Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : Bocoran nggak sengaja
Manda duduk di kursi logam dingin, menatap dinding polos ruangan yang lebih mirip ruang interogasi kelas tiga daripada ruang rapat pers. Lampu neon di atas kepala mereka berkedip pelan, menciptakan suasana yang lebih cocok untuk adegan film thriller murahan. Reza, di sebelahnya, sibuk memainkan tali kameranya, berusaha melupakan betapa sempit dan pengap ruangan itu.
Gunawan berdiri di depan mereka, kedua tangannya disilangkan di dada. Wajahnya serius seperti biasa, meskipun ada sedikit kerutan di dahinya, seolah mencoba menahan sesuatu—kesabaran atau mungkin tawa, Manda tidak yakin.
“Dengar, saya paham apa yang kalian lakukan. Jurnalis, kan? Selalu cari informasi, selalu gali-gali.” Gunawan menatap mereka bergantian. “Tapi kali ini, saya tidak bisa memberikan informasi apa pun terkait kasus ini. Bukan saya tidak mau, tapi saya tidak bisa.”
Manda membuka mulut untuk protes, tapi Gunawan mengangkat satu tangan, menghentikannya. “Saya serius. Ini di luar kewenangan saya. Kalau kalian mau tahu lebih, cari sumber lain. Tapi dari saya? Tidak ada. Titik.”
Setelah menegaskan itu, Gunawan berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, dia berbalik sejenak, menatap Manda dengan ekspresi seperti ayah yang lelah dengan ulah anaknya. “Ini peringatan terakhir, jangan ganggu saya lagi soal ini. Harusnya kalian mewawancarai kombes Andika yang mengetahui detil kasus ini.”
Manda menatap punggung Gunawan saat dia pergi, lalu mendengus. “Penuh drama banget, ya. Ini polisi atau naskah sinetron?”
Reza memutar matanya, lalu menyandarkan kepala di meja. “Ya, baguslah kita enggak ditahan. Aku udah siap-siap ngasih nomor telepon mamaku tadi.”
Manda mengabaikannya, mulai mengetukkan jarinya di atas meja. Wajahnya penuh frustrasi, campuran antara ambisi yang tertahan dan kafein yang kurang. “Reza, ini tuh ada sesuatu yang dia sembunyikan. Aku bisa ngerasain itu.”
Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu di lantai, tepat di bawah kursi tempat Gunawan berdiri tadi. Sebuah benda kecil, berbentuk persegi panjang, mengilap di bawah cahaya neon. Manda langsung membungkuk untuk mengambilnya.
“Eh, apa itu?” tanya Reza, mengangkat kepalanya seperti burung merpati yang mencium bau roti.
Manda memegang USB disk di tangannya, matanya berbinar. “Reza, ini USB disk. Dan aku yakin ini bukan properti ruangan ini.”
Reza menatapnya dengan dahi berkerut. “Menurutmu isinya apa? Jangan-jangan ini punya pak Gunawan, balikin aja yuk.”
Manda menyeringai, senyum yang lebih menyerupai hiu yang baru saja mencium darah. “Reza, Pak Gunawan tadi bilang dia tidak bisa kasih informasi, kan? Tapi dia tidak bilang kita tidak boleh menemukan sesuatu secara… ‘tidak sengaja. Dan menggunakan itu sebagai sumber informasi kita’”
Reza menatap USB itu, lalu Manda, lalu USB lagi. “Tunggu… jadi kamu mau bilang ini kayak… pesan rahasia? Tapi modelnya main tebak-tebakan?”
“Bukan tebak-tebakan, Reza. Ini namanya ‘teknik oper informasi dengan gaya pasif-agresif.’” Manda berdiri, menyelipkan USB disk itu ke dalam saku jasnya. “Dan sebagai jurnalis, kita punya kewajiban moral untuk…”
“Bikin berita eksklusif?” potong Reza.
Manda tersenyum tajam. “Tepat sekali.”
Tanpa membuang waktu, Manda membuka pintu ruangan interogasi dan melangkah keluar dengan percaya diri. Reza menyeret langkahnya di belakang, masih bingung antara takjub dan takut.
“Manda, ini beneran aman, kan?” bisik Reza sambil memegangi kameranya.
Manda menoleh, menatapnya dengan tatapan penuh percaya diri. “Reza, kalau hidup ini soal main aman, aku udah jadi pengurus koperasi, bukan reporter kriminal.”
Reza hanya bisa menghela napas panjang. "Kalau nanti aku dimarahi mamaku karena masuk bui, aku kasih tahu kamu yang ngajak."
Manda tertawa kecil, penuh kemenangan. “Jangan khawatir, Reza. Kalau ini berhasil, kamu enggak cuma bakal aman, tapi kita bakal jadi berita utama!”
...****************...
Dalam sebuah ruangan kecil di Mabes, Gunawan berdiri di depan jendela kaca satu arah, memperhatikan Manda dan Reza yang baru saja meninggalkan gedung. Tangannya terlipat di dada, raut wajahnya tenang namun penuh perhitungan. Di belakangnya, Dedi, Rini, Rahmat, dan Arga berdiri dalam formasi yang lebih menyerupai pelayat pemakaman daripada tim penyelidik.
Dedi yang tidak tahan dengan keheningan akhirnya angkat bicara. “Pak, serius nih? Ngasih USB ke wartawan? Itu… nggak terlalu… uhm, sembrono?” Dia berbisik seperti takut dinding ruangan pun bisa mengadukan rencananya.
Gunawan tidak langsung menjawab. Dia hanya mengangkat alis, lalu melirik ke arah Dedi dengan tatapan "kamu nggak ngerti ya?" khas seorang senior. “Kalau kamu mau ikan besar, Dedi, kamu perlu umpan yang pas. Wartawan itu umpan kita sekarang.”
Rini mengerutkan dahi. “Jadi, isi USB itu... beneran penting, Pak?”
Gunawan menyeringai kecil, menyandarkan dirinya pada tepi meja. “Tidak juga.”
Semua orang menatap Gunawan dengan ekspresi serempak: bingung bercampur cemas.
“Lho? Jadi isinya apa, Pak?” Rahmat penasaran, mencoba mengintip apa yang mungkin ada di dalam pikiran bos mereka.
“Laporan standar, video penyelidikan, beberapa rekaman bukti yang sudah sebetulnya akan bocor juga di media. Intinya, cukup buat menarik perhatian, tapi tidak cukup buat bikin kita dituntut UU ITE,” jelas Gunawan sambil meneguk kopi yang sudah dingin.
Arga, yang dari tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Jadi... kenapa kita nggak kasih aja ke pers secara resmi? Kenapa harus lewat drama lempar USB kayak di film mata-mata, Pak?”
Gunawan menatap Arga tajam. “Karena kalau kita kasih resmi, kita kelihatan terlalu agresif. Kalau kita kelihatan agresif, mereka yang di atas langsung pasang tembok. Tapi kalau ini kelihatan kayak ‘bocoran nggak sengaja,’ mereka bakal bingung dulu, siapa yang main di belakang mereka. Itu strategi.”
Dedi mengangguk pelan, mulai paham, tapi masih ada satu pertanyaan. “Tapi, Pak... kalau misalkan Manda itu tipe wartawan yang malah bikin masalah bagaimana? Dia kan mulutnya lebih tajam daripada pisau dapur!”
Gunawan tertawa kecil. “Itu justru poinnya. Biarkan Manda yang bikin kegaduhan. Kalau kita yang teriak-teriak, kita dicap cari panggung. Tapi kalau media yang teriak, publik yang angkat tangan. Dan kalau publik sudah ribut, orang-orang seperti Ivan, bapaknya, bahkan hakim nanti, bakal lebih hati-hati. Mereka nggak suka sorotan publik terlalu terang. Meskipun celah untuk lolos pasti ada, tapi setidaknya kita sudah mempersempit ruang gerak mereka"
Rini akhirnya ikut bicara. “Apa dengan ini bakal bikin Ivan benar-benar dihukum?”
Gunawan mengangguk. Dia berjalan ke tengah ruangan, menatap timnya dengan serius. “Dengar, kita sudah gagal menyelamatkan Jessica. Itu fakta. Tapi tugas kita sekarang adalah memastikan dia dapat keadilan, meskipun dia tidak ada lagi untuk menyaksikannya.”
Ruangan mendadak sunyi. Arga menggigit bibirnya, menatap lantai. Dalam hatinya, dia tahu Gunawan benar, tapi rasa amarahnya masih sulit diredam.
Gunawan menepuk bahu Arga. “Inilah strategi, Arga. Kita nggak bisa main frontal kalau lawan kita punya pelindung tebal. Kita mesti pintar. Mungkin kita nggak bisa menyelamatkan Jessica, tapi kita bisa memastikan Ivan mendapat apa yang pantas untuknya.”
Rahmat yang biasanya selalu serius tiba-tiba nyeletuk. “Jadi, Pak, ini kayak main catur, ya? Kita jadi pion, tapi pion yang pintar?”
Gunawan menatap Rahmat sejenak sebelum tersenyum kecil. “Iya, Rahmat. Bedanya, di catur pion nggak pernah protes kalau disuruh maju. Kamu?”
Seluruh ruangan tertawa kecil, meskipun keheningan dan rasa berat tetap terasa di udara. Gunawan kembali berdiri di depan jendela, mengamati kerumunan wartawan yang masih menunggu di luar.
“Sekarang, kita tunggu bola ini bergulir. Dan kita pastikan, bola itu menghantam Ivan tepat di wajahnya,” katanya dengan suara rendah namun penuh keyakinan.
...****************...