Adara hidup dalam dendam di dalam keluarga tirinya. Ingatan masa lalu kelam terbayang di pikirannya ketika membayangkan ayahnya meninggalkan ibunya demi seorang wanita yang berprofesi sebagai model. Sayangnya kedua kakak laki-lakinya lebih memilih bersama ayah tiri dan ibu tirinya sedangkan dirinya mau tidak mau harus ikut karena ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Melihat itu dia berniat membalaskan dendamnya dengan merebut suami kakak tirinya yang selalu dibanggakan oleh keluarga tirinya dan kedua kakak lelakinya yang lebih menyayangi kakak tirinya. Banyak sekali dendam yang dia simpan dan akan segera dia balas dengan menjalin hubungan dengan suami kakak tirinya. Tetapi di dalam perjalanan pembalasan dendamnya ternyata ada sosok misterius yang diam-diam mengamati dan ternyata berpihak kepadanya. Bagaimanakah perjalanan pembalasan dendamnya dan akhir dari hubungannya dengan suami kakak tirinya dan sosok misterius itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SATU BULAN-PRIA ASING
Clarissa tidak tinggal diam. Dengan langkah cepat, dia menghampiri kamar suaminya, Leon. Pikiran Clarissa dipenuhi berbagai pertanyaan yang tidak bisa ia abaikan. Kegelisahan terlihat jelas di wajahnya. Dia tidak pernah menyangka akan melihat sesuatu yang membuat dadanya sesak seperti tadi. Adara, wanita yang selama ini terkenal sebagai sosok yang dingin dan sulit didekati, terlihat begitu akrab dengan suaminya. Padahal, Clarissa sendiri yang sudah bertahun-tahun mengenalnya tidak pernah bisa dekat seperti itu. Bagaimana mungkin? Pertanyaan itu terus berulang di dalam benaknya, mengganggu ketenangannya hingga kini.
Leon, di sisi lain, sedang duduk santai di kursi favoritnya. Dengan tangan kanan, dia menyeruput teh hangat dari gelas kaca bening. Wajahnya tampak rileks, seperti tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Matanya sesekali berpindah antara layar komputer di depannya dan dokumen di meja. Hanya suara ketikan keyboard dan detak jam dinding yang terdengar di ruangan itu. Sampai akhirnya suara pintu kamar yang terbuka kasar mengalihkan perhatiannya. Namun, Leon tetap tenang, seolah tidak terganggu.
"Sayang, kamu kok bisa sedekat itu dengan Adara? Aku saja nggak pernah sedekat itu dengannya. Kalian tadi habis ngapain sih?" suara Clarissa terdengar tajam, meskipun dia mencoba menahan emosinya.
Leon menghentikan aktivitasnya. Gerakan tangannya yang sedang memegang gelas teh terhenti. Dengan santai, dia meletakkan gelas itu di atas meja. Komputer di depannya juga ditutup pelan. Tatapannya kini beralih kepada istrinya. Wajahnya tersenyum, seolah tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu.
"Aku hanya berbicara santai dengan Adara. Aku berpikir dia tidak seperti yang kalian ceritakan. Dia terlihat sangat ramah kepadaku," jawab Leon tenang, suaranya datar namun penuh keyakinan. Senyuman manis masih menghiasi wajahnya.
Clarissa mengerutkan kening, rasa heran bercampur dengan rasa tidak suka yang makin membakar hatinya. Leon terlihat terlalu senang menceritakan tentang Adara, dan itu membuatnya kesal. "Dia itu nggak seperti yang kamu pikirkan, Mas. Dia jauh lebih buruk dari itu. Kamu nggak usah terlalu dekat-dekat sama dia, ya, Sayang," ujar Clarissa. Dia mendekat, bergelayut manja di lengan Leon, mencoba menegaskan posisinya sebagai istri.
Leon hanya tersenyum sambil mengusap lembut punggung istrinya. "Kamu nggak boleh begitu, Sayang. Aku lihat dia baik kok. Jangan berprasangka buruk tentangnya, hm?" Leon menenangkan istrinya dengan suara lembut, tapi tetap penuh keyakinan. Dia ingin meyakinkan Clarissa bahwa Adara tidak seperti yang dibayangkannya.
Namun, di dalam pelukan Leon, Clarissa hanya bisa diam. Wajahnya terlihat datar, meskipun jelas ia tidak menyukai situasi ini. Di dalam hatinya, ada perasaan cemburu dan kesal yang bercampur menjadi satu. Kenapa suaminya justru terlihat membela Adara? Kenapa Leon tidak bisa melihat apa yang dia rasakan?
Di tempat lain, di sebuah kamar dengan lampu yang redup, Adara merebahkan tubuhnya kasar di atas tempat tidur. Udara malam yang dingin tidak mengganggunya. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar, sementara senyuman miring menghiasi wajahnya. "Kalian cocok, sama-sama bodoh. Tapi sepertinya, ada sisi lain yang tidak diketahui Clarissa. Suaminya itu, sedikit bermata keranjang," gumam Adara. Suaranya terdengar kecil, namun penuh kemenangan.
Adara mengingat jelas bagaimana Leon sering mencuri pandang ke arahnya. Cara pria itu melihatnya membuatnya merasa seperti rencananya akan berjalan lebih mulus. Dan dia menyukai itu. Hingga kini, semuanya berjalan sesuai harapan. Bahkan, mungkin lebih baik dari yang dia bayangkan.
Saat Adara hendak memejamkan matanya, tiba-tiba suara dering ponsel memecah keheningan. Suara itu berasal dari atas nakas di samping tempat tidur. Dengan malas, Adara meraih ponselnya. Matanya menyipit, mencoba membaca nama pengirim pesan di layar. Namun, yang muncul hanya sebuah nomor asing.
"Nomor tidak dikenal?" gumamnya sambil mengerutkan kening. Rasa penasaran membuatnya langsung membuka pesan itu.
"Selamat malam, Adara. Aku berharap kau mimpi indah. Jangan terlalu memikirkan dendammu."
Pesan itu singkat, tetapi cukup membuat Adara terdiam beberapa saat. Dia tahu siapa pengirimnya. Pesan itu bukan yang pertama kali dia terima. Namun, hingga kini, dia masih belum bisa mengetahui siapa pria misterius itu. "Dasar pria misterius," desisnya. Sudah beberapa kali dia mencoba melacak identitas pria itu, tetapi hasilnya selalu nihil. Pria itu seperti hantu—tidak meninggalkan jejak sama sekali.
Waktu terus berlalu. Satu bulan penuh sudah berjalan sejak Adara memulai rencananya. Sejauh ini, semuanya berjalan sesuai keinginannya. Bahkan lebih baik dari yang dia perkirakan. Leon, yang awalnya tampak acuh, kini semakin dekat dengannya. Adara sering melihat pria itu mencari-cari alasan untuk berbicara dengannya. Di sisi lain, Clarissa sering meluapkan amarahnya kepada Leon. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi, dan nama Adara selalu muncul di antara mereka. Itu membuat Adara semakin senang. Semuanya berjalan dengan lancar.
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Adara baru saja selesai berbelanja di sebuah minimarket. Setelah memasukkan barang belanjaannya ke dalam tas, dia berjalan menuju mobil yang terparkir di depan. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti. Dari kejauhan, dia mendengar suara pertengkaran. Suara itu terdengar cukup keras, dan entah kenapa terasa familiar di telinganya.
Adara memfokuskan pandangannya. Matanya menangkap sosok seorang wanita yang ia kenal betul. "Clarissa," gumamnya pelan. Wajahnya mengerut heran. Clarissa sedang berdiri di sudut parkiran, terlihat berdebat sengit dengan seorang pria.
"Siapa pria itu?" pikir Adara. Dia belum pernah melihat pria itu sebelumnya. Rasa penasaran membuatnya tetap diam di tempat, memperhatikan dari jauh. Adegan itu seperti potongan kecil dari drama besar yang sedang terjadi. Adara tersenyum kecil. Malam ini sepertinya akan menjadi malam yang menarik.
Adara memutuskan untuk tidak terlalu lama berada di sana. Dia masuk ke dalam mobilnya, tetapi pikiran tentang Clarissa dan pria asing itu terus mengganggu. "Apa yang mereka ributkan? Apakah ini terkait Leon? Atau ada hal lain yang tidak kuketahui?" gumamnya sambil menghidupkan mesin mobil. Malam ini dingin, tetapi Adara merasa rencananya mulai memanas.