Dijodohkan? Kedengarannya kayak cerita jaman kerajaan dulu. Di tahun yang sudah berbeda ini, masih ada aja orang tua yang mikir jodoh-jodohan itu ide bagus? Bener-bener di luar nalar, apalagi buat dua orang yang bahkan gak saling kenal kayak El dan Alvyna.
Elvario Kael Reynard — cowok paling terkenal di SMA Bintara. Badboy, stylish, dan punya pesona yang bikin cewek-cewek sampai bikin fanbase gak resmi. Tapi hidupnya yang bebas dan santai itu langsung kejungkal waktu orang tuanya nge-drop bomb: dia harus menikah sama cewek pilihan mereka.
Dan cewek itu adalah Alvyna Rae Damaris — siswi cuek yang lebih suka diem di pojokan kelas sambil dengerin musik dari pada ngurusin drama sekolah. Meskipun dingin dan kelihatan jutek, bukan berarti Alvyna gak punya penggemar. Banyak juga cowok yang berani nembak dia, tapi jawabannya? Dingin banget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Dibalik Sikap Dinginnya
Taman luas di belakang rumah sakit itu menjadi saksi bisu dari tangis sunyi seorang Alvyna Rae Damaris. Sudah hampir satu jam gadis itu duduk terpaku di bangku taman, ditemani oleh air mata yang terus mengalir tanpa henti dari mata sembabnya. Setiap kali ia mengusap wajah bulir-bulir bening itu justru semakin deras turun, seolah-olah menolak untuk berhenti. Angin sore yang semilir menerpa dedaunan hanya memperjelas kesendiriannya.
Langit mulai berganti warna jingga senja perlahan ditelan oleh bayangan malam. Lampu taman menyala satu per satu, tapi Alvyna belum juga bergeming dari tempatnya.
Bukan. Tangisnya bukan karena ibunya belum sadarkan diri atau tidak bisa diselamatkan. Justru beberapa jam lalu, ketika dokter mengizinkannya masuk ke ruang rawat untuk bertemu sang mama yang akhirnya siuman, ia malah dibuat terdiam oleh permintaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Permintaan itu terdengar begitu sederhana namun beratnya luar biasa. Dan yang lebih mengguncang, itu disampaikan langsung oleh sang mama di hadapan El dan kedua orang tua mereka.
“Kayaknya kondisi mama makin hari makin lemah Ra. Boleh mama minta satu hal sama kamu? Mama pengen banget lihat kamu sama El menikah. Mumpung mama masih dikasih waktu sama Tuhan. Menikahlah sama El secepatnya ya sayang. Mama cuma takut gak sempat lihat hari bahagia kalian. Kamu mau nurutin permintaan mama kan?” Ucap lemah Sarena. “El kamu bersedia nikah sama putri tante?” lanjutnya
Dan respons yang muncul dari El tanpa ragu, tanpa jeda, tanpa ekspresi keraguan sedikit pun masih terus terngiang jelas di telinga Alvyna.
“Siap Tante. Kalau itu bisa bantu memperbaiki kondisi Tante, makin cepat malah makin baik.” Ucap El.
Siap. Sesimpel itu. Seolah-olah mereka sedang membicarakan kerja kelompok bukan pernikahan. Alvyna sampai tak bisa berkata-kata. Mereka masih sekolah belum lulus. Belum cukup umur secara hukum tanpa izin khusus. Bahkan rencana awal yang dirancang untuk menikah sebulan lagi saja sudah terasa seperti petir di siang bolong bagi Alvyna lalu ini? Harus dipercepat?
Mereka masih punya pasangan masing-masing. Masih sibuk dengan drama sekolah, tugas, dan mimpi masing-masing yang belum terwujud. Bagaimana jadinya jika benar-benar harus menikah dalam waktu dekat?
Kepala Alvyna terasa mau meledak memikirkan semuanya.
Bagi Alvyna, pernikahan bukan hal remeh. Ia memandangnya sebagai ikatan sakral yang hanya boleh terjadi sekali seumur hidup. Dan di usianya yang baru menginjak 17 tahun, kata “menikah” bahkan belum masuk ke dalam daftar prioritas hidupnya. Belum saatnya ia belum mapan. Belum dewasa sepenuhnya. Bahkan belum tau apa sebenarnya ia menginginkan pernikahan seperti apa. Terlebih, bayangan pernikahan justru memicu trauma yang lama terkubur.
Dua tahun lalu, ketika ia baru memasuki SMA, hidupnya runtuh dalam sekejap. Sang ayah sosok yang selama ini ia idolakan sebagai pria keluarga teladan tiba-tiba pulang membawa seorang perempuan dan anak gadis seusianya. Calon istri kedua dan calon saudara tiri begitu katanya.
Mamanya lah yang pertama kali merasakan dampaknya syok berat. Tak butuh waktu lama, mama mengalami serangan jantung ringan. Rumah yang awalnya penuh canda tawa, mendadak dipenuhi suara bentakan dan tangis.
Mamanya lah yang mengajukan cerai papanya menolak. Tapi mama bersikeras hingga akhirnya, keduanya benar-benar berpisah. Sejak itu kepercayaan Alvyna pada cinta dan pernikahan hancur berantakan.
Andai bisa memilih, mungkin Alvyna akan memilih untuk tidak dilahirkan, dari pada harus menyaksikan keluarganya hancur di depan mata. Sejak itu pula ia menjadi pribadi tertutup, menjaga jarak dari siapa pun. Tidak percaya dengan teman, apalagi dengan yang namanya “pacar”. Bahkan dengan pacarnya sendiri ia tak pernah berani menaruh hati sepenuhnya. Dunianya terlalu rapuh untuk kembali percaya pada hal-hal yang katanya indah.
“Lama-lama duduk di sini nunggu pagi sekalian?”
Suara itu memecah keheningan. Suara yang membuat jantung Alvyna otomatis berdegup lebih cepat. Ia menoleh cepat dan benar saja, di sampingnya kini sudah duduk El.
Cowok yang baru saja setuju menjadi calon suaminya. Calon suami yang ditentukan oleh keadaan bukan cinta.
“Ngapain lo ada di sini?” tanya Alvyna ketus. Ia langsung menggeser tubuhnya menjauh, mencoba menjaga jarak aman.
“Gitu amat sama calon suami sendiri? Dosa loh,” sahut El santai, tanpa menoleh ke arahnya.
“Ogah gue nikah sama lo!” sahut Alvyna cepat, wajahnya memerah entah karena emosi atau malu.
“Minimal,” lanjutnya tapi El lebih cepat menyambar.
“Minimal apa? Minimal ganteng? Masa sih?” balas El kali ini langsung mendekatkan wajahnya dengan ekspresi jahil. “Menurut lo bagian mana yang kurang ganteng?”
Alvyna spontan menjauh. Tapi sialnya matanya masih sempat menatap wajah cowok itu dengan jelas.
Terlalu jelas alis tebal, mata hitam tajam, hidung mancung sempurna, bibir merah muda alami, garis rahang tegas yang kontras dengan lesung pipi samar ketika tersenyum, bahkan jakunnya yang naik-turun saat menelan ludah semuanya seolah menjerat pandangan.
“Dosa banget bisa seganteng ini!” gerutu Alvyna dalam hati. Tapi dia tak akan bilang itu ke siapa pun apalagi ke El.
Yang tak ia sadari El pun sebenarnya terpana. Tatapan tajam bola mata hazel Alvyna yang bening, warna kulit yang bersih dan pucat tertimpa cahaya taman, hingga sorot sendu di wajahnya semuanya terasa terlalu menenangkan dan menyihir. Bahkan El sempat lupa cara bernapas.
“Ck gue beneran kayak lupa dunia tiap lihat matanya,” batinnya. Sedikit terkejut oleh efek yang ditimbulkan hanya karena duduk di sebelah cewek yang katanya akan jadi istrinya.
Mereka terdiam beberapa menit. Tidak ada yang bicara, hanya membiarkan waktu melambat di tengah suara jangkrik dan dedaunan bergesekan. Seolah dunia ikut berhenti sejenak.
Hingga akhirnya...
“Ehem.”
Suara deheman pelan memecah keheningan. Keduanya refleks menoleh ke arah suara, dan mendapati Manda mama El sudah berdiri sambil tersenyum penuh arti. Seringai geli dan tatapan menyelidik membuat keduanya langsung saling menjauh seperti kena setrum.
Ekspresi mereka berubah jadi panik dan malu.
Manda hanya terkekeh pelan. “Gak usah langsung menjauh gitu dong. Mama gak masalah kok kalian deketan. Mama cuma mau bilang mama sama papa mau cari makan dulu. Kalian gantian jagain ya.”
Alvyna langsung berdiri gugup. “Iya ma eh tante. Silakan. Maaf jadi kelamaan duduk di sini.”
“Gak papa. Tapi panggilnya ‘mama’ dong. Bentar lagi kan jadi mama kamu juga,” celetuk Manda santai.
Alvyna hampir tersedak. Wajahnya memerah, lidahnya terasa kelu.
“I-iya... Ma…” jawabnya ragu.
Manda tersenyum puas. “Gitu dong kan enak dengernya.”
Lalu ia menoleh lagi kali ini ke El. “Kamu mau dibawain makanan, atau ikut nanti Mas?”
El hanya mengangkat bahu santai. “Nanti aja Ma. Sekalian beli rokok juga.”
Manda langsung mendecak. “Gak usah sering-sering ngerokok Mas! Ra, kasih tau tuh calon suami kamu bandel banget. Sehari bisa tiga bungkus!”
Belum sempat Alvyna menjawab, El sudah menyahut lebih dulu dengan nada iseng, “Tenang Ma. Kalau udah punya istri insyaAllah mengurangi. Soalnya udah ada yang lain buat dicium.”
Alvyna spontan melotot. “El!!” suaranya tercekat.
El cuma nyengir puas ekspresinya jahil bukan main. Manda hanya menggeleng, entah kesal atau gemas, sebelum akhirnya melangkah pergi menuju kantin rumah sakit.
Setelah kepergian Manda, suasana kembali senyap. Tapi tidak lama Alvyna tiba-tiba berdiri dan berlari kecil menjauh dari taman. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
El hanya menaikkan satu alis. Ia melihat punggung gadis itu menghilang di balik lorong rumah sakit, lalu menghela napas pelan. Sudut bibirnya naik membentuk senyum kecil.
“Lucu juga calon istri gue ternyata.”
Lalu ia pun melangkah pergi, meninggalkan bangku taman yang kini kembali sepi, namun menyimpan jejak tawa singkat dan detak jantung yang entah sejak kapan mulai berirama tak menentu.