Aundy Saesya Baghaskara, gadis 25 tahun yang sedang dikejar-kejar tagihan pinjaman online. Berusaha keras menutupinya dari keluarga.
Hari itu rumahnya kedatangan Hugo Kresnajaya yang berniat menagih hutang. Akan tetapi Aundy justru mengenalkan Hugo sebagai kekasihnya, demi menutupi fakta yang terjadi.
Permasalahan semakin rumit saat Hugo paham dengan benar mengenai latar belakang Aundy. Membuat hubungan keduanya semakin terikat dan berakhir di pernikahan.
Trauma yang pernah dialami dan tidak sukanya dengan hubungan casual membuat keduanya menciptakan beberapa perjanjian pernikahan. Akankah keduanya saling memegang komitmen itu, atau mereka akan tetap jauh, seperti jarak Malang-Jakarta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rehuella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aundy - Bukan Untukku
Seharusnya, semalam aku tidak perlu begadang demi menunggu mas Hugo pulang. Rasa terpesona yang hadir membuatku lupa dengan slogan kesehatan itu mahal.
Dan sekarang aku harus menanggung akibatnya, imunku drop. Di tambah lagi, sore tadi aku terpaksa hujan hujan karena saat naik ojek, tiba-tiba saja hujan turun sangat deras. Karena tanggung jadi aku meminta sopir ojek itu untuk terjang saja.
Malam ini waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam. Kondisiku belum juga pulih, suhu tubuhku justru semakin naik, nyaris menyentuh angka 40 derajat. Kalau sudah begini aku hanya ingin pulang dirawat bunda sama ayah. Perasaan kangen terhadap mereka mulai hadir, pengen telepon tapi aku nggak mau merepotkan mereka karena pasti mereka akan langsung datang.
Kantung kemih yang terasa penuh membuatku melangkah menuju kamar mandi. Beruntung ini hanya kamar indekos, jadi tidak begitu jauh dari posisi ranjang.
Rasanya berat sekali tubuh, tiba di dalam kamar mandi kepalaku terasa berat, mataku mulai berkunang-kunang. Bukan hanya itu, seperti ada sesuatu yang memaksa untuk kukeluarkan. Aku mual, eh bahkan muntah, banyak. Makanan yang tadi siang kusantap keluar semua.
Tubuhku semakin lemas, rasanya aku tidak bisa lagi menggunakan anggota gerak tubuhku ini. Bahkan untuk mengambil baju ganti ke lemari saja rasanya malas banget sekali, berakhir aku pun merangkak dari toilet ke atas ranjang.
Aku melepas baju yang seharian tadi kukenakan, sakitku bisa bertambah parah jika tetap mengenakan itu, karena tadi sempat terkena percikan air. Beruntung keberadaan tas ku tidak begitu jauh, aku meraihnya, lalu berupaya menghubungi Embun.
"Rupanya belum kunyalakan? Atau memang habis baterai?" Mataku terpejam rapat, menunggu iPhone baru ku menyala. Niat hati ingin menunggu, tapi aku justru benar-benar ketiduran. Aku bangun saat jarum jam menunjukan pukul sebelas malam, ketika itu aku merasakan tenggorokanku kering tapi tidak bisa mengambil minum yang ada di atas meja.
Aku tidak bisa seperti ini, aku butuh teman—setidaknya kalau aku pingsan, aku tidak akan sampai mati. Lagi, menyadari ponselku telah menyala aku langsung mendial nama Embun yang masih tersimpan di log panggilan.
"Hallo, Mbun ... Cepetan ke kos gue. Bestie mu sekarat, Mbun!" ucapku pelan.
"Astaga mulut dijaga!" Lalu Embun mengomel tapi aku tidak bisa mendengar dengan jelas ocehannya. Hingga panggilan itu diputus sendiri oleh Embun.
"Mbun, bawa nasi padang, chicken katsu dan es teh ya ... Pasti nikmat banget minum es teh," ucapku pelan, bahkan nyaris tanpa suara. Jelas saja Embun tidak mendengar karena panggilan itu sudah terputus lima menit yang lalu.
Mata ini kembali terpejam. Lalu kembali terbuka saat mendengar suara gedoran kasar dari pintu.
"Mut, Lo mati beneran?!"
Suara Wildan, menyapa pendengaran ku. Kenapa yang datang justru pria ini sih? Aku berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melangkah ke arah pintu.
"Wil, Lo nggak lagi sangee kan? Gue pakai singlet doang nih!" tanyaku sebelum membuka pintu. Aku benci kenapa harus menggunakan panggilan lo-gue sih kepada Wildan, padahal aku baru tiga hari di Jakarta.
"Gue dobrak ya kalau Lo nggak mau buka!" Sembur Wildan membuatku mau tidak mau membukakan pintu untuknya. Aku meraih jaket panjang yang ada di balik pintu, sambil mengenakan aku membuka pintu kamar.
Indekos di sini cukup bebas. Tapi biasanya, jika ada tamu pria lebih dari jam 10 diminta untuk duduk di luar.
"Ke dokter aja yuk!" Ajak Wildan yang kulihat dia begitu mengkhawatirkan aku. Tangannya terulur memeriksa suhu badanku.
"Gue cuma radang, mau flu dan batuk, sepertinya."
"Udah makan? Itu aku bawain kesukaanmu!"
Wildan paham makanan kesukaannya, nasi hangat ditambah chicken katsu. Tapi tenggorokanku sedang sakit nggak bisa digunakan untuk menelan makanan. Jadi aku hanya bisa menggeleng pelan.
"Mau bobo aja, aku semalam nggak bisa bobo." Embun kembali berbaring di atas ranjang.
"Lembur sama suamimu?!"
Aku memilih bungkam, tebakan Wildan salah. Dan aku bingung hendak menceritakan kelakuan mas Hugo atau tidak. Aku khawatir Wildan akan ikut membenci perilakunya.
"Udah dibilangin jangan begadang—sok kuat Lo ya!" Wildan mulai mengomeliku, bak seorang ayah yang memarahi putrinya.
"Wil, hug me, please!" pintaku, aku butuh bahu untuk bersandar.
"Nggak takut gue apa-apain!" dia tertawa kecil, aku menggeleng pelan.
"Aku percaya Wildan tidak akan melakukan hal seburuk itu padaku." Aku sama sekali tidak berniat berselingkuh dengan Wildan. Jujur aku hanya ingin mencari tempat yang nyaman untuk sebentar saja meletakan bebanku.
Sialnya aku justru menangis di pelukan Wildan. Ini kaya drama melow ala Korea. Dan sayangnya lagi, pelukan Wildan terasa begitu nyaman. Membuatku semakin kejer mengeluarkan tangisanku.
"Siapa yang udah bikin Lo kaya gini, Mut?!" Tanya Wildan. "Bilang padaku?!" bujuknya lagi saat bibirku masih bungkam. "Gue nggak terima sahabat gue dibikin nangis begini," imbuhnya.
Aku menggeleng pelan, aku nggak mau cerita, aku hanya butuh bahunya untuk bersandar. Titik.
"Ke dokter aja yuk, badanmu panas banget Lo, Mut! Jangan bikin aku panik ya!"
"Aku nggak papa," jawabku lirih.
"Aku telpon ayah Sabda ya!"
"No, Will!"
"Lo mau apa?" tawar Wildan pada akhirnya. Sepertinya Wildan juga lelah dengan suara tangisku ini.
"Gue butuh teman. Cuma itu. Aku nggak mau sendiri aku takut mentalku yang down ini malah tergoda untuk bunuh diri."
Wildan tidak merespon seolah membiarkan aku kembali bersuara. Usapannya di bahu membuatku merasa nyaman.
"Kalau nanti gue mati, sampaikan sama ayah kalau aku mencintainya, aku juga sangat menyayangi bunda, Brandon, Nakula, kamu, Embun. Dan sampaikan maafku karena belum bisa membuat mereka bangga. Jangan lupa bilang itu ya!"
"Gini ya rasanya diabaikan. Padahal aku belum cinta, aku baru di level terpesona. Tapi kenapa perih begini ya, Wil?"
"Suamimu udah ngapain Lo? Dia main kasar?"
semangatttttt bikin karya..
anak yg d'ajak ngobrol umur 25.. istri'y msh menyusui Adik'y..
k'inget yg kpn hari viral Abang Adik..
Abang'y umur 23 Adik'y umur 2th..
semangatttttt Thor
bahasa santai dan alur yang baik membuat pembaca lebih mudah ngalir ke ceritanya,
berasa kita berada didekat tokohnya.
terima kasih,
tetap berkarya ya....