Yessi Tidak menduga ada seseorang yang diam-diam selalu memperhatikannya.
Pria yang datang di tengah malam. Pria yang berhasil membuat Yessi menyukainya dan jatuh cinta begitu dalam.
Tapi, bagaimana jika pacar dari masa lalu sang pria datang membawa gadis kecil hasil hubungan pria tersebut dengan wanita itu di saat Yessi sudah ternodai dan pria tersebut siap bertanggung jawab?
Manakah yang akan di pilih? Yessi atau Putrinya yang menginginkan keluarga utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby Ara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Regan tersenyum tipis sembari mengulurkan tangan kekarnya pada Damian. Seakan keduanya sudah lama kenal dan dekat.
Yessi menyipitkan matanya melihat itu.
"Selamat siang, Om."
"Siang," sahut Damian ikut mengulurkan tangan. Bibirnya mengulas senyum lebar membalas Regan.
"Ternyata benar kau, Regan."
"Tunggu dulu."
Yessi melepas tautan tangannya dan Regan begitu saja membuat pria itu melihat Yessi dengan alis terangkat.
"Papa kenal mas Regan?"
Damian mengangguk lalu menarik Yessi dalam pelukannya.
"Princess papa ... Memangnya kenapa, sayang?"
Cukup aneh tentu saja menurut Yessi, papanya adalah segelintir laki-laki dewasa dengan kesibukan luar biasa dikantor setiap harinya.
Bahkan saat Yessi tinggal di mansion, Damian hampir jarang berada di rumah hingga Yessi menghabiskan hari bersama Wulan dengan berbelanja dan perawatan ke salon sesuka hati mereka.
"Papa kok bisa kenal mas Regan? Kenal dimana?"
Mendengar pertanyaan Yessi, mata Damian dan Regan terkoneksi. Regan berdiri dengan santai dan memasukan kedua tangannya ke saku celana.
Tanpa tahu, Bima di atas ranjang mengepalkan tangan sedari tadi melihatnya.
Apalagi, Yessi berdiri sangat dekat dengan Regan. Hati Bima begitu panas dan tidak suka.
"Adalah kejadian kecil. Kau belum menjawab pertanyaan papa." Damian menjawil hidung Yessi.
"Kenapa bisa bersama Regan, hmm? Dan tadi, papa lihat kau masuk di ruangan dokter kandungan bersamanya juga. Apa menstruasi mu bertambah menyakitkan?"
Deg!
Yessi mengontrol raut wajahnya sebisa mungkin. Meskipun jantung Yessi berpacu cepat, tidak bisa di ajak berkompromi.
"Itu, Pa ... Regan kerja jadi OB di gedung apart tempat aku tinggal dan bisa sama dia, karena Regan gak sengaja lewat dan lihat aku duduk di halte sendirian. Jadi, dia nawarin tumpangan. Kebetulan memang sama-sama mau jenguk Bima," jelas Yessi tersenyum kaku apalagi Mentari memelototinya dengan wajah garang.
"Jadi OB?" ulang Damian terdengar sangat keheranan. Regan di tempatnya tetap tenang. Seakan tidak ada yang salah.
"Iya, OB." Yessi mengangguk mantap. "Dan masalah menstruasi aku, semuanya aman kok, Pa. Gak ada yang perlu di khawatirkan."
'Dasar Yessi, Regan pemilik gedung apartemen tempatmu tinggal, sayang. Tapi, kenapa pemuda ini tidak ingin Yessi tahu identitasnya? Dan tadi juga mengatakan hal itu padaku,' batin Damian sangat bingung.
Flashback on.
Setelah Yessi keluar dari mobil Regan, ponsel di saku pria itu bergetar. Asistennya mengirim sebuah pesan.
Tuan, Tuan Damian sudah datang. Tapi, ia ingin anda langsung yang menemaninya melihat barang kita.
Bibir Regan tersungging senyum miring dengan mata menatap penuh arti pada punggung Yessi.
Tunggu disana, balasnya.
Setelah membunyikan klakson, Regan melesat cepat membelah jalanan menuju kantornya. Selang beberapa menit, pria itu sudah tiba di gedung sangat mewah dan menjulang kokoh dengan pengawal berjajar menyambutnya yang berjalan tegap memasuki lobby.
Damian duduk di sofa khusus tamu bersama asisten dan pengawal bawaannya, mengetahui Regan mendekat, lekas berdiri dan inisiatif menyodorkan tangannya terlebih dahulu.
"Selamat pagi, tuan Regan," ucapnya begitu hormat.
Regan melepas kacamatanya, mengangguk singkat. "Pagi. Panggil Regan saja, Om. Mari keruangan saya."
Damian tercengang karena keramahan Regan. Damian sangat tahu rumor tentang Regan, pebisnis muda, dingin dan kejam. Regan bahkan sulit untuk di temui. Asistennya selalu mewakili pria itu saat rapat bertemu kolega bisnis.
Damian tidak tahu saja, semua waktu Regan tersita untuk memantau Yessi, putrinya.
"Iya ... Jangan panggil Om. Tidak enak, Tuan."
"Biar lebih akrab," sahut Regan membuat Damian girang bukan main dalam hati.
Pria berumur 50 tahun itu, sangat mengidolakan Regan sejak lama. Damian tahu, sepak terjang Regan apalagi dalam dunia hitam. Regan adalah pemimpin dari Mafia Ravenom, seperti marga namanya.
Motto mereka, senyap dalam bertindak namun mematikan para pengusik.
Regan dan Damian tiba di ruangan serba gelap milik Regan yang terletak di lantai delapan puluh. Keduanya duduk berhadapan di sofa. Satu botol wine Screaming Eagle Carbenet seharga Rp 6,3 miliar disuguhkan oleh asisten Regan atas perintah pria itu.
Regan memutar gelasnya sensual lalu menghirup aroma anggur mahal yang menguar pekat dari dalam gelas berkaki ditangannya sebelum menyesapnya hingga jakun seksi pria itu turun naik terlihat.
Damian ikut menyesap minumannya bahkan memuji cara Regan layaknya kalangan bangsawan kelas atas tersebut.
"Regan, bagaiman dengan senjata yang om tanyakan kemarin?" tanya Damian saat Regan meletakan gelas kosongnya di atas meja kristal.
"Ikut saya, Om," ujar Regan bangkit dari duduknya.
Lengan jaket kulitnya, Regan gulung sesiku. Menunjukan dengan jelas urat-urat besar yang menyembul dari tangannya.
Damian mengekor di belakang Regan, keheranan karena Regan menuju kaca besar di samping meja kerjanya yang menampilkan kondisi jalanan ramai di bawah sana.
Regan mendekatkan matanya hingga sensor pemindai retina yang terpasang tak kasat mata aktif membuat jendela tersebut bergeser.
Menampilkan jejeran senjata dari kecil hingga paling besar di dalam ruangan serba putih itu. Dalam etalase kaca maupun terpampang memenuhi dinding.
"Silahkan, Om," ujar Regan bersandar di samping tank koleksinya berada di tengah ruangan dengan tangan terlipat didada.
Kepala Damian berputar sana-sini, Ayah Yessi itu juga gemar mengkoleksi senjata. Damian bahkan rela menggelontorkan uang miliaran hanya untuk membeli satu benda tersebut.
"Regan, ini bukan kah koleksi pribadimu?" tanya Damian terkejut karena baru menyadari setelah melihat ukiran unik dan langka benda-benda tersebut.
"Ya, Om bisa pilih sesuka hati," sahut Regan enteng lalu menyulut rokok terapit di bibir merahnya membuat Damian tercengang.
"Terimakasih, tapi ini serius, kan?"
Regan mengangguk mantap bahkan Regan rela memberikan semua koleksinya itu pada Damian untuk di tukar dengan Yessi.
Seandainya bisa.
Mendengar itu, Damian berkeliling bersama asisten Regan. Sedangkan Regan menelpon Yessi yang di angkat oleh Mentari dan berakhir Regan di omeli.
"Beruntung kau sahabat Yessi. Jika tidak, sudah ku tebas lehermu," gumam Regan menahan amarah.
Damian mengambil sepuluh senjata, mulai dari pistol, katana, senapan laras panjang hingga belati emas kesayangan Regan yang mencapai harga puluhan miliar.
"Regan, silahkan kau total berapa. Akan om bayar sekarang juga," ujar Damian tersenyum bahagia.
"Tidak perlu. Semua itu gratis untuk, Om," balas Regan lalu menjatuhkan putung rokoknya kelantai, ia injak dengan sepatu kulitnya.
Regan hanya mengikuti kata pepatah, jika menyukai putrinya maka ambil hati orang tuanya.
Sontak, Damian memeluk Regan ala para lelaki. Mereka juga bertukar nomor ponsel. Damian sempat mengatakan, tentang Yessi pada Regan.
"Mana tahu berjodoh, kan?" Damian terkekeh namun senyumnya luntur mendengar jawaban Regan.
"Amin. Tolong, jangan ceritakan siapa saya pada putri Om."
***
Wulan ikut mendekati Yessi. Ia mengusap kening putrinya itu penuh kasih namun dibuat tertegun karena hawa cukup panas di sana.
"Astaga, sayang. Kau demam?!" seru Wulan khawatir.
Yessi tercengir sebagai tanggapan. Damian juga merasakan hal tersebut, mengecup puncak kepala Yessi sesaat.
"Ya sudah, ikut papa dan mama pulang ke mansion nanti. Tidak ada penolakan!" cetus Damian karena dahi Yessi berkerut seperti tidak setuju. "Sepertinya kau terlalu sibuk belajar, sayang hingga kurang beristirahat dan berakhir sakit begini."
"Betul ... Bu Sarmi menelpon mama, tentang kau yang mendapat nilai seratus beberapa hari lalu. Mama sangat bangga, sayang."
Yessi meneguk ludahnya berat. Itu kan bukan ia yang mengerjakan. Regan tersenyum tipis diam-diam dan itu tertangkap mata Arga yang duduk di sofa dengan tenang.
"Baiklah, aku ikut mama dan papa nanti. Sekarang aku ke Bima dulu," ujar Yessi mengurai perlahan pelukan Damian lalu melangkah mendekat pada Bima yang seketika menyunggingkan senyum termanisnya.
"Hai." Yessi menarik kursi di dekat ranjang Bima. "Gimana keadaan lo, Bim? Kepala lo sakit gak?"
Bima meraih tangan Yessi untuk ia genggam. Berhasil mendatarkan mata Regan yang tiba-tiba sudah berdiri menjulang di belakang Yessi.
"Tadi sakit," ujar cowok memakai perban di kepalanya itu. Menampilkan raut cemas di wajah Yessi. Satu tangan Bima sengaja meraih sebelah pipi Yessi.
"Ada lo disini, gue ngerasa udah sembuh."
"Cieee," goda Mentari berdiri di samping Yessi. "Kayaknya itu kode deh, Yes. Minta jawaban yang waktu itu," kata Mentari dengan suara besarnya membuat Wulan penasaran mendekat.
"Jawaban apa?" ujarnya menatap Yessi dan Mentari bergantian.
"Jawaban--"
Tangan Regan mulai mengepal, Bimo melihat peringatan itu, gegas berdiri dari duduknya lalu menutup mulut Mentari dengan telapak tangan
"Jawaban teka-teki, Tante," sela Bimo cepat.
Bima merasa marah pada adik kembarnya itu. Padahal ia memang ingin Wulan tahu perasaannya pada Yessi. Bima yakin, Wulan pasti mendukungnya lalu menasehati Yessi untuk tidak menggantung perasaannya lagi.
"Bukan, tante. Tapi, pera--"
"Eh, itu mommy saya, Tante," tunjuk Bimo pada pintu yang terbuka menampilkan Veni dan Richard yang datang bersamaan.
"Saya permisi," ujar Regan berbalik pergi melewati Veni dan Richard begitu saja. Tanpa menyapa.
Yessi melihat punggung tegap itu menjauh, entah kenapa sedikit tidak rela.
'Ingat Yessi, dia ngancurin masa depan lo,' batin Yessi menasehati dirinya sendiri.
Orang-orang dalam ruangan itu saling berbincang hingga suasana terasa meriah dan ramai.
Tapi, tidak dengan Yessi berubah jadi pendiam hingga pulang bersama Wulan dan Damian, Yessi masih bungkam sembari memperhatikan bungkus obat di berikan satpam rumah sakit yang berada di pangkuannya.
Kata satpam tersebut, itu titipan Regan untuk Yessi.
Entah kenapa, jauh di sudut hati Yessi. Tiba-tiba menyusup rasa rindu pada Regan apalagi keduanya tidak akan bertemu beberapa hari kedepan.
"Dia kemana? Kenapa nggak kasi sendiri ini ke gue?" ucap Yessi tanpa sadar.
Regan berada di lantai dua sebuah kafe. Tadinya, Regan akan kembali ke ruangan Bima untuk menemui Yessi.
Tapi, Sean menelponnya dengan iming-iming akan mengatakan sesuatu berkaitan dengan masa lalu Regan.
Bahkan Sean mengatakan, Regan akan menyesal jika tidak menemuinya.
Dan disinilah keduanya, saling bertatapan tajam dengan mulut terkunci rapat apalagi Regan dengan aura suram penuh permusuhan.
"Gue tahu, dimana keberadaan Yeslin," ucap Sean setelah lama terdiam membuat sebelah alis Regan menukik tak suka.