Gita, putri satu-satunya dari Yuda dan Asih. Hidup enak dan serba ada, ia ingat waktu kecil pernah hidup susah. Entah rezeki dari Tuhan yang luar biasa atau memang pekerjaan Bapaknya yang tidak tidak baik seperti rumor yang dia dengar.
Tiba-tiba Bapak meninggal bahkan kondisinya cukup mengenaskan, banyak gangguan yang dia rasakan setelah itu. Nyawa Ibu dan dirinya pun terancam. Entah perjanjian dan pesugihan apa yang dilakukan oleh Yuda. Dibantu dengan Iqbal dan Dirga, Dita berusaha mengungkap misteri kekayaan keluarganya dan berjuang untuk lepas dari jerat … pesugihan.
======
Khusus pembaca kisah horror. Baca sampai tamat ya dan jangan menumpuk bab
Follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 ~ Bukan Asih
Asih tiba di klinik tempat Gita dirawat, Ikbal mengenalkannya pada Dirga. Hatinya sakit melihat putri satu-satunya terbaring sakit dan lemah, meski Ikbal sudah menyampaikan kalau kondisi Gita sudah lebih baik.
“Bu, aku takut,” ujar Gita, tangannya digenggam Asih sedangkan tangan lainnya mengusap kepalanya.
“Iya, ada Ibu di sini.”
“Bapak, Bu. Aku lihat … bapak.”
“Bapak sibuk, jadi tidak bisa kesini.”
“Bukan itu,” ujar Gita menatap ibunya bergantian menatap Ikbal dan Dirga yang menggelengkan kepala seakan menyuruhnya untuk tidak menceritakan kalau wajah pocong yang ia lihat mirip bapak.
Dirga dan Ikbal menunggu di luar kamar, agak jauh karena merokok. Membiarkan Asih bersama Gita. Kedatangan Ibunya Gita membuat Dirga semakin tidak ingin pulang, aura negatif sangat pekat dari tubuh wanita itu. Sepertinya terlalu sering berinteraksi dengan makhluk gaib atau perjanjian dengan iblis.
“Mas pulang aja, biar saya dan Bude yang jaga Gita,” ungkap Ikbal.
“Ada yang aneh Bal, tapi gue belum yakin. Gue di sini dulu, memastikan sesuatu dan lagi gue janji sama Gita bakal temani dia.”
Ikbal terkekeh penuh arti. “Iya mas, paham aku. Gita masih jomblo, kalau Mas mau serius aku sebagai kakak ya dukung saja.”
“Serius, Gita masih jomblo? Masa sih nggak ada yang dekat atau ….”
“Serius Mas. Yang suka banyak, mungkin belum ada yang pas di hati.”
Tengah malam, Dirga masih asyik dengan game online. Ikbal sudah tertidur meski hanya duduk di kursi tunggu dan bersandar ke pilar. Asih menemani Gita di dalam kamar, berbaring di karpet tidak jauh dari ranjang mepet ke tembok.
Tidak biasanya Dirga merasakan kantuk, bahkan menguap berkali-kali. Padahal sudah minum dua gelas kopi setelah maghrib.
“Si4l, ngantuk banget sih.”
Dirga pun menyimpan ponselnya ke saku sweater lalu masuk ke dalam kamar, memastikan Gita sudah terlelap dan merapatkan tirai pembatas. Ranjang lain di kamar itu kosong, pasiennya sudah pulang waktu sore. Kembali ke kursi tunggu di depan kamar, Dirga pun mengeratkan sweater dan menyandarkan kepala mulai memejamkan mata.
Di dalam kamar, Gita yang sedang terlelap perlahan terjaga. Karena terdengar isak tangis dari balik tirai, sepertinya dari ranjang di sampingnya.
“Bu,” panggil Gita.
Tidak ada sahutan, Asih terlelap. Gita pun tidak tega membangunkan. Nyatanya suara isak tangis masih terdengar dan sangat lirih. Ia beranjak duduk dan hendak turun dari ranjang, ingin melihat siapa yang menangis. mungkin saja pasien yang butuh bantuan.
Sempat merinding dan bergidik karena suara tangisan itu begitu lirih dan mirip dengan suara Ibunya. Mendorong tiang infus, Gita melangkah dan menyingkap pelan tirai pembatas. Betapa terkejut saat mendapati bukan pasien yang berbaring di ranjang, melainkan sosok pocong. Kali ini wajah sosok tersebut begitu mirip dengan … Asih.
“Aaaa,” teriak Gita lalu melangkah mundur dan terbentur ranjang.
Brak. Srek.
Dirga menyibak tirai lalu meraih tubuh Gita yang mematung dengan tangan menunjuk ke arah samping ranjang.
“Gita, hei. Denger gue!” Dirga menepuk pipi gadis itu pelan, lalu merapal doa.
“I-bu,” ucap Gita. “Mas, pocong itu mirip Ibu.”
Dirga membantu Gita kembali merebahkan diri, meski masih dengan tatapan menerawang dan tubuh masih gemetar. Penasaran, Dirga pun menyibak tirai tidak ada apapun atau siapapun. Namun, masih merasakan aura negatif di sana.
“I-Bu,” ucap Gita. Dirga melihat Asih masih terlelap, agak aneh karena teriakan Gita cukup kencang, tapi wanita itu seakan tidak terganggu.
“Udah Git, ada gue. Ibu masih tidur, mungkin lelah. Jangan lengah, baca doa dan ayat yang gue kasih,” titah Dirga sambil mengusap wajah Gita agar melupakan apa yang ia lihat tadi.
“Mas, pocong itu datang lagi. wajahnya berubah,bukan wajah bapak, tapi … Ibu.”
Dahi Dirga mengernyit, mendengar ucapan Gita. Menoleh ke arah dimana Asih masih berbaring. Ilmu atau ritual apa yang keluarga itu lakukan sampai meneror seperti ini, bahkan wajah pocong berubah menjadi wajah manusia yang masih hidup.
“Mas,” ucap Gita lirih dan parau, masih didera ketakutan.
“Gue tungguin di sini, lo tenang aja. Maaf, tadi gue ketiduran. Nanti kita cari tahu penyebab lo diteror makhluk itu, tapi kalau sudah sehat.”
Gita resah dan takut. Dirga yang sejak awal bertemu merasa tertarik pada gadis itu, ingin menenangkan dan melindunginya. Ia melantunkan ayat suci dengan pelan, sambil mengusap punggung tangan Gita. Sesekali Gita mengikuti, perlahan matanya menutup dan terlelap.
***
Ikbal datang membawakan sarapan untuk mereka, Gita baru saja sarapan meski agak dipaksa oleh Asih. Dirga sesuai janjinya tidak beranjak dan tetap menjaga, sempat ke toilet untuk mencuci muka.
“Mas Dirga, sarapan dulu. Aku bawa keluar ya,” usul Ikbal.
“Hm.” Dirga mengusap wajahnya dengan tisu sambil memperhatikan wajah Gita yang sudah lebih segar dibandingkan kemarin.
Ponsel Asih berdering, ternyata panggilan dari Yuda.
“Halo, mas,” sapa Asih sambil keluar kamar.
Dirga menghampiri Gita. “Udah enakan?”
Gita mengangguk pelan. “Aku mau pulang, tapi di kosan ada dia juga Mas. Jadi bingung harus kemana?”
“Tinggal bareng gue aja.”
“Emang boleh, kita ‘kan ….”
“Kalau udah halal,” canda Dirga, tapi serius. Ia menatap wajah Gita melihat respon dari gadis itu. Nyatanya wajah Gita merona.
“Git, bapak kamu sakit. Kamu ikut ibu pulang ya,” tutur Asih.
“Nggak mau Bu, aku ogah pulang ke Barungan.”
“Ibu nggak bisa ninggalin kamu dan abaikan Bapak. Jadi kamu ikut pulang, ibu rawat kalian berdua sampai sembuh.”
“Aku sudah sembuh, Bu. Lagi pula aku bukan sakit, aku hanya takut.”
“Gita,” ucap Asih.
“Bude, Gita biar sama saya. Ada Dirga juga di sini, Bude pulang temani Pakde. Insha Allah, Gita aman.”
Asih agak khawatir, tapi tidak bisa mengabaikan Yuda. Menatap putrinya lalu Ikbal dan Dirga, percaya kalau kedua pria itu memang baik dan tidak aneh-aneh. Apalagi saat subuh, Asih terbangun dan mendengar Dirga sedang mengaji di samping Gita yang terlelap.
“Kamu yakin nggak mau ikut Ibu pulang?” Gita mengangguk pelan. Asih menghela nafasnya, kondisi Yuda lebih mengkhawatirkan dibandingkan Gita, gegas ia meninggalkan klinik menuju kampung halamannya.
Sedangkan di tempat berbeda, Yuda menggigil dan menatap sekeliling kamarnya. Sosok pocong berwajah Asih masih kerap mengganggunya, semalaman.
“Asih masih hidup, dia bukan pocong.”