Seorang pendekar muda bernama Panji Rawit menggegerkan dunia persilatan dengan kemunculannya. Dia langsung menjadi buronan para pendekar setelah membunuh salah seorang dedengkot dunia persilatan yang bernama Mpu Layang, pimpinan Padepokan Pandan Alas.
Perbuatan Panji Rawit ini sontak memicu terjadinya kemarahan para pendekar yang membuatnya menjadi buronan para pendekar baik dari golongan putih ataupun hitam. Sedangkan alasan Panji Rawit membunuh Mpu Layang adalah karena tokoh besar dunia persilatan itu telah menghabisi nyawa orang tua angkat nya yang memiliki sebilah keris pusaka. Ada rahasia besar di balik keris pusaka ini.
Dalam kejaran para pendekar golongan hitam maupun putih, Panji Rawit bertemu dengan beberapa wanita yang selanjutnya akan mengikuti nya. Berhasilkah Panji Rawit mengungkap rahasia keris pusaka itu? Dan apa sebenarnya tujuan para perempuan cantik itu bersedia mengikuti Panji Rawit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wasiat Terakhir Maharesi Girinata
"Kog cuma separuh Guru? Separuh nya lagi dimana?", tanya Pramodawardhani yang tak bisa menyembunyikan rasa penasaran nya.
Haaaeeeehhhhhh...
Terdengar helaan nafas panjang dari mulut Maharesi Girinata mendengar pertanyaan ini. Dia sudah menduga sebelumnya. Lalu mulailah lelaki tua itu bercerita sambil sesekali di sela oleh batuk-batuk kecil.
20 tahun yang lalu, saat terjadi pergolakan politik di Kerajaan Medang Mataram ( Medang periode Jawa Tengah ), banyak pendekar yang membentuk kelompok-kelompok akibat dari munculnya rasa kekhawatiran akan keberlangsungan Kerajaan Medang Mataram selanjutnya. Masing-masing memiliki pimpinan persekutuan sendiri dengan aturan yang berbeda-beda.
Akan tetapi dari pengelompokan para pendekar ini, muncul dua kelompok terkuat diantara perkumpulan pendekar kecil di beberapa titik wilayah masing-masing .Dua kelompok pendekar terkuat ini dipimpin oleh seorang pendekar hebat yang memiliki kemampuan luar biasa.
Yang pertama adalah Kelompok Pendekar Mataraman yang memiliki ratusan anggota pendekar berilmu tinggi yang tersebar di seluruh wilayah dari Gunung Lawu di timur hingga Gunung Agung ( Gunung Slamet sekarang ). Mereka dipimpin oleh Danghyang Mahabikhu Dharmapala dari Bhumi Sambara, yang merupakan pusat pendidikan agama Budha terbesar di Kerajaan Medang Mataram. Mahabikhu Dharmapala sendiri masih berkerabat dekat dengan pihak Istana Kotaraja Pohpitu yang merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Medang Mataram.
Kelompok kedua dibentuk di kawasan timur lereng Gunung Wilis yang dengan nama Persaudaraan Pendekar Katimuran yang dipimpin oleh Mpu Prawara, jagoan nomor wahid yang memiliki segudang ilmu kesaktian tingkat tinggi. Anggota nya mencapai ratusan pendekar berilmu tinggi yang tersebar dari Gunung Mahameru di timur hingga lereng Gunung Lawu di barat.
Kedua kelompok besar ini memiliki perbedaan dalam menghadapi setiap permasalahan. Yang paling terkenal adalah saat bencana alam Gunung Mandrageni meletus dan Mpu Sindok memimpin orang-orang Medang pindah ke Pulau Jawa bagian timur.
Kelompok Pendekar Mataraman menginginkan agar selepas bencana itu mereda, Mpu Sindok memimpin lagi orang-orang Medang kembali ke Pohpitu dan membangun ibukota Kerajaan Medang Mataram yang porak poranda itu. Akan tetapi Mpu Sindok menolak untuk menerima permintaan itu karena berpendapat ibukota yang sudah hancur telah hilang wahyu kedaton nya. Karena masalah ini, Kelompok Pendekar Mataraman menyerbu Istana Medang Sawit.
Akan tetapi bantuan dari Persaudaraan Pendekar Katimuran membuat Mpu Sindok dapat mempertahankan Istana Medang Sawit bahkan bisa mengusir mereka. Bersama dengan pihak Istana Medang Sawit, Persaudaraan Pendekar Katimuran memburu sisa-sisa pasukan pemberontak hingga ke lereng utara Gunung Lawu.
Pada pertempuran Gunung Lawu, pertarungan antara mereka berjalan alot dan melelahkan. Danghyang Mahabikhu Dharmapala dan Mpu Prawara bertarung hingga 3 hari 3 malam tanpa menemukan siapa pemenang nya. Mereka berdua benar-benar pendekar pilih tanding.
Untuk mengakhiri pertarungan yang seolah tidak ada akhirnya ini, pimpinan pasukan Medang kala itu, Senopati Srenggono, mengusulkan untuk berdamai akan tetapi Danghyang Mahabikhu Dharmapala harus menyerahkan separuh Kitab Ajian Waringin Sungsang yang merupakan puncak ilmu kesaktiannya pada Mpu Prawara. Sang bikhu agung menyetujuinya dengan syarat pemerintah Kerajaan Medang tidak akan memburu lagi sisa-sisa Kelompok Pendekar Mataraman. Senopati Srenggono setuju dan Mahabikhu Dharmapala pun membagi dua Kitab Ajian Waringin Sungsang.
Setelah kesepakatan itu, dua kelompok pendekar itu berpisah. Namun, Senopati Srenggono dengan liciknya menyergap sisa-sisa Kelompok Pendekar Mataraman hingga menyisakan Mahabikhu Dharmapala yang dikeroyok oleh ratusan prajurit. Mahabikhu Dharmapala luka parah namun sebelum di bunuh, ia mengutuk Senopati Srenggono dan pasukannya menjadi serigala karena mengeroyok orang tanpa perasaan.
Kutukan ini langsung menjadi kenyataan. Senopati Srenggono berubah menjadi serigala juga dengan para prajurit nya. Dengan sisa kekuatan nya, Mahabikhu Dharmapala menghempaskan serigala serigala itu hingga mereka terlempar ribuan tombak jauhnya dari tempat itu.
Pada saat itulah, seorang pemuda pencari kayu bakar menemukan Mahabikhu Dharmapala yang sekarat di bawah pohon. Dan pemuda itu adalah Girinata muda yang kemudian mendapatkan warisan seluruh ilmu kedigdayaan Mahabikhu Dharmapala sesaat sebelum ia meninggal. Dari semua ilmu hebat milik Mahabikhu Dharmapala, hanya Ajian Waringin Sungsang saja yang tidak bisa dipelajari oleh Girinata karena hanya separuh bagian saja yang bisa dia pelajari.
"Jadi sisa Kitab Ajian Waringin Sungsang ini ada di tangan Mpu Prawara, Guru?", tanya Panji Rawit setelah Maharesi Girinata menyelesaikan cerita.
"Seharusnya memang begitu, Rawit..
Tetapi saat aku mendatangi tempat tinggal pendekar tua itu, ternyata ia sudah meninggal. Dari cerita yang ku dengar, ia memiliki seorang anak lelaki yang bernama Pancawara. Tapi sayangnya dia tidak ada di tempat itu lagi. Uhukk uhukk..!
Aku mendengar bahwa dia pernah muncul di sekitar Pelabuhan Hujung Galuh. Tugas mu adalah menemukan nya dan menyempurnakan Ajian Waringin Sungsang ini", Maharesi Girinata batuk-batuk lagi setelah bercerita. Kemudian tubuh lelaki tua itu oleng. Panji Rawit dan Pramodawardhani buru-buru menangkap nya sebelum jatuh ke tanah.
"Guru guru, kau baik-baik saja?! ", tanya Panji Rawit dengan penuh kekhawatiran. Maharesi Girinata tersenyum kecut mendengar pertanyaan ini.
" Rawit, hidup ku sudah tidak lama lagi. Ini adalah alasannya kenapa aku memaksa mu berlatih keras selama 3 purnama ini. Selain menemukan separuh dari Kitab Ajian Waringin Sungsang, ada satu lagi yang ingin kau lakukan untuk ku.
Temukan adik seperguruan ku Begawan Randuseta di Kambang Putih dan mintalah sebagian Batu Langit Hitam yang ku titipkan pada nya untuk membuat sebuah senjata. Kau harus menjadi seorang pendekar hebat yang menjunjung keadilan di muka bumi iniiiiihh.. ", setelah berkata demikian, kepala Maharesi Girinata pun terkulai lemah. Pramodawardhani segera memeriksa nafasnya dan seketika menggeleng pelan pada Panji Rawit.
" Guru sudah pergi Kakang Panji Rawit..
Rupanya kita salah sangka pada nya selama ini. Tujuannya mendidik dengan keras hanyalah ingin mewariskan ilmu nya secepat mungkin karena ia tahu ajalnya sudah dekat ", ucap Pramodawardhani dengan mata berkaca-kaca.
"Iya Cempluk.. Sekarang yang terpenting adalah kita harus menyempurnakan jasad guru hingga ia bisa mencapai nirwana", Pramodawardhani yang kini di panggil si Cempluk oleh Panji Rawit karena pipinya yang sedikit tembem, langsung mengangguk cepat.
Panji Rawit segera menggendong jasad Maharesi Girinata dan melesat ke arah pertapaan. Pramodawardhani dengan setia mengekor di belakangnya.
Begitu sampai di tempat yang menjadi rumah Panji Rawit dan Pramodawardhani selama 3 purnama ini, mereka segera berbagi tugas. Panji Rawit segera memandikan jenazah sang guru sementara Pramodawardhani mengumpulkan kayu-kayu kering yang akan digunakan untuk menyucikan Maharesi Girinata memasuki alam keabadian.
Asap tebal membumbung tinggi seolah mencecah langit dengan jelaga nya yang hitam pekat, mengikuti goyangan api yang terus berkobar dari kayu bakar. Panji Rawit dan Pramodawardhani terus memandang takjub ke arah kobaran api yang kini menyucikan jasad sang guru.
Menjelang malam tiba, api penyucian diri Maharesi Girinata telah padam. Menyisakan abu tulang yang terkumpul dalam satu tempat. Panji Rawit segera mengumpulkan nya ke dalam bokor kuningan. Begitu rampung ia bersama dengan Pramodawardhani segera menguburkan bokor kuningan berisi abu jenazah Maharesi Girinata itu ke dalam sanggar pamujan. Tak lupa mereka menyalakan arang pada anglo tanah liat dan memasukkan kemenyan. Bau harum menyebar luas ke segala penjuru mengusir bau yang tidak sedap akan tetapi tak mampu menghilangkan kesedihan dalam hati Pramodawardhani dan Panji Rawit yang kehilangan guru mereka.
Pagi-pagi sekali, Panji Rawit dan Pramodawardhani meninggalkan pertapaan milik mendiang Maharesi Girinata. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, keduanya seperti terbang diatas pucuk-pucuk pepohonan yang tumbuh subur di kaki Gunung Lawu.
Dalam beberapa tarikan nafas, keduanya telah jauh meninggalkan pertapaan Maharesi Girinata hingga memasuki wilayah paling timur Pakuwon Gembol. Di tepi sebuah hutan kecil yang ada di perbatasan antara Pakuwon Gembol dan Karang Anengah, suara pertarungan memantik keingintahuan Panji Rawit. Buru-buru ia menarik tangan Pramodawardhani untuk bersembunyi ke balik batang pohon besar.
"Kakang, bukankah itu adalah orang yang menonton kita di pertarungan melawan orang-orang berewok tempo hari?
Mengapa mereka bertarung dengan para prajurit? ", bisik Pramodawardhani lirih.
" Aku juga tidak tahu, Cempluk.. Tapi sebaiknya kita tidak memantik masalah dengan siapapun saat ini. Aku ingin menyimpan tenaga ku untuk membuat Padepokan Pandan Alas rata dengan tanah ", ucap Panji Rawit seraya mengepal erat.
" Mereka sudah pasti mengenali kita. Lantas dengan cara apa kita tidak berurusan dengan mereka? ", Pramodawardhani menggaruk kepalanya tak mengerti. Melihat itu, Panji Rawit tersenyum tipis sembari berkata,
" Tentu saja dengan penyamaran.. "
eh lha kok justru nyawa mereka sendiri yang tercabut 😆
modyar dengan express dan success 😀
bisa membuat tanah terbelah...keren! 👍
Ajian Malih Butha tak ada gregetnya di hadapan Lokapala 😄
up teruus kang ebeezz..🤗🤗
tuh kan bnr iblis pencabut nyawa cmn skdr nama.
nyatanya nyawa mreka sndiri yg di cabut