Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan yang berbalik
Sudah beberapa hari Dibyo berada di rumah setelah operasi panggulnya. Selama di rawat dia hanya di temani oleh Prapto yang sengaja di bayar oleh Nina untuk menjaga sang ayah.
Dibyo merindukan istrinya, tapi tak bisa ia temui, komunikasi keduanya benar-benar putus.
"Pak ini surat panggilan sidang pertama, ingat pak hanya Nina yang bisa bapak gantungkan hidup," ujarnya dengan nada tersirat ancaman.
Dibyo meneguk kasar salivanya. "Lalu bapak harus bilang apa Nin?"
"Gampang, bilang aja kalau Bu Titik sudah berlaku kasar dengan Rima dan bapak juga lumpuh jadi ngga bisa menafkahinya!" jelas Nina.
Nina sendiri sudah membuka usaha baru di pasar, setelah persetujuan jual beli dengan Haji Musri, Nina akhirnya bisa membuka usaha itu sendiri.
Meski Nina harus mencicil sebagian barang yang tidak sanggup dia beli.
Nina bersyukur Haji Musri mau mengerti keadaannya, beliau dan istrinya ingin tinggal di kota bersama anak-anaknya.
"Kamu mau ke mana Nin?" tanya Dibyo saat melihat sang putri yang sudah rapi.
"Nina mau dagang pak, bapak jaga rumah ya, nanti Bu Wingsih datang buat beber sih rumah sama masak."
Dibyo sudah bisa sedikit bergerak meski dengan bantuan kursi roda. Setidaknya dia bersyukur tak lagi harus mengerjakan pekerjaan rumah seperti di kediaman anak tirinya.
Untuk makan pun Dibyo tak perlu khawatir, hanya saja kehilangan sang istri masih membuatnya risau.
"Mbah Rima berangkat ya," pamit Rima sambil menyalaminya.
Dibyo terkadang malu, dulu dia tak pernah membela cucunya, tapi sang cucu selalu bersikap sopan padanya.
Rima juga tampak berubah, wajahnya kini selalu ceria, tubuhnya juga sudah berisi. Penampilan cucunya itu benar-benar berubah drastis.
Rima mengendarai sepeda listriknya ke sekolah, kini dia tak perlu lagi kelelahan karena berjalan kaki.
Perutnya juga tak pernah kelaparan saat pagi hari. Nilai-nilai pelajaran Rima pun semakin baik, seiring kondisi kehidupannya yang mulai berubah.
Jika Rima sudah kembali pada kehidupan harmonisnya, berbanding terbalik dengan keadaan Ziva.
Gadis itu sering berangkat dengan keadaan perut kosong, dengan uang saku yang sangat kecil.
Tubuh gadis itu juga semakin kurus, mereka seperti bertukar nasib.
Ziva yang melihat kedatangan Rima lantas mendekatinya.
"Rim! Minta duit, aku belum sarapan!"
Rima mengunci sepedanya, baru menatap saudari tirinya.
"Emang kamu ngga di kasih uang saku sama tante Va? Kenapa mintanya ke aku?" tanya Rima bingung.
"Eh banyak bacot! Udah sini ga!" Ziva hendak meraih tas Rima, tetapi sayang, ada beberapa siswa sekelas Rima yang melerai keduanya.
"Eh kamu kok kasar begini Va! Mau kami laporin ke kepsek?!" ancam teman Rima.
"Eh kalian ngga usah ikut campur, kita ini saudaraan ya wajar kalau aku minta sesuatu sama dia!" dalih Ziva.
"Mana sini!" tanya Ziva mendelik ke arah Rima.
"Maaf enggak ada Va, aku juga di kasih pas-pasan sama Ibu, lagi pula nanti ada pelajaran tambahan," elak Rima berbohong.
Rima memang memiliki uang lebih dari cukup untuk jajannya. Bahkan dia memiliki ATM yang bisa sewaktu-waktu dia ambil di depan sekolahnya.
Semuanya Nina percayakan pada sang putri. Namun Rima adalah anak yang berbakti meski di beri kepercayaan pada sang ibu untuk mengelola uangnya sendiri, Rima hanya mengambil untuk keperluan sekolahnya saja.
Merasa kesal dengan penolakan Rima, Ziva kembali hendak mengambil paksa tas Rima, hingga akhirnya dia di dorong oleh teman-teman Rima.
"Kamu ini udah di tolak kok masih maksa! Bilangnya saudara, tapi kamu sendiri suka buly Rima dulu. Ayo Rim pergi ke kelas, ngga usah peduliin dia!" ajak teman-teman Rima.
Mereka meninggalkan Ziva yang masih dalam keadaan terduduk usai di dorong. Ziva mengepalkan tangan, kini dia merasa sangat terpuruk.
"Ngapain kamu Va!" tanya seseorang yang melintas di depannya.
Ziva lantas bangkit dan menepuk roknya yang kotor.
"Awas aja kalian aku bakal aduin kalian karena udah buly aku!" ucap Ziva menatap ke arah Rima dan teman-temannya.
"Va-Va mending kamu ngaca, kamu yang duluan mulai, jangan playing victim nanti kamu sendiri yang kena!" tegur pemuda itu.
Ziva menoleh dengan sebal pada lelaki yang dia sukai sejak dulu.
"Kamu kok gitu, sebagai ketua osis harusnya kamu bela aku dong!" pintanya.
"Justru karena aku ketua osis aku ngasih tau kamu. Jangan ganggu Rima kalau kamu ngga mau berurusan sama aku!" kecam pemuda tadi.
Ziva mengepalkan tangannya merasa sebal, mengapa dari dulu dia selalu kalah dengan Rima.
Saat Rima dalam keadaan susah, gadis itu tetap memiliki teman yang selalu ada untuknya.
Sekarang saat gadis itu berjaya, teman-temannya bertambah banyak. Terlebih lagi ketua osis yang di sukainya selalu membela Rima baik dulu maupun sekarang.
Sedangkan dirinya, teman-teman Ziva menjauh karena dia di bilang sudah tidak asyik lagi.
Ziva sudah tidak bisa nongkrong-nongkrong dengan teman-temannya ke mall atau kafe.
Ziva tak bisa mengikuti gaya hidup teman-temannya yang memang lahir dari keluarga berada.
"Kenapa Va?" tanya seseorang yang masih mau berteman dengannya.
"Dini?" air mata Ziva luruh seketika saat melihat temannya itu menyapa.
Ziva lalu memeluk Dini. Dini satu-satunya teman yang tak terlalu dekat dengannya, tapi di saat teman-temannya menjauh hanya Dini yang masih bersedia dekat dengannya.
"Udahlah, kamu kenapa nangis? Masalah keluarga lagi?" tebak Dini tepat sasaran.
Di antara teman-temannya yang lain Dini yang memang paling dewasa. Di tambah umur Dini yang memang satu tahun di atas mereka.
Sebenarnya Ziva tau kehidupan Dini tak semewah teman-temannya, tapi Dini bisa tetap bergaul dengan mereka karena entah kenapa Dini bisa mengikuti gaya hidup teman-temannya.
Teman-teman mereka tak peduli bagaimana ekonomi keluarga Dini asalkan Dini mampu mengikuti gaya mereka, mereka bersedia mengakui Dini.
"Kamu belum sarapan kan Va? Ke kantin yuk, masih ada sepuluh menit buat sarapan," ajak Dini sambil melihat jam digital baru yang melingkar di lengannya.
"Jam kamu baru lagi Din?" tanya Ziva dengan wajah berbinar sebab dia tau jam pintar itu berharga jutaan.
"Iya, bagus kan? Ngga kalah lah sama punya si Risa," ucapnya membandingkan dengan teman mereka yang paling kaya.
Saat sudah sampai di kantin ke duanya lalu memilih sarapan di kedai soto.
Ziva ragu-ragu ingin bertanya pada Dini takut temannya itu tersinggung.
"Emmm Din, aku mau tanya kamu jangan tersinggung ya," ucap Ziva ragu.
Dini mengernyitkan dahinya, "tanya aja, kalau mampu aku jawab," tukas Dini tenang.
"Orang tua kamu kerja apa Din? Maaf, aku tau kehidupan keluarga kamu kayak sederhana soalnya," tanya Ziva waswas.
Ziva dan teman-temannya memandang perekonomian seseorang dari rumahnya. Rumah Dini sama seperti rumahnya, sederhana, meski rumah Dini terletak di perumahan sedangkan Ziva di perkampungan.
Dini malah ketawa, "apa kamu juga kaya Clarisa, melihat aku kere karena lihat rumah aku yang kecil?” cibirnya.
Ziva mengangguk tak mengelak, memang dulu Dini di asingkan karena terlihat paling miskin di antara mereka.
"Wah-wah duo kere sarapan bareng, cocoklah," hina Clarisa mantan teman akrab keduanya.
"Wah jam lu keren Din! Baru?" tanya Safa sambil mengangkat tangan Dini.
Clarisa memperhatikan penampilan Dini, lalu beralih pada Ziva sambil tersenyum mengejek.
"Oya Din, siang kita mau ke Mall baru, mau ikut?" tawarnya dengan nada yang lebih bersahabat, berbeda dengan awal dirinya menyapa.
Ziva tau karena Dini mampu mengikuti gaya mereka makanya Clarisa mengajaknya sedangkan dia di acuhkan.
Safa, Lirna, Romi dan juga Aldo yang waktu itu kecelakaan dengan Ziva juga mengajak Dini untuk turut serta.
Dini menoleh pada Ziva yang di acuhkan oleh rekan-rekan mereka.
"Kamu mau ikut Va?" tawarnya.
"Ck! Dia nanti cuma malah minta traktir!" dengus Lirna yang memiliki mulut lebih tajam dari Clarisa.
Ziva menunduk, dia benar-benar di buang oleh teman-temannya.
"Tenang aku yang traktir, jadi bolehkan aku ajak Ziva?" sela Dini.
"Terserah ajalah!" kelima teman mereka lantas berlalu meninggalkan keduanya.
"Aku malu Din, mereka masih bakalan ejek aku habis-habisan, mending kamu pergi sendiri aja," tolak Ziva lirih.
Dini menghela napas, dia pernah berada pada posisi Ziva, tapi saat itu tak ada yang mau merangkulnya seperti Dini pada Ziva.
"Kamu mau memiliki uang sendiri Va?" tawar Dini tiba-tiba membuat Ziva menatapnya bingung.
"Bagaimana caranya?"
"Bekerja, kamu mau?" tawarnya lagi. Ziva mengangguk meski tak mengerti pekerjaan apa yang di tawarkan oleh Dini.
.
.
.
Tbc