Menjadi yang ke-dua bukanlah keinginan juga pilihan yang terbaik bagi Lea. Apalagi harus berada dalam lingkaran poligami. Baginya, pernikahan adalah ibadah terpanjang dan sakral.
Namun, karena sang calon imam tak kunjung datang saat akan ijab qobul, Bagas dengan sukarela menjadi pengganti. Lea mengira Bagas tulus menikahinya. Akan tetapi, ia salah karena Bagas hanya ingin menggunakan rahimnya untuk menjadi ibu pengganti dari benihnya dan Melissa.
Bak sedang bermain api, Bagas justru terjebak dengan perasaannya pada Lea. Sebaliknya Lea yang memang tak mencintai Bagas, sikapnya selalu dingin pada sang suami.
Belum lagi karena Bagas tak bisa menerima kehadiran baby Sava, anak yang diadopsi Lea sebelum ia mengandung benih dari Bagas dan Melissa.
Pertengkaran pun sulit terhindarkan diantara mereka, karena Lea dan Bagas tak sepemikiran. Belum lagi kehadiran Wira yang semakin membuat Bagas naik pitam.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka selanjutnya? Ayo kepoin guys.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. PYTD
Bandara kota J ....
Begitu mendapatkan kopernya, Lea lebih dulu berpamitan pada rekan seprofesinya. Tak peduli dengan tawaran Panji yang ingin mengantarnya pulang.
Sesaat setelah melewati terminal kedatangan, Lea berhenti sejenak lalu menghubungi pak Wardana. Hanya di deringan pertama panggilannya langsung dijawab.
“Lea, apa kamu sudah sampai, Nak?”
“Iya, Ayah.” Lea melanjutkan langkah menuju pintu keluar.
Selang beberapa detik kemudian, pak Wardana berjalan ke arah Lea lalu memutuskan panggilan telefon. Ia kemudian mengambil koper Lea lalu mengajaknya menuju mobil.
“Maafkan Lea karena sudah merepotkan Ayah malam malam begini,” ucap Lea sesaat setelah duduk di dalam mobil.
“Nggak apa-apa Nak,” balas pak Wardana dengan seulas senyum lalu mulai melajukan kendaraannya.
“Apa Mbak Melissa ada di rumah sakit, Yah?”
“Ayah memintanya pulang beristirahat.”
Lea hanya mengangguk pelan. Kini pandangan bunda Sava mengarah ke jendela mobil. Setelah itu, sudah tak ada lagi pembicaraan sehingga mereka tiba di rumah sakit.
Ketika Lea dan pak Wardana berada didepan pintu rumah sakit, keduanya malah berpapasan dengan Wira.
“Wira,” sapa pak Wardana. Namun sang dokter mengabaikan sapaan pria paruh baya itu. Pak Wardana hanya bisa menghela nafas kecewa.
Begitu pak Wardana dan Lea mulai menjauh, Wira mengernyit merasa tak asing dengan wajah bunda Sava.
“Gadis yang bersama pria itu seperti Lea. Ah, apa aku salah lihat? Tapi, nggak mungkin juga,” gumam Wira.
Sedangkan pak Wardana dan Lea, kini sudah berada di depan pintu kamar Bagas.
“Masuklah Nak, tapi ayah sarankan sebentar saja. Soalnya kamu juga perlu istirahat. Besok kamu bisa datang menjenguknya lagi,” pesan pak Wardana. “Ayah tunggu kamu di parkiran, ya.”
“Iya, Ayah.” Lea kemudian membuka pintu. Sesaat setelah berada di dalam kamar rawat Bagas, ia mematung memandangi kondisi sang suami.
Sepasang mata Lea seketika berkaca-kaca disertai tubuh yang ikut gemetaran. “Mas Bagas,” ucap Lea nyaris tak terdengar.
“Mas Bagas,” ucap Lea lagi begitu ia mendekat. Tangannya terangkat menyentuh wajah Bagas. “Mas.”
Antara mimpi dan kenyataan, itulah yang kini dirasakan Bagas. Akan tetapi, wangi parfum khas Lea meyakinkan pria itu jika ia sedang tak bermimpi.
Perlahan Bagas membuka mata lalu berucap lirih, “Lea ... apa kamu nyata? Aku nggak sedang bermimpi kan?”
“Nggak Mas,” bisik Lea sekaligus merasa iba pada suaminya. “Kenapa kamu bisa seperti ini?” Air mata Lea kini mulai mengalir.
“Namanya juga musibah ... sudahlah, jangan menangis. Aku baik-baik saja,” kata Bagas seraya menyeka air mata Lea. “Kenapa kamu bisa tahu aku dirawat di kamar ini?”
“Ayah, aku yang memintanya menjemputku sekaligus menjengukmu. Sejak kemarin perasaanku nggak enak karena ponselmu nggak bisa dihubungi,” jelas Lea.
Sudut bibir Bagas seketika melengkung. Mengusap perut Lea dengan lembut penuh kasih.
“Pulang dan istirahatlah. Aku tahu kamu juga lelah. Besok kamu bisa menjengukku lagi,” cetus Bagas. “
“Tapi, Mas ...”
“Nggak ada tapi tapi, Lea,” sela Bagas cepat.
Lea mengangguk patuh lalu mengelus wajah Bagas. Entah mengapa, ia merasa berat ingin meninggalkan suaminya sendirian.
Sesaat setelah keluar dari kamar itu, ia terkejut karena Melissa langsung menamparnya. Lea yang diserang mendadak tentu merasa sangat kesal.
“Mbak! Kamu apa-apaan sih!” gertak Lea dengan perasaan geram.
“Gara-gara kamu, Bagas sampai kecelakaan! Untung saja dia hanya mengalami patah tulang. Bagaimana jika dia sampai koma atau langsung meninggal di tempat?! Aku nggak akan pernah memaafkanmu. Dan satu lagi, jaga baik-baik bayi kami yang ada di rahimmu. Begitu dia lahir aku dan Bagas akan langsung mengambilnya. Setelah itu, Bagas akan menceraikanmu!” peringat Melissa dengan senyum sinis.
Meski ingin membalas ucapan Melissa, Lea mengurungkan niat. Ia memilih bungkam sembari mengelus pipi. Memandangi madunya itu yang sudah masuk ke dalam kamar.
Tanpa sepengetahuan Lea, Wira yang sejak tadi mendengar pembicaraan itu, mencoba menelaah ucapan Melissa. Benaknya kini mulai menerka-nerka sekaligus merasa penasaran.
“Lea!” panggil Wira begitu bunda Sava melewatinya yang sejak tadi bersembunyi di balik tembok.
Lea memutar badan dengan kening berkerut tipis menatap Wira. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Lea karena merasa tak asing dengan wajah Wira.
“Ya, di BNL sekaligus kita satu pesawat menuju kota J waktu itu.”
Lea bergeming mencoba mengingat. “Ah, Mas Wira, bukan?”
“Hmm.” Wira menghampiri seraya memandangi Lea. “Lea Hestari,” sebut Wira membaca nama di kartu pengenal bunda Sava. “Rupanya kamu seorang pramugari, ya.”
Lea mengulas senyum seraya mengangguk. Keduanya kemudian mengayunkan langkah bersama sambil mengobrol santai.
“Bagaimana dengan putrimu Sava?”
“Alhamdulillah, Sava sehat dan sudah mulai pintar, Mas. Saat ini dia berada di kota B bersama bibik dan pamanku. Kemungkinan lusa aku akan menyusul karena sepupuku akan diwisuda,” jelas Lea.
Sesaat setelah keduanya berada dilantai satu, Bagas dan Lea berhenti sejenak.
“Oh ya, kamu save kan nomor ponselku hari itu?” tanya Wira dan dijawab dengan anggukan oleh Lea.
“Mas, aku pamit, ya, Soalnya ayah mertuaku sudah menunggu sejak tadi. Aku nggak enak karena sudah merepotkan beliau,” kata Lea kemudian melanjutkan langkah menuju pintu keluar.
Wira bergeming sembari memandangi punggung Lea dengan seribu satu pertanyaan yang ada dibenaknya. “Ayah mertua? Bayi kami ... menggugat cerai ...? Apa Lea hanya dimanfaatkan?” gumam Wira sekaligus mengingat kembali ucapan Lea waktu itu.
.
.
.
Begitu tiba di kediaman Lea, pak Wardana membantu sang menantu membawa kopernya hingga ke depan pintu rumah.
“Makasih Ayah, maaf di waktu selarut ini, Lea masih merepotkan Ayah.”
“Ngga apa-apa, Nak. Masuk lalu istirahatlah,” pinta pak Wardana seraya menepuk lengan Lea kemudian kembali ke mobilnya.
Sepeninggal pak Wardana Lea langsung menekan password pintu. “Assalamualaikum,” ucapnya nyaris tak terdengar sesaat setelah masuk ke dalam rumah.
Tiga puluh menit berlalu ...
Setelah membersihkan diri, Lea menghampiri ranjang. Ekor matanya seketika terarah ke paper bag yang sejak sebulan lalu tetap tak berpindah tempat.
“Apa Mas Bagas membeli tas ini untukku? Jika untuk Mbak Melissa nggak mungkin tas ini di sini terus,” gumam Lea lalu mengeluarkan benda itu. Ia tersenyum sembari membuka bungkusan tas berlogo LV itu.
Lea kemudian beranjak dari sisi ranjang lalu menyimpan tas itu di lemari khusus tas. Setelah itu, ia kembali lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
“Sava putriku, bunda kangen banget,” gumam Lea merasa gemas pada sang putri.
Selang beberapa menit kemudian Lea perlahan memejamkan mata. Tak butuh waktu yang lama, bunda Sava memasuki alam bawah sadarnya.
Menghilangkan segala rasa penat setelah melalui perjalanan udara yang cukup lama. Menanti sang mentari yang akan menyinari bumi di kala pagi menyapa.
Sementara di kamar rawat Bagas, pria itu seolah tak bisa memejamkan mata. Pikirannya malah melayang memikirkan Lea.
Sesekali ia tersenyum sembari membayangkan wajah Lea yang begitu mengkhawatirkan dirinya. Bagas kemudian melirik ke arah Melissa yang sejak tadi sudah tertidur.
“Lea, aku berharap sikap peduli itu bukan karena bawaan janin,” ucap Bagas penuh harap.
...----------------...