memburu, dan kakinya sedikit gemetar, tapi ia tidak bisa menahan diri untuk bergumam, “Ya ampun, investigasi sendirian itu benar-benar kerja rodi…”
Ia bersandar pada batang pohon, menepuk-nepuk debu di rok seragamnya dengan ekspresi kesal. “Kenapa harus aku yang selalu melihat hal-hal mengerikan seperti ini? Yang lain pasti lagi bersantai atau bercanda, sementara aku—” Latania menghentikan kalimatnya sendiri, matanya melebar. “Tunggu… jangan-jangan mereka malah sedang ngemil sekarang?!”
Ia mendesah panjang, menjambak rambutnya sedikit dengan frustrasi. “Aku harus mulai menagih biaya lembur ke Al. Ini tidak adil!” gumamnya pelan, meskipun hatinya tahu betul bahwa rasa tanggung jawabnya sendiri yang mendorongnya untuk terus maju.
Latania menoleh sekali lagi ke arah arena yang kini tertutup bayangan malam. Pikirannya kembali pada tatapan Goliath yang seperti melucuti keberaniannya tadi. Tapi kemudian, ia menggeleng cepat.
“Ah, tidak, tidak. Fokus, Latania. Laporkan saja dulu. Dan ingatkan Al untuk traktir minuman, minimal itu.” Dengan ekspresi setengah serius, setengah kesal, Latania melanjutkan langkahnya, mencoba menyeimbangkan ketegangan dan keluhan kecilnya dalam hati.