Novel ini diilhami dari kisah hidup Nofiya Hayati dan dibalut dengan imajinasi penulis.
🍁🍁🍁
Semestinya seorang wanita adalah tulang rusuk, bukan tulang punggung.
Namun terkadang, ujian hidup memaksa seorang wanita menjadi tangguh dan harus terjun menjadi tulang punggung. Seperti yang dialami oleh Nofiya.
Kisah cinta yang berawal manis, ternyata menyeretnya ke palung duka karena coba dan uji yang datang silih berganti.
Nofiya terpaksa memilih jalan yang tak terbayangkan selama ini. Meninggalkan dua insan yang teramat berarti.
"Mama yang semangat ya. Adek wes mbeneh. Adek nggak bakal nakal. Tapi, Mama nggak oleh sui-sui lungone. Adek susah ngko." Kenzie--putra Nofiya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 16 Restu
Happy reading 😘
...Cara meluluhkan hati seseorang, bukan hanya dengan untaian kata manis. Namun dengan tindakan sebagai bukti kesungguhan....
...🌹🌹🌹...
"Papa --"
Suara Nofiya tercekat saat langkah kaki Ridwan semakin mendekat. Ia belum siap untuk menghadapi papanya yang mungkin akan kembali murka karena mendapati Zaenal berada di rumah mereka.
"Kenapa dia pingsan?" Ridwan mengeluarkan suara dengan raut wajah yang terlihat datar. Amarah tak tersirat, membuat Nofiya berani melayangkan tatap.
"Zen demam, Pa. Saat Fiya ingin menemuinya di ruang tamu, Fiya mendapati Zen sudah pingsan."
Tidak ada tanggapan dari Ridwan. Pria paruh baya itu mengunci bibir dan enggan menanggapi jawaban yang diberikan oleh Nofiya dengan rangkaian kata.
"Pa, bantu Fiya untuk menyadarkan Zen." Nofiya kembali bersuara dan menatap netra papanya dengan tatapan memohon.
Hati Ridwan luluh kala indera penglihatannya membentur manik mata yang terbingkai embun. Ia tak kuasa mengabaikan permintaan Nofiya yang tersemat kesungguhan.
Meski bibir Ridwan masih enggan berucap kata, tetapi hatinya tergerak untuk menolong Zaenal.
Ridwan mendaratkan bobot tubuhnya di tepi sofa dan mulai memeriksa keadaan Zaenal.
Terdengar tarikan nafas panjang saat telapak tangannya menyentuh dahi Zaenal.
Pemuda itu benar-benar demam. Bukan berpura-pura pingsan hanya untuk mendapat perhatian darinya atau pun dari Nofiya.
Dengan sangat hati-hati Ridwan mengangkat kedua kaki Zaenal di atas ketinggian jantung, lalu menyangganya dengan bantal sofa.
Kemudian ia mengendurkan ikat pinggang yang melingkar kencang dan melepas kancing kemeja yang dikenakan oleh Zaenal.
Tindakan yang dilakukan oleh Ridwan bertujuan untuk membuat aliran darah kembali ke otak, agar Zaenal segera tersadar dari pingsan.
"Zen." Ridwan menepuk pelan pipi Zaenal, berharap pemuda itu akan segera merespon.
Dan benar saja, usaha Ridwan untuk menyadarkan Zaenal ternyata berhasil.
Zaenal merespon sentuhan dan suara yang tertangkap oleh indera pendengarannya.
Sepasang mata yang semula terpejam, kini terbuka perlahan. Memicing, menyesuaikan cahaya ruang yang masuk ke kornea.
Seutas senyum terbit membingkai wajah Nofiya saat jendela hati Zaenal terbuka sempurna.
Terlafaz syukur karena Zaenal telah sadar dari pingsan.
"Fi --" Zaenal berucap lirih.
"Alhamdulillah kamu udah sadar, Zen."
Zaenal mengerjapkan mata dan mengulas senyum. Lalu mengalihkan atensinya yang semula tertuju pada Nofiya, ke arah Ridwan.
"Om, maafin saya. Saya telah lancang datang ke rumah ini. Saya mengabaikan perintah Om semalam," Zaenal berucap lirih.
Ridwan menghembus nafas berat, lalu beranjak dari posisi duduk.
Inginnya segera berlalu pergi. Namun rasa tak tega menghampiri, karena ia masih mengkhawatirkan keadaan Zaenal saat ini.
"Zen, Papa yang telah menolong mu. Papa yang membuatmu tersadar dari pingsan," tutur Nofiya disertai lengkungan bibir yang membentuk seutas senyum.
Sepasang netra Zaenal seketika berotasi sempurna kala mendengar rangkaian kata yang mengalir dari bibir Nofiya. Ia sungguh tidak menyangka, calon papa mertua yang semalam teramat murka telah sudi menolongnya.
Zaenal memaksa tubuh yang masih terasa lemah untuk bangkit. Namun Ridwan melarang dan meminta Zaenal untuk kembali berbaring.
"Fi, buatkan teh hangat untuk Zen?"
Nofiya mengangguk dan mengindahkan titah yang ditujukan padanya.
Ia bersiap mengayun langkah, tapi Zaenal mencegah dan meminta Nofiya untuk tetap tinggal di ruangan itu.
"Fi, nggak usah bikin teh hangat. Aku udah bawa minum," ucapnya kemudian.
"Baiklah, Zen. Dimana minumanmu? Biar aku ambilin."
"Ada di atas meja. Tolong ambilin juga oleh-oleh buat Om Ridwan."
"He-em."
Nofiya lantas membuka bungkusan yang diletakkan oleh Zaenal di atas meja. Kemudian mengeluarkan isinya satu persatu.
Rupanya Zaenal membeli teh hangat, es sarang burung kesukaan Nofiya, wedang secang, dan ayam bakar utuh plus sambal matang yang ingin diberikan pada calon papa mertua sebagai oleh-oleh.
"Fi, teh hangatnya buat aku. Es sarang burungnya buat kamu, wedang secang dan ayam bakar utuhnya buat Papa kita." Zaenal mulai menyebut Ridwan 'Papa' bukan lagi Om.
"Makasih ya."
"Iya, sama-sama."
Nofiya lantas menyerahkan wedang secang dan ayam bakar utuh pada papanya.
Tidak ada penolakan. Ridwan menerima oleh-oleh pemberian Zaenal dan mengucap kata "terima kasih", lalu kembali mendaratkan bobot tubuhnya di sofa, berhadapan dengan Zaenal dan Nofiya.
Suasana ruang sesaat sunyi, hanya terdengar hembusan nafas dari indera penciuman ketiga insan yang tengah tenggelam dalam diam.
"Zen, Fiya, Papa merestui hubungan kalian." Ridwan memecah sunyi. Rangkaian kata yang terucap menyentak Zaenal dan Nofiya.
"Tapi --" Ridwan kembali bersuara. Namun ia menggantung ucapannya, lalu menatap wajah Nofiya dan Zaenal secara bergantian.
"Tapi apa, Pa?" Zaenal dan Nofiya kompak melontarkan tanya yang sama.
"Tapi, kalian harus bisa menjaga kepercayaan Papa. Jangan menodai Marwah yang selama ini dijaga. Jangan mengorbankan pendidikan hanya demi melampiaskan naf-su sesaat," tutur Ridwan seraya menjawab tanya.
"Zen, jadilah pria yang bertanggung jawab dan bisa menepati janji. Jangan mudah berpaling, jika nanti menemukan kekurangan Nofiya," imbuhnya.
"Iya, Pa. Saya akan berusaha menjadi pria yang bertanggung jawab dan bisa menepati janji, seperti yang Papa tuturkan."
Ridwan mengulas senyum tipis, lalu menghela nafas dalam. Berat baginya memberi restu. Namun sebagai orang tua, ia tidak ingin melihat putri kesayangannya terus menerus bertudung mendung karena kehilangan cinta yang semestinya mewarnai hari.
Ia juga tidak ingin putrinya merasa terkekang dan kelak malah nekat membangkang.
🍁🍁🍁
Bersambung ....
ada2 gajah deh
dasar Conal
Dia otaknya encer...hehehege
Ampuunnn Dahhh
sini di belakang rumahku..sambil ngingu pitik
Dari tadi, aku baca di Zaenal manggilnya YANG..YANG..terus..
itu nama pacarnya Zaenal, Fiya apa Mayang sih..
Aku juga ketawa nihh
Aku pikir Kirana putri cantiknya Author
yang gantengnya sejagad jiwa..yang kumisnya bikin Author gak bisa lupa