Menjadi ibu baru tidak lah mudah, kehamilan Yeni tidak ada masalah. Tetapi selamma kehamilan, dia terus mengalami tekanan fisik dan tekanan mental yang di sebabkan oleh mertua nya. Suami nya Ridwan selalu menuruti semua perkataan ibunya. Dia selalu mengagungkan ibunya. Dari awal sampai melahirkan dia seperti tak perduli akan istrinya. Dia selalu meminta Yeni agar bisa memahami ibunya. Yeni menuruti kemauan suaminya itu namun suatu masalah terjadi sehingga Yeni tak bisa lagi mentolerir semua campur tangan gan mertuanya.
Bagaimana akhir cerita ini? Apa yang akan yeni lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tina Mehna 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 17. CTMDKK
Setelah menutup telpon, ku bergegas bertanya pada Nesa lewat chat. “Nes, apa kabar nes? Maaf nes, ku baru hubungin kamu lagi. Nes, aku mau tanya sama kamu. Apa di rumahku, kamu melihat bapakku Nes?”
Tak lama kemudian ada balasan, “Yeni.. alhamdulillah kabarku juga baik. Nggak papa ya yen, santai saja. Yang penting jangan lupain aku. Bapak kamu? Dia tak ada di rumah mu Yen. Nggak tau kenapa rumah mu kosong sejak kamu pulang Yen. Sepertinya Ridwan balik ke rumah Nek lampir itu.Kemarin juga dia sempat balik lagi ke rumah ini kaya cari-cari sesuatu gitu.”
Aku pun lanjut membalas chat Nesa. Tentu saja ku tak lupa terus mencoba menghubungi bapak atau mas Ridwan. Hingga pada jam 2 siang, aku yang sedang mengepel lantai rumahku ini terkejut karena bapak yang tiba-tiba mengucapkan salam di depan pintu.
“Assalamualaikum,”
Aku menoleh dan mendekatinya. “Bapak..” Ucapku yang sedikit terkejut.
“Nduk, anak wedok bapak sing ayu. Sing sabar ya nduk. Bapak minta maaf bapak tidak tau apa yang sedang kamu rasakan nak. Seharusnya bapak menghibur kamu.” Bapak mengatakan itu dengan mengelus rambutku.
Aku yang sedikit terharu mendengar itu pun langsung meneteskan air mata. Aku merasa sangat tak enak dengan bapak dan ibu. Seharusnya masalah rumah tanggaku hanya boleh aku saja yang menanggung nya. Ku tak bisa melihat bapak dan ibu sedih akan hal ini.
“Pak, Yeni nggak apa kok pak. Mas Ridwan cuma suruh Yeni tinggal di sini sementara saja kok. Jangan dengarkan mereka. Percayalah pada Yeni pak.” Ucapku mencoba menenangkan bapak yang sedih.
“Iya nduk. Iya, kamu yang sabar ya nduk..” Ucap Bapak lagi.
“Pak, mereka bicara apa saja? Apa bapak bertemu dengan mas Ridwan?” Tanya ku penasaran.
Bapak terlihat diam dan sedikit ragu untuk bercerita. Aku tau mungkin bapak tak mau menambah kesedihan dan rasa tertekan ku. Namun tetap saja aku harus tau apa yang mertua ku katakan pada bapak.
“Pak, bapak duduk dulu. Yeni buatkan teh anget saja dulu. Bapak pasti cape banget kan.” Ucapku membujuk bapak untuk duduk di ruang tamu.
Setelah itu, aku pergi ke dapur untuk membuatkan bapak minuman hangat. Selesai ku membuat itu, aku kembali ke ruang tamu dan meletakan teh itu diatas meja.
“Pak, bapak minum dulu. Setelah ini Yeni siapkan makan siang untuk bapak sekalian untuk Salma nanti.” Ucapku.
“Iya nduk,” Ku masih melihat kecemasan suatu hal di raut wajah bapak.
Dengan pelan ku mulai bertanya dulu, “Pak. Ibu bagaimana keadaan nya? Katanya Ibu sudah sadar.”
“Iya nduk, Ibu sudah sedikit mendingan. Insya allah ya besok kalau nggak lusa boleh pulang.”
“Syukurlah pak. Bapak tadi berangkat jam berapa dari rumah sakit ke rumah Yeni?” tanya ku pelan-pelan.
“Sekitar jam 6 atau jam 7 pagi.” Jawab bapak masih berusaha menyembunyikan sesuatu itu.
“Oh, pagi sekali pak. Di rumah Yeni tidak ada orang kan pak? Mas Ridwan udah pindah lagi kan pak ke rumah Ibu nya?” tanya ku sedikit memasang raut wajah sedih.
“Iya nduk. Kamu tau darimana? Ridwan sudah jual rumah itu tapi belum ada yang tertarik beli Yen.”
“Apa? Di jual pak? Maksud nya bagaimana pak? Kenapa rumahnya di jual? Apa mas Ridwan mau selamanya tinggal di rumah ibu nya?” tanya ku dengan kaget dan sedikit meninggikan suara ku.
“Kata Ridwan, rumah itu di jual karena mertua mu maksa rumah itu di jual. Tapi apa kamu benar-benar tidak tau nduk?”
“Iya pak. Yeni tidak tau. Lalu, apalagi yang mereka katakan pak.”
“Bu Marni bilang akan membuat kalian bercerai nduk.”
Aku terkejut akan hal itu. “Lalu bagaimana pak dengan mas Ridwan? Apa dia setuju? Apa alasannya pak?”
“Nduk.. Bapak juga syok. Tapi tadi Ridwan hanya diam saja nduk. Bapak sudah menasehati Ridwan sebisa bapak tapi sepertinya tidak berhasil nduk. Ridwan cuma diam terus ”
Aku sedih dan ingin mendengar kebenarannya pada mas Ridwan namun ada bapak di depan ku. Aku tak boleh memperlihatkan kesedihan ku. Dengan tersenyum aku menjawab, “Emmm, pak. Bapak tenang saja. Mas Ridwan nggak akan begitu. Dia kan sudah punya Reza pak. Dia pasti nggak akan melakukan itu.” Ucapku lagi dengan percaya diri.
“Semoga saja. Dulu waktu kalian mau menikah sebenarnya bapak tak percaya kalau bu Marni akan sepenuhnya menerima dan menyayangi kamu seperti anaknya sendiri nduk. Tapi bapak sebenarnya percaya kalau Ridwan bisa jadi penengah dan bisa jadi garda terdepan kamu nduk. Tapi, dia ingkari itu.”
“Ya sudah pak. Tidak apa-apa. Yeni akan bicarakan ini dengan mas Ridwan pak. Bapak tenang saja. Tapii sebaiknya ibu jangan tau dulu apa yang sudah mereka katakan pada bapak. Yeni takut ibu bakalan drop lagi.”
“Bapak nggak janji ya nduk. Daripada ibu tau paling akhir dan bikin dia lebih drop lagi karena kaget lebih baik bapak bicarakan pelan-pelan saja. Kamu yang tenang ya nduk. Bapak akan urus ibu, kamu cobalah bicarakan berdua dengan Ridwan. Kalau masalah begini, yang bisa memperbaikinya hanya kalian berdua.”
“Iya pak.”
Selesai kami bicara, aku beranjak dari dudukku dan berjalan menuju ke dapur untuk menyiapkan makan siang untuk bapak sekaligus membawakan makan siang untuk adikku yang masih di rumah sakit.
“Sudah di siapkan nduk makanan buat adek mu?” tanya bapak selesai keluar dari kamar nya.
“Iya pak. Ini. bapak makan juga pak.”
“Punya bapak di bungkuskan saja nduk. Bapak makan di rumah sakit saja sama adek mu.”
“Oh gitu. Ya sudah sebentar ya pak.”
Selesai ku bungkuskan makanan bapak, bapak yang akan langsung kembali ke rumah sakit, aku mengantar nya sampai ke depan rumah.
“Bapak ke rumah sakit lagi ya nduk. Kamu baik-baik di rumah saja ya.”
“Iya pak.”
Aku tersenyum pada bapak lalu dia pun berjalan pergi menjauh dari pandangan ku. Aku pun kembali ke dalam kamar ku dan langsung mengecek ponselku.
“Mas Ridwan?” Ku lihat kontak nama suami ku di notifikasi pesan masuk whatsapp dan aku pun langsung mengklik nya.
“Sebaiknya bapak jangan sampai ke sini lagi. Mama sangat marah. Kamu bujuk bapak jangan pernah ke sini lagi untuk selamanya.” Isi pesan chat itu.
“Ada apa mas? Untuk selamanya? Apa itu maksudnya? Mas.. Kita perlu bertemu ada yang perlu aku bicarakan mas.” balas ku padanya.
“Bapak bilang akan ke sini lagi tapi kalau sampai bapak ke sini lagi, aku tak akan menemui nya. Bicara apa sih? Aku sibuk.”
“Untuk apa mas bapak ke situ lagi. Bapak tak akan ke situ lagi. aku jamin itu. Tapi Mas! apa kamu mau kita berpisah mas? Kita harus bicara! Apa salah ku mas? Apa kamu tidak sayang lagi dengan ku dan Reza yang belum ada 3 bulan ini?” balas ku lagi mengetik dengan cepat.
“Mama meminta ku agar tak bertemu dengan kamu lagi.”
“Mas! kenapa kamu selalu saja berpatok dengan perintah mama? Ini tentang rumah tangga kita mas. Tidak seharusnya mama ikut campur. Aku mengerti kamu sangat menghormati mama, aku juga mengerti kamu harus bebakti pada mama, aku juga mengerti bahwa mama adalah segalanya bagimu. Aku terima kamu yang masih memberikan nafkah untuk mama dan Syifa. Tapi kenapa kamu tidak mengerti akan posisi kamu mas? Kamu itu kepala rumah tangga mas. Kenapa kamu biarkan mama ikut campur begini mas? Kamu harus tegas dengan keputusan kamu. Keluarga kecil kita yang sudah kita impikan dari dulu mas, apa kamu akan mengabaikan istri dan anak mu ini?”
“Ini salah kamu Yeni. Sudah lama sekali mama berusaha menyukai mu tapi kamu terus buat kesalahan dengan tak mendengarkan semua nasehat nya itu. Aku sudah sangat pusing dengan omelan mama padamu tiap hari.Bacalah! Surga ku ada di mama, sedangkan surga mu ada di aku. . Bukan kah benar jika mama bisa ikut campur di rumah tangga ini? Seharusnya mengikuti mama akan membuat kita semua bahagia.mama sudah berpengalaman dalam mengurus rumah tangga mengurus anak, dan lainnya. Aneh kamu!” balas mas Ridwan lagi.
“Mas kamu selalu saja berbicara tentang surga, doa ibu, berbakti pada ibu tapi kamu bersikap tidak adil pada ku mas. Kamu juga belum bersikap dewasa. Kamu lupa bahwa mengabaikan istri tidak akan membuat surga, doa ibu yang selalu kamu bicarakan itu menjadi nyata mas.”
“Benar kata mama, kamu ini memang istri yang selalu membantah!” balas nya.
Aku akan membalas pesannya lagi namun ada keterangan yang muncul bahwa nomer ku telah di blok.
“Astaga.. Aku harus bagaimana? Aku sama sekali tak mau bercerai mas. Aku hanya ingin memiliki keluarga kecil bahagia mas. kenapa kamu begini?” gumam ku meremas rambut ku keatas.
Air mata ku mulai mengalir deras, rasa sakit di dada mulai terasa. Semua rasa sedih bercampur kekecewaan yang sangat dalam. Aku berdiri dan berlari ke luar kamar hanya untuk menghindari anakku yang bisa terbangun akan suara ku.
“Huhu, sa-kitt. Mas Ridwan, kenapa kamu seperti ini huhuhu.” Tangis ku yang cukup keras ternyata membuat anakku yang tadinya tertidur jadi bangun dan menangis juga. Aku pun segera berlari kedalam kamar ku lagi dan menggendong nya kedalam pelukan ku.
“Reza, sayang.. cup, cup, cup.. jangan menangis ya.. Ibu di sini. Reza pasti kangen ayah ya. Maaf ya sayang. mama belum bisa bawa kamu ke ayah kamu.” Ucap ku menimang-nimang nya.
Yang aku pikirkan saat ini adalah bagaimana cara mempertahankan keluarga ku ditengah mertua ku yang seperti itu. Dari dulu sepertinya aku tak pernah sekalipun membantah mertua ku tapi kenapa mas Ridwan berfikir kalau aku selalu membantah ibunya? Apa aku susul saja mas Ridwan di kantor nya besok ya?
“Ya sepertinya besok saja aku ke kantor nya saja. Reza sayang, yang sabar ya nak besok ibu akan bawa kamu ketemu ayah.” Ucapku mengelus-elus pipi anakku.
Keesokan harinya,
Selepas subuh, aku sudah beberes serta memasak karena siapa tau bapak atau salma nanti pulang. Setelah semua beres, aku bebersih dan tak lupa memandikan anakku juga. Pada pukul 7 pagi tepat, aku pun keuar dari rumah dengan membawa tas sedang berisi pakaian anakku.
“Yeni.. kamu mau kemana?” Tanya bu Eem yang sedang menyirami tanamannya dan melihatku sedang mengunci pagar rumah.
“Yeni mau ke rumah Yeni bu. Oh ya bu, Yeni minta tolong berikan kunci ini kalau bapak atau Salma pulang ya bu.”
“Loh, kamu mau ke sana dan nggak bakal balik ke sini atau mau pulang ke sini lagi?”
“Nanti sore juga pulang bu.”
“Oh begitu, ya sudah. Hati—hati ya Yen. Tapi kamu sudah kasih tau bapak kamu kan Yen?”
“Iya bu. Sudah kok bu. Nanti Yeni kasih tau lagi kunci pagar nya di Ibu.”
“Oh ya sudah. Dadah Reza ganteng.. hati-hati..” Ucap Bu Eem pada anakku.
“Iya nek… Reza berangkat dulu.”
“Oke, dadah..”
Selepas itu, aku pun mulai berjalan hingga jalan besar untuk mencari bus yang akan searah dengan tujuan ku.
Bersambung …