Diputuskan begitu saja oleh orang yang sudah menjalin kedekatan dengannya selama hampir tujuh tahun, membuat Winda mengambil sebuah keputusan tanpa berpikir panjang.
Dia meminta dinikahi oleh orang asing yang baru saja ditemui di atas sebuah perjanjian.
Akankah pernikahannya dengan lelaki itu terus berlanjut dan Winda dapat menemukan kebahagiaannya?
Ataukah, pernikahan tersebut akan selesai begitu saja, seiring berakhirnya perjanjian yang telah mereka berdua sepakati?
Ikuti kisahnya hanya di lapak kesayangan Anda ini.
Jangan lupa kasih dukungan untuk author, ya. Makasih 🥰🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meragukan Ketulusan Winda
Malam pertama di apartemen berhasil dilewati Bisma tanpa ada drama yang sempat dia khawatirkan, dari Arsen. Sebab pembisik Arsen, Nicholas, sudah pergi dari sana dan bocah itu nurut saja ketika Winda mengajaknya untuk tidur bersama di kamar Arsen. Bisma pun dapat tidur dengan nyenyak di kamarnya sendiri.
Keesokan harinya, Winda yang baru saja selesai mencuci piring bekas mereka bertiga sarapan, dikejutkan dengan kehadiran Bisma yang menghampirinya di dapur sebelum laki-laki itu mengantar Arsen ke sekolah. Tadinya, Arsen pengin diantar oleh Winda, tapi Bisma berhasil membujuk dengan alasan Bunda Winda masih lelah dan butuh beristirahat. Padahal, Winda sendiri sama sekali tak keberatan dan sangat ingin mengantar bocah laki-laki yang telah berhasil membuat Winda jatuh hati sejak pertama kali mereka bertemu.
"Mas, ngagetin aja," protes Winda sambil mengelap tangannya yang basah.
"Aku mau berangkat. Ini ada sedikit uang untuk belanja bulanan," kata Bisma seraya menyodorkan sebuah amplop coklat yang cukup tebal pada Winda.
"Nggak perlu, Mas. 'Kan dari awal aku udah bilang, kalau aku nggak akan merepot—"
"Apa pun isi perjanjian yang telah kamu tawarkan, tapi yang jelas saat ini aku adalah suamimu," sahut Bisma yang seolah dapat mengerti ke mana arah pembicaraan Winda.
"Dan wajib hukumnya bagiku untuk memberimu nafkah. Meski mungkin aku belum bisa memberikan nafkah yang seutuhnya, tapi setidaknya aku akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan kamu. Semoga ini cukup untuk makan kita satu bulan ke depan. Terserah bagaimana kamu mengaturnya. Maaf, jika jumlahnya tak seperti yang kamu harapkan. Maaf juga jika aku belum bisa memberikan nafkah khusus untukmu," lanjut Bisma cukup panjang hingga membuat Winda melongo.
Ya, baru kali ini sejak pertemuan mereka beberapa hari lalu, Bisma berbicara panjang pada Winda. Biasanya, laki-laki itu sangat irit bicara. Bukan hanya bicara, ekspresi saja Bisma begitu irit hingga Winda sangat gemas padanya dan menjuluki laki-laki yang telah sah menjadi suaminya itu, sebagai si muka datar.
"Nafkah khusus, maksudnya?"
"Nafkah khusus untuk memenuhi kebutuhan pribadi kamu."
"Nggak perlu, Mas. Aku masih punya uang. Aku juga bisa cari kerjaan nanti. Lagipula, aku masih punya penghasilan tiap bulan dari kafeku di Bandung meski jumlahnya tak menentu."
"Itu uang pribadimu. Beda dengan nafkah dariku nanti. Tapi, aku belum dapat menjanjikan kapan. Doakan saja, semoga pekerjaanku beberapa hari ke depan lancar sehingga aku bisa memberimu nafkah pribadi."
Perkataan Bisma semakin membuat Winda kebingungan. Sikap Bisma masih dirasakan Winda begitu asing, tapi kata-katanya barusan seolah mengisyaratkan jika Bisma dapat menerima Winda sebagai istri yang seutuhnya.
Untuk meyakinkan hatinya, apa benar dia sudah mulai dapat diterima oleh Bisma sebagai istri, Winda pun melontarkan pertanyaan, "nafkah pribadinya nggak begitu penting kali, Mas. Yang penting itu nafkah lahir dan batin. Ini, nafkah lahirnya udah, lalu nafkah batinnya?"
"Ayah, ayo!"
Kehadiran Arsen yang memanggil sambil menunjuk jam pintar yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, berhasil menyelamatkan Bisma yang sempat kebingungan mendengar pertanyaan Winda.
"Oh, oke, Sayang."
"Kami berangkat," pamit Bisma sambil berlalu hendak keluar, tapi tangannya ditarik oleh Arsen hingga laki-laki itu pun berhenti.
"Kenapa, Sayang?" tanya Bisma seraya menatap Arsen dengan dahi berkerut.
"Arsen udah salim sama Bunda, Ayah. Arsen juga udah cium pipi Bunda. Sekarang giliran Ayah."
Bisma menggeleng pelan sembari membuang napas panjang. Namun, tatapan menuntut dari Arsen, berhasil memaksa Bisma untuk menuruti keinginan bocah laki-laki itu. Bisma kemudian mencium kening Winda sekilas, ciuman kedua yang dia berikan setelah mereka sah menjadi suami-istri.
Meski hanya sekilas, tapi Bisma melakukannya dengan penuh kelembutan, sama seperti ketika mereka usai melakukan ijab qabul. Saking lembutnya, Winda sampai memejamkan mata, menikmati ciuman Bisma. Wanita itu masih saja memejamkan mata meski Bisma dan Arsen sudah berlalu dari sana.
Menyadari jika sekitarnya telah sepi, Winda lalu membuka matanya. Dia pun tersenyum, lalu meraba keningnya sendiri.
"Ish! Bisa-bisanya aku terbawa perasaan!" Setelah tersadar, Winda pun memukul pelan kepalanya.
"Ah, lebih baik aku memanjakan mata dengan uang ini."
Winda yang kemudian teringat dengan amplop pemberian Bisma menimang-nimang amplop yang cukup tebal itu.
"Kok, dia aneh, ya," gumam Winda. "Sikapnya padaku masih tetap dingin, tapi, kok —" Winda lalu menjeda ucapannya sendiri.
Winda lalu mendudukkan diri di meja makan dan membuka amplop pemberian Bisma. "Hah! Banyak banget!" seru Winda tak percaya.
"Dua puluh juta dan tadi dia bilang semoga cukup. Ini, mah, lebih dari cukup. Apalagi tadi Mas Bisma bilang, kalau dia dan Arsen nggak pernah makan siang di rumah. Apa dia sedang menguji aku, ya,?"
Winda jadi sibuk menerka-nerka. Menerka isi hati dan isi kepala Bisma. Perkataan Bisma tadi serta uang belanja yang diberikan pada Winda mengisyaratkan sebuah penerimaan, tapi sikapnya masih saja dingin, seolah mereka berdua adalah orang asing.
"Udahlah! Bingung aku mikirin Mas Bisma. Lebih baik, aku turun dan belanja di swalayan. Aku akan masak spesial untuk makan malam nanti."
Winda memasukkan kembali uang tersebut ke dalam amplop, lalu bergegas menuju kamar untuk bersiap.
Sementara di sekolah Taman Kanak-kanak, Bisma berpesan banyak hal pada bocah kecil itu sebelum dia meninggalkan Arsen. Setelah Arsen mengangguk mengerti, barulah Bisma berlalu dari sana untuk menemui Nicholas.
"Nick, gue on the way," kata Bisma melalui sambungan telepon setelah dia berada di dalam mobil.
"Ke rumah dulu, Bis. Gue masih di rumah."
"Oke."
Bisma menambah laju kecepatan mobilnya menuju rumah orang tua Nicholas. Sepanjang perjalanan menuju ke sana, Bisma sering sekali menghela napas panjang. Seolah, ada beban berat yang memenuhi isi kepalanya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam karena jalanan cukup padat, mobil Bisma memasuki pintu gerbang yang tinggi menjulang. Kedatangan Bisma yang sudah dinantikan oleh Nicholas itu, disambut oleh penjaga rumah besar tersebut.
"Selamat pagi, Mas Bisma," sapa satpam itu dengan ramah.
"Pagi, Pak Yo. Si Nick masih di rumah, 'kan?"
Tanpa menunggu jawaban Pak Joyo, Bisma segera berlalu masuk ke dalam.
"Winda mana?"
Baru saja kaki Bisma memasuki ruang dalam, Nicholas sudah menyambutnya dengan pertanyaan.
"Dia masih ingin istirahat katanya. Masih capek mungkin," kilah Bisma. Padahal, dia sengaja tak mengajak Winda.
"Dia ingin istirahat atau lu yang sengaja gak kasih izin buat dia untuk ikut?" tuduh Nicholas.
"Nak Bisma sudah datang? Kok, tidak langsung diajak ke kamar Papa, Nick. Papa, kan, sudah menunggu Nak Bisma dari tadi." Kehadiran wanita paruh baya itu, menyelamatkan Bisma dari tuduhan Nicholas.
"Bisma baru saja sampai, kok, Tan," jawab Bisma. "Tante apa kabar?" tanya Bisma kemudian sambil menyalami mamanya Nicholas.
"Tante baik, Nak Bisma. Alhamdulillah. Ayo-ayo, silakan masuk. Om Rey dari kemarin nanyain Nak Bisma terus. Pengin ikut Nicky ke Bandung sebenarnya, tapi kondisinya tidak memungkinkan."
Mamanya Nicholas lalu membimbing Bisma masuk ke dalam kamarnya. Nicholas yang ikut masuk dan mengekor di belakang ngedumel sendiri karena keberadaannya diabaikan sang mama.
"Nak Bisma, selamat, ya. Maafkan Om karena Om tidak bisa menghadiri pernikahanmu," kata Om Rey sambil menerima pelukan dari Bisma.
"Tidak apa-apa, Om. Mendadak juga, acaranya."
Bisma kemudian terlibat obrolan penting dengan Om Rey. Sementara Nicholas dan mamanya hanya menjadi pendengar setia.
"Karena Nak Bisma sudah menikah, Om mau menagih janji Nak Bisma kala itu," pungkas Om Rey sembari menatap Bisma dengan penuh pengharapan.
"Ya, Bisma ingat itu, Om. Tapi, Bisma masih butuh sedikit waktu untuk meyakinkan diri. Om tidak keberatan, 'kan?"
"Meyakinkan apalagi, Bis? Lu masih meragukan ketulusan si Winda?" sahut Nicholas dan dijawab Bisma dengan gelengan kepala.
bersambung ...
Makasih buat kalian semua yang masih setia dengan kisahnya si Winda. Lope sekebon ❤️🧡💛💚🩵💙💜🤎🖤🩶🤍🩷🩷💗♥️❤️🩹
Semangat terus Kak.... qt selalu nungguin Bisma-Winda Up lg...❤🌹