Sifa Kamila, memilih bercerai dari sang suami karena tidak mau diduakan. Ia pun pergi dari rumah yang dia huni bersama Aksa mantan suami selama dua tahun.
Sifa memilih merantau ke Jakarta dan bekerja di salah satu perusahaan kosmetik sebagai Office Girls. Mujur bagi janda cantik dan lugu itu, karena bos pemilik perusahaan mencintainya. Cinta semanis madu yang disuguhkan Felix, membuat Sifa terlena hingga salah jalan dan menyerahkan kehormatan yang seharusnya Sifa jaga. Hasil dari kesalahannya itu Sifa pun akhirnya mengandung.
"Cepat nikahi aku Mas" Sifa menangis sesegukan, karena Felix sengaja mengulur-ulur waktu.
"Aku menikahi kamu? Hahaha..." alih-alih menikahi Sifa, Felik justru berniat membunuh Sifa mendorong dari atas jembatan hingga jatuh ke dalam kali.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Mobil mewah melewati jalan sempit, tatapan mata si pengemudi lurus ke depan di mana motor matic melaju. Berharap tidak ada belokkan yang akan membuatnya kehilangan jejak.
Klakson menggema tatkala tiga sepeda yang digoes oleh anak-anak abg melaju sangat lambat, membuat Felix tidak sabar.
Tiga anak tersebut akhirnya mengalah menggoes sepeda di sebelah kiri secara beriringan.
"Hai bocah, begitukan bagus, bersepeda kok di tengah-tengah. Kalau saya tabrak bagaimana?" Ketus Felix sambil berlalu, menatap anak-anak dari kaca yang dia turunkan setengah.
Brak!
Ketiga anak itu mengejar, salah satu dari mereka menggebrak mobil Felix. "Orang kaya songong! Emang ini jalanan siapa?" Anak-anak yang biasa tawuran itu membentak.
Felix tidak mau menanggapi anak-anak yang sudah pasti akan berbuntut panjang, lebih baik melaju kencang mengejar buruan yang sesungguhnya. Karena bukan anak-anak itu yang menjadi target, tetapi Felix sudah tertinggal jauh oleh Sifa.
Namun, mobil dari arah berlawanan melaju ke arahnya. Kedua mobil itu masing-masing berhenti karena jalanan hanya bisa untuk dilalui satu mobil kecuali dengan motor.
"Sial!" Felix mengumpat terpaksa turun dari mobil, begitu juga dengan pengendara di depanya. Keduanya akhirnya berhadapan meributkan jalan, karena salah satu mobil harus ada yang mengalah mundur.
"Tuan yang sebaiknya mundur" perintah pria paruh baya, ia mengatakan jika sedang dalam perjalanan mengantar saudaranya yang sakit tidak bisa membuang waktu lagi.
"Tapi saya juga mempunya tujuan penting, Pak" kilah Felix dengan raut kecewa. Walaupun akhirnya dia mengalah, karena Sifa yang Felix kejar pun sudah pergi entah ke mana. Sambil marah-marah sendiri, Felix terpaksa mundur padahal perjalanan sudah lumayan jauh.
***************
Di dalam rumah lantai satu tetapi besar, di sana wanita paruh baya tengah marah-marah. Sebab, menghubungi seseorang tidak juga dijawab. "Suami kamu itu tidak berguna Dania. Disuruh menebus obat saja lama sekali" Dia adalah mama Dania yang sedang emosi karena Felix sudah dua jam belum juga kembali, padahal jarak dari rumah ke apotek tidak jauh.
"Sudahlah Ma... jangan marah-marah terus" lirih Dania. Wanita tak berdaya itu masih membela suaminya, walaupun kepalanya sakit sekali karena menunggu obat yang sedang Felix beli.
"Tetapi kepala kamu sudah sakit sekali sayang..." Susan sedih sekali anak perempuan satu-satunya telah mengalami nasib seperti itu.
"Mama..." Dania minta agar sang mama berpikir positif, bisa saja suaminya itu macet ketika dalam perjalanan.
"Ya sudah..." Susana menahan kesal. Ia letakkan handphone di atas meja, kemudian mengusap tangan putrinya yang sedang menahan sakit di kursi roda.
Susan menatap putrinya sendu, hidupnya kini tidak ada pilihan lain selain menurut saja apa kata Dania. Berdebat justru membuat putrinya semakin sakit. Jika boleh menyesal, sejak awal Susan tidak pernah menyetujui ketika Dania akan menikah dengan Felix yang terbukti tidak mampu menjaga Dania. Justru Felixl ah yang membuat putrinya menderita. Dania yang dulu energig, lincah, dan segar bugar, mampu mengerjakan apapun tanpa bantuan, tetapi kini hanya duduk di kursi roda. Orang tua mana yang tidak syok menerima kenyataan ini.
Susan beranjak meninggalkan putrinya, lalu berdiri menatap luar jendela. Menghapus air mata yang akhirnya jatuh, walaupun dia sembunyikan dari Dania. Hingga beberapa menit setelah lega, Susan keluar kamar hendak ambil air minum untuk Dania, karena stok di kamar sudah habis.
"Ada yang bisa saya bantu Nyonya?" Tanya bibi ketika Susana mengisi gelas besar.
"Tidak Bi" Susan mengisi gelas sendiri, setelah penuh hendak kembali ke kamar. Namun, ketika mendengar derung mobil di luar, ia melongok melalui jendela ruang tamu.
"Bi... Biar saya saja yang membuka pintu" cegah Susan setelah tahu jika Felix yang datang. Susan memberikan gelas kepada bibi agar diantar ke kamar Dania, kemudian Susan membuka pintu.
Di dalam pintu rumah, Susan menahan marah ketika Felix melangkah masuk.
"Hebat sekali kamu Felix" todong Susan dengan kata-kata pedas, tidak peduli walaupun sang menantu masuk dalam keadaan lelah dan kacau.
"Ada apa Ma?" Felix yang sudah pusing karena rencananya gagal, ditambah lagi mendengar omelan mertua.
Felix membanting bokongnya di kursi, lalu menunduk menyugar rambutnya ke belakang. Membiarkan mertuanya yang berdiri melipat tangan di dada.
"Kenapa kamu malah duduk Fel, cepat berikan obat yang kamu beli. Istri kamu sudah kesakitan Felix"
"Hah... Obat?" Felix seketika berdiri merogoh saku mencari resep.
"Mencari apa kamu Felix?" Susana sudah bisa menangkap bahwa menantunya itu tidak mengerjakan tugas dengan baik.
"Sebentar Ma, saya lupa" Felix tidak mau menjelaskan apa maksudnya. Lalu pergi begitu saja tidak mendengarkan mertuanya yang sedang marah-marah. Pria itu tancap gas kembali ke apotek ketika ingat resep obatnya dia tinggalkan di sana.
*****************
Sementara di dalam kost, Sifa mengumpulkan lima anak buahnya termasuk Siti. Ia memerintahkan kepada mereka agar bekerja dengan baik karena waktu libur kampus tiga hari ini akan dia gunakan untuk pulang. Lagi pula stok minyak yang dia produksi masih lumayan banyak. Selain menjenguk orang tuanya yang sudah tiga tahun lebih tidak Sifa kunjungi, Sifa juga ingin menenangkan diri.
"Baiklah Sifa, kamu hati-hati di jalan" pesan Siti dan teman-teman.
"Iya, kalian juga harus hati-hati kalau lagi kunjungan ke toko-toko" pungkas Sifa. Sifa segera berkemas membawa pakaian hanya beberapa saja. Ia tata baju tersebut di dalam rangsel dan beberapa botol minyak wangi buatanya. Tentu saja untuk oleh-oleh keluarga di kampung.
Kaos dan celana jins sudah melekat di tubuhnya, tidak lupa jaket, Sifa kemudian berangkat diantar Siti ke terminal setelah dia gendong rangsel di punggung.
"Hati-hati Sifa, kalau sudah sampai jangan lupa kasih kabar ya" pesan Siti ketika Sifa hendak naik ke dalam bus.
"Tentu Siti" Sifa cipika cipiki dengan sahabat sekaligus anak buah itu, sebelum bus meninggalkan terminal.
Di dalam bus Sifa duduk di pinggir kaca, memandangi suasana jalanan yang padat merayap. Seketika ingat Alvin yang tidak dia pamiti.
Sifa bersandar di jok kemudian foto selfie dengan handphone yang selalu dia genggam. Untuk apa foto tersebut? Tentu saja ia kirimkan ke Alvin, setelah ia tulis beberapa kata di bawah foto. "Al, coba tebak aku di mana?" Chat Sifa lalu dia beri emote tersenyum. Satu menit, dua menit, hingga satu jam Sifa menunggu jawaban, tetapi Alvin belum membuka pesan. Sifa menyimpan handphone di tas kemudian tidur.
Delapan jam berada di dalam bus, tepat tengah malam Sifa tiba di terminal daerahnya.
"Mbak-Mbak sudah sampai" kernet bus membangunkan Sifa.
Mata merah khas bangun tidur itu memandangi orang-orang yang sudah berdiri di tengah-tengah bus beriringan hendak turun. "Iya Mas" ucapnya serak.
Begitu turun dari bus ia berjalan cepat ke toilet, banyak yang akan ia lakukan di tempat itu. Beruntung bagi Sifa karena salah satu toilet pun kosong, sebab sudah tidak betah menahan air seni.
Di depan kaca toilet, Sifa menyisir rambut dan merapikan penampilan sebelum pindah angkutan yang akan mengantar ke tempat tinggalnya.
Kaki Sifa hendak naik ke dalam angkutan, tetapi tidak ada tempat kosong.
"Di depan masih kosong Mbak" ucap salah satu penumpang dengan bahasa medok khas orang jawa asli.
"Terimakasih" Tanpa ragu, Sifa membuka pintu angkutan bagian depan yang sudah mulai rusak. Dia putar rangsel ke depan kemudian duduk memangku rangsel.
Mobil angkutan pun berjalan sedang sesekali berhenti menurunkan penumpang. Hanya tinggal Sifa sendiri di dalam mobil tersebut, ia tidak tahu jika di belakangnya sepeda motor mengikuti.
...~Bersambung~...