Judul: Takdir di Ujung Cinta
Soraya adalah seorang gadis sederhana yang tinggal di sebuah desa kecil bersama ayah dan ibunya. Setelah ayahnya meninggal dunia akibat penyakit, keluarga mereka jatuh miskin. Utang-utang menumpuk, dan ibunya yang lemah tidak mampu bekerja keras. Soraya, yang baru berusia 22 tahun, harus menjadi tulang punggung keluarga.
Masalah mulai muncul ketika seorang pria kaya bernama Arman datang ke rumah mereka. Arman adalah seorang pengusaha muda yang tampan tetapi terkenal dingin dan arogan. Ia menawarkan untuk melunasi semua utang keluarga Soraya dengan satu syarat: Soraya harus menikah dengannya. Tanpa pilihan lain, demi menyelamatkan ibunya dari hutang yang semakin menjerat, Soraya menerima lamaran itu meskipun hatinya hancur.
Hari pernikahan berlangsung dengan dingin. Soraya merasa seperti burung dalam sangkar emas, terperangkap dalam kehidupan yang bukan pilihannya. Sementara itu, Arman memandang pernikahan ini sebagai kontrak bisnis, tanpa rasa cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Nadia
Ketika akhir pekan tiba, Soraya bangun lebih awal untuk bersiap. Ia mengenakan pakaian sederhana namun elegan—gaya yang membuatnya tetap terlihat seperti menantu dari keluarga terpandang tetapi tetap nyaman untuk bertemu ibunya.
"Jangan lupa bawa sesuatu untuk ibumu," kata Farida dengan senyum ramah sambil menyerahkan sekotak kecil berisi hadiah.
"Terima kasih, Bu. Ibu selalu perhatian," ujar Soraya, berusaha terdengar tulus meskipun pikirannya melayang ke hal-hal lain.
Saat mobil keluar dari halaman rumah keluarga Arman, Soraya menghela napas panjang. Ia merasa seperti mendapat udara segar setelah sekian lama berada dalam tekanan.
Setibanya di rumah ibunya, Soraya disambut dengan pelukan hangat. Ibunya tampak begitu bahagia melihatnya, meski wajahnya memancarkan sedikit kekhawatiran.
"Kamu terlihat berbeda, Soraya. Apa semuanya baik-baik saja di sana?" tanya ibunya sambil menyajikan teh hangat.
Soraya tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
"Aku baik-baik saja, Bu. Hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri."
Namun, ibunya mengenal Soraya lebih dari siapa pun.
"Nak, jika ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, kamu tahu kamu selalu bisa berbicara padaku, kan?"
Soraya terdiam sejenak, lalu memutuskan untuk menceritakan beberapa hal yang mengganjal di hatinya—tentang pesta makan malam, Nadia, dan pesan misterius yang diterimanya. Ia tidak menceritakan semuanya secara mendetail, tetapi cukup untuk membuat ibunya mengerti bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
"Apakah kamu merasa aman di sana?" tanya ibunya dengan nada serius.
Soraya terdiam, lalu menjawab pelan,
"Aku tidak yakin, Bu. Mereka semua bersikap baik, tetapi rasanya... ada sesuatu yang disembunyikan."
Ibunya menggenggam tangan Soraya dengan erat.
"Hati-hati, Nak. Jangan terlalu percaya pada apa yang tampak di permukaan. Kalau ada sesuatu yang salah, jangan ragu untuk kembali ke sini. Rumah ini selalu menjadi tempatmu."
Soraya merasa hatinya sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan ibunya. Namun, saat ia kembali ke rumah keluarga Arman malam itu, ia disambut dengan pemandangan yang tak terduga.
Begitu masuk ke dalam rumah, ia mendapati Nadia sedang duduk di ruang tamu bersama Farida dan Faisal. Arman berdiri di samping, ekspresinya tegang. Ketika Soraya masuk, semua mata langsung tertuju padanya.
"Soraya, kau sudah pulang," ujar Farida dengan senyum yang sulit diartikan.
"Kami memiliki tamu malam ini. Nadia ingin menyapa kita."
Nadia berdiri, mengenakan gaun elegan yang memperlihatkan kepercayaan dirinya.
"Selamat malam, Soraya. Senang akhirnya kita bisa berbicara lebih lama."
Soraya mencoba tersenyum, meski hatinya berdegup kencang. Apa yang sedang terjadi? Mengapa Nadia ada di sini?
Arman segera mendekati Soraya, meletakkan tangannya di punggungnya seolah ingin menenangkan.
"Soraya, Nadia hanya mampir sebentar. Dia sedang membahas sesuatu dengan keluargaku."
"Tentang apa?" tanya Soraya spontan, meski ia sadar pertanyaannya terdengar terlalu langsung.
Nadia tersenyum tipis, tatapannya tajam.
"Hanya urusan lama yang perlu dibereskan. Kau tidak perlu khawatir, Soraya."
Namun, Soraya tahu ada sesuatu yang lebih besar di balik senyum itu. Malam itu, ia merasa semakin jauh dari kebenaran, meskipun semua orang di sekitarnya terus bersikap seolah semuanya baik-baik saja.
Setelah momen canggung itu, Soraya berpura-pura tetap tenang. Ia bergabung dengan mereka di ruang tamu, meskipun suasana hatinya terasa berat. Ia duduk di sisi Arman yang terlihat sama gelisah nya, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Percakapan berlangsung dengan nada formal. Nadia berbicara dengan tenang, menyampaikan cerita-cerita ringan yang membuat Farida tertawa kecil. Namun, setiap kali Soraya mencoba mempelajari nada suara atau gerak tubuh Nadia, ia merasa ada sesuatu yang sengaja disembunyikan. Mata Nadia sesekali melirik ke arahnya, seperti ingin menyampaikan pesan yang hanya mereka berdua yang tahu.
Setelah beberapa waktu, Nadia akhirnya bangkit untuk pamit.
"Terima kasih atas waktu kalian," katanya, memandang Farida dan Faisal.
"Dan Soraya... aku harap kita bisa berbicara lebih banyak lain kali."
Soraya mengangguk kecil, meski hatinya diliputi banyak pertanyaan. Saat Nadia pergi, suasana rumah terasa hampa. Farida segera bangkit untuk membereskan ruang tamu, sedangkan Faisal kembali ke ruang kerjanya tanpa sepatah kata.
Saat mereka berdua akhirnya sendiri di kamar, Soraya menatap Arman dengan penuh kebingungan.
"Arman, apa sebenarnya yang sedang terjadi? Kenapa Nadia ada di sini, dan apa urusannya dengan keluargamu?" tanyanya dengan suara pelan namun tegas.
Arman menghela napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang. Ia tampak ragu untuk menjawab.
"Soraya, ada hal-hal yang sulit ku jelaskan sekarang. Tapi aku janji, aku tidak akan membiarkan apa pun membahayakan mu."
Jawaban itu tidak memuaskan Soraya. Ia merasa seperti sedang dipermainkan, seolah dirinya hanyalah pion dalam permainan yang lebih besar.
"Arman, aku istrimu. Aku berhak tahu apa yang sedang terjadi!" desaknya.
Arman memandangnya, matanya penuh dengan rasa bersalah.
"Nadia... dia adalah bagian dari masa lalu keluargaku. Ada hubungan bisnis yang rumit di antara kami. Aku tidak ingin kau terlibat, Soraya. Ini bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan."
"Tapi aku sudah terlibat, Arman!" Soraya hampir berteriak.
"Aku tinggal di sini, di tengah semua ini. Kau tidak bisa hanya menyuruhku untuk tidak khawatir tanpa memberi penjelasan apa pun."
Arman terdiam lama, lalu menggenggam tangan Soraya dengan erat.
"Aku hanya ingin melindungimu. Percayalah padaku, Soraya. Aku akan memberitahumu saat waktunya tiba."
Namun, malam itu, janji Arman tidak cukup untuk menghapus kecurigaan di hati Soraya. Setelah Arman tertidur, ia duduk di dekat jendela, memandangi bulan yang tertutup awan. Hatinya diliputi perasaan cemas dan curiga. Kata-kata ibunya kembali terngiang di telinganya:
"Jangan terlalu percaya pada apa yang tampak di permukaan."
Di tengah keheningan malam, Soraya memutuskan bahwa ia tidak bisa hanya menunggu jawaban datang padanya. Ia harus menemukan kebenaran sendiri.
Keesokan harinya, Soraya menyelinap ke ruang kerja Faisal saat ia yakin tidak ada siapa pun di rumah. Di antara tumpukan dokumen di meja, ia menemukan sebuah amplop berwarna krem dengan nama Nadia tertulis di depannya. Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop itu dan menemukan sejumlah dokumen kontrak yang berkaitan dengan aset keluarga Arman.
Namun, yang paling menarik perhatian Soraya adalah sebuah surat yang ditulis dengan tangan. Surat itu berisi perjanjian yang menyebutkan sesuatu tentang pengembalian hak yang tertunda.
Soraya membaca berulang kali, mencoba memahami isi surat itu. Tapi sebelum ia bisa menyelesaikannya, suara langkah kaki terdengar mendekat. Dengan panik, ia menutup amplop itu dan mengembalikannya ke tempat semula, lalu keluar dari ruangan dengan hati yang berdegup kencang.
Ia tahu bahwa dirinya sudah terlalu jauh melangkah. Tapi ia juga tahu bahwa langkah ini adalah satu-satunya cara untuk menemukan kebenaran. Apa pun yang disembunyikan keluarga Arman, Soraya bertekad untuk mengetahuinya, meskipun itu berarti ia harus menggali lebih dalam ke rahasia yang mungkin mengubah hidupnya selamanya.