Kecelakaan besar yang disengaja, membuat Yura Afseen meninggal dunia. Akan tetapi, Yura mendapat kesempatan kedua untuk hidup kembali dan membalas dendam atas perbuatan ibu tiri beserta adik tirinya.
Yura hidup kembali pada 10 tahun yang lalu. Dia pun berencana untuk mengubah semua tragedi memilukan selama 10 tahun ke belakang.
Akankah misinya berhasil? Lalu, bagaimana Yura membalas dendam atas semua penindasan yang ia terima selama ini? Yuk, ikuti kisahnya hanya di noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17 : PERHATIAN
Sepanjang perjalanan Yura terus mengumpat dan berteriak histeris. Tubuhnya terhuyung, terombang-ambing berlawanan dengan arah mobil.
Beberapa waktu berlalu, mobil berhenti di basemen yang sangat luas. Zefon segera turun dari mobil. Tanpa menunggu Yura, ia melenggang pergi.
Gadis itu ingin berteriak karena meninggalkannya seorang diri, tapi tenaganya sudah terkuras habis. Ia memilih menurunkan jok mobil hingga bisa rebahan dengan nyaman. Matanya terpejam, menikmati kesunyian seorang diri. Entah berapa lama Yura terdiam di sana.
“Aaah, Zefon sialan bikin aku pontang panting kayak gini!” umpatnya menendang-nendang udara.
“Apa kamu bilang?”
DEG!
Buru-buru Yura menegakkan duduk meski kepalanya kini berdentum dengan kuat. “Tuan sangat luar biasa,” puji gadis itu memamerkan deretan gigi putihnya. Lalu mengembalikan posisi joknya seperti semula.
“Mau makan di mana?” Zefon kembali duduk dan mulai melajukan mobilnya.
“Terserah,” sahut gadis itu.
“Mana ada tempat makan terserah?” seru pria itu memicingkan mata.
“Bukan begitu, maksudnya suka-suka bos saja,” sahut gadis itu memasang wajah ramah agar tak memancing kemarahan lelaki itu.
Mereka kembali saling diam, meski sebenarnya mulut Yura gatal ingin menanyakan perihal pengakuan calon istri tadi. Ingin percaya diri, takut jika dihempaskan lelaki itu. Jalan pikirannya sungguh sulit ditebak oleh Yura.
...\=\=\=\=000\=\=\=\= ...
“Kok ke kantor sih? Tadi nawarin makan. Mana perut udah melilit,” decak Yura kesal ketika melihat mobil Zefon justru memasuki kawasan Sebastian Group. Rasanya menyesal ia berkata terserah.
“Turunlah!” pinta Zefon bersuara pelan setelah memarkirkan kendaraan.
Dengan gontai, Yura menjajakkan kaki jenjangnya di sana. Lalu berjalan mengekori Zefon.
BUGH!
Karena tidak fokus, keningnya menabrak punggung kokoh Zefon saat menunggu pintu lift terbuka. Tubuhnya terpundur beberapa langkah.
Zefon menghela napas kasar, mencekal lengan kurusnya dan membawanya masuk ke lift. Setelah menekan tombol lantai yang dituju, Zefon menyilangkan lengan, mengimpit tubuh Yura yang bersandar di pojokan. Kebetulan, banyak karyawan lain yang juga masuk beriringan, mereka tak menyadari sang bos juga berada di sana.
Zefon hanya melirik Yura sekilas, namun gestur tubuhnya sama sekali tak membiarkan Yura terluka sedikit pun.
Tiba di lantai teratas gedung raksasa itu, Zefon masih tak melepas cekalan tangannya. Ia melangkah pasti menuju ruangannya.
“Sel, pesankan makanan dua porsi!” titah lelaki itu melanjutkan langkahnya.
Selvia mendelik, mengucek matanya beberapa kali untuk memastikan matanya tidak salah. Sekian lama ia bekerja, baru pertama melihat sang bos membawa seorang gadis.
“Selvia!” sentak Zefon saat hendak masuk ke ruangan, namun gadis itu masih bergeming.
“Ah! Iya, Tuan! Siap!” sahut Selvia dengan gugup.
Gadis itu segera melenggang hendak meninggalkan meja kerjanya.
“Kamu mau ke mana, Sel?” Suara Zefon menghentikannya.
“Ke ... anu, cari makanan, Tuan!” jawab Selvia menunjuk ke arah lain.
Zefon menaikkan sebelah alisnya, “Gunanya telepon untuk apa?” ujarnya ketus menaikkan dagu.
Selvia menepuk keningnya, gugup dan syok yang menyerang membuat kinerja otaknya melambat. Buru-buru ia kembali ke meja kerja dan memesankan makanan sesuai perintah sang bos.
“Duduklah!” ujar Zefon melepas jasnya dan menggantung di stand hanger tak jauh dari meja kerjanya.
Zefon membuka lemari pendingin, meraih dua kaleng minuman dingin, menyerahkan salah satunya pada Yura. Pria itu duduk di samping Yura, menatap gadis itu sambil meneguk minumannya.
“Hasilnya mungkin akan keluar besok atau nanti malam. Aku sudah meminta pamanku untuk bekerja cepat!” tandas Zefon.
“Profesor Sean Mahendra?” tanya Yura ragu. Ia sempat melihat laboratorium raksasa yang ada di Mahendra Corp.
“Hmm!” jawab lelaki itu sepatah kata saja.
Yura melirik sekilas pria di sampingnya. Detak jantungnya semakin tak terkendali melihat wajah serius yang tengah mengoperasikan tab di tangannya.
Tak berapa lama, Selvia masuk bersama OB membawakan banyak makanan dan minuman. Ia segera menyusun di atas meja satu per satu.
“Silakan, Tuan, Nona,” ucap Selvia membungkuk pamit undur diri.
“Terima kasih,” balas Yura mengurai senyum, membuat Selvia sedikit bernapas lega. Setidaknya gadis itu tidak sama dinginnya dengan sang bos.
Tanpa dipersilakan, Yura sudah menyantap makanan itu dengan segera. Perutnya yang lapar sudah tidak bisa diajak kompromi. Zefon menoleh, menatapnya begitu dalam hingga tanpa sadar senyum tipis tersungging di bibirnya.
Merasa diperhatikan, Yura menggerakkan manik matanya. Seketika tersedak karena melihat senyum Zefon hingga menampakkan lesung di pipi pria itu.
‘Ya Tuhan, manis sekali kalau senyum seperti itu!’ batin Yura terbatuk sembari memukul dadanya.
“Selalu saja ceroboh!” gumam Zefon menyodorkan air putih di gelasnya.
Selesai dengan makan siang, Yura sangat mengantuk. Apalagi hawa dingin dan suasana sunyi di ruangan Zefon membuatnya semakin ingin memejamkan mata.
Zefon membenarkan posisi Yura, menyelimuti dengan jasnya, “Bocah!” gumamnya menepikan anak rambut Yura lalu kembali duduk di kursi singgasananya.
...\=\=\=\=ooo\=\=\=\=...
Yura meregangkan tubuhnya ketika senja mulai menyapa. Jas milik Zefon terjatuh, ulahnya itu membuat atasannya tersingkap hingga memperlihatkan perut ramping dan putihnya.
Zefon tak berkedip menatapnya. Ia melonggarkan dasi sembari berdehem kuat agar Yura segera sadar. “Ehm!”
Tersentak dan membeku saat mendengar deheman seorang pria. Yura membuka mata lebar-lebar, saat sadar bukan di kamarnya. “Mudah banget tidurnya, dasar kebo!” Yura merutuki kebodohannya sendiri.
“I ... ini jam berapa. Aku harus pulang!”
“Ayahmu dinas di luar kota. Tidak usah khawatir,” balas Zefon tak beralih pandang pada layar laptopnya.
“Serius?” tanya Yura memastikan.
“Hmm!”
“Syukurlah,” desahnya dengan lega segera menurunkan kedua kakinya, meraih jas mahal yang teronggok di lantai dan segera meletakkan di pangkuannya. Ia menahan senyum kala membayangkan betapa romantisnya sikap Zefon yang ia anggap patung es itu.
“Sini! Tadi ketinggalan setelah makan!” Tanpa disangka tanpa diduga, pria itu merebut jasnya dengan kasar dan segera mengenakannya.
Hancur sudah bayang-bayang indah Yura. ‘Sekali es tetep es! Mana ada romantis, sadar Yura kamu siapa!’ kesalnya pada diri sendiri karena terlalu jauh berpikir.
...\=\=\=\=ooo\=\=\=\=...
Sementara itu, di kediaman Cullens, Sarah mengamuk ketika semua tak sesuai rencana. Tora justru diskors, sedangkan Yura terbebas dari hukuman. Padahal tujuannya adalah untuk menjatuhkan Yura, tapi lagi-lagi berbalik. Beruntung Rehan sedang ada pekerjaan di luar kota.
Ia bingung sendiri kenapa Yura tidak mudah ia setir seperti dulu. Sarah mengutuk dan mengumpat putranya karena dianggap bodoh.
Tepat pukul delapan malam, Sarah memoles dirinya di depan cermin. Ia yang merasa penat seharian memutuskan untuk keluar rumah.
“Mama mau ke mana?” tanya Tora saat berpapasan dengan ibunya.
“Cari angin!” sahut wanita itu ketus tetap melangkah keluar.
Dengan diantar taksi, Sarah akhirnya sampai di sebuah bar sudut kota. Ia ingin melupakan sejenak kegagalan yang menimpanya bertubi-tubi. Wanita itu segera masuk dan memesan minuman beralkohol.
Tanpa ia sadari, Yura kini duduk tak jauh darinya. Namun, ia hanya memesan segelas jus jeruk saja. Karena sejak dulu, dia sama sekali tidak mengenal minuman beralkohol seperti itu. “Apa enaknya sih tempat kayak gini. Bikin pusing saja!” gerutu Yura menyesap minumannya lagi.
Bersambung~