Setelah menyandang gelar sebagai seorang istri. Rima memutuskan berhenti berkarir agar bisa fokus mengurus suami dan anaknya. Dengan sepenuh hati Rima menyayangi mertua seperti menyayangi ibu kandungnya sendiri. Namun, bukannya kasih sayang dan kebahagiaan yang Rima dapatkan tetapi pengkhianatan dari kedua orang tersebut.
Dengan perasaan hancur, Rima berusaha bangkit dan membalas pengkhianatan suaminya. Balas dendam terbaik adalah dengan menjadikan diri lebih baik dari para pengkhianat. Hingga perlahan Rima bangkit dari keterpurukan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon violla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Balas Dendam
17
"Kenapa... Melihatku seperti itu?" Dimas bertanya setelah kami saling pandang dalam diam. Apa Dimas mendengar semuanya? Pria itu mulai mendekat dengan membawa nampan berisi makanan. "Putrimu pasti lapar. Pastikan dia menghabiskan makanannya sebelum tidur." Dimas memberikan makanan itu padaku.
Aku menerimanya dengan sungkan. Kulihat tatapan Susan mendamba melihat apa yang ada di tanganku. Ya, anakku itu pasti sedang menahan lapar.
"Makasih...." Aku berucap sungkan, pak Dimas tidak merespon lagi. Aku sejenak menyampingkan rasa tidak enak hati ini dan mulai menyuapi Susan.
"Om... gak makan?" tanya Susan sembari mengunyah makanan. Sepertinya Susan sudah tidak takut lagi dengan Dimas.
"Tidak, kamu makanlah dulu. Om nanti ... makan sama mama kamu." Dimas bicara sambil tersenyum, ia membelai rambut Susan lalu melihatku. "Setelah ini kamu juga harus makan. Maaf, tadi aku lupa sekalian bawakan makanan untukmu," ujarnya lalu pergi tanpa mengatakan apa pun lagi.
"Om itu... temen ibu?"
"Ehm... nggak juga. Om itu bos ibu." Aku sengaja berbisik karena takut Dimas mendengar percakapan kami seperti tadi.
"Omnya, kayaknya baik. Susan jadi kangen sama ayah. Kenapa, sih, Bu ayah kita tega ngebiarin kita pergi?"
Wajah Susan kembali murung. Air mataku jatuh melihatnya, namun segera aku menghapusnya.
"Susan, kita jangan bahas tentang ayah sekarang, ya. Ibu nggak mau Susan kepikiran dan sakit. Lebih baik sekarang kamu makan lalu tidur. Besok pagi kita ke rumah bude."
Aku berusaha membujuk Susan. Beruntung Susan menurut dan mulai menghabiskan makanannya dengan lahap.
Aku tahu saat ini pikiran dan perasaan Susan sedang gelisah seperti yang aku rasakan. Biasanya, tidur dipilih agar bisa sejenak melupakan masalah. Sekarang, Susan sudah terlelap dengan nafas yang teratur. Kucium kening Susan sebelum aku mengembalikan piring kotor ke dapur.
Rumah ini tampak sunyi seperti tidak berpenghuni. Aku bahkan tidak melihat Dimas atau siapapun. Aku melangkah sungkan ke dapur dan melihat Dimas di sana.
"Rima, akhirnya datang juga. Ayo sini makan malam denganku," ajak Dimas yang duduk di kursi berhadapan dengan makanan.
"Tapi a--
"Tidak ada tapi-tapian. Aku tidak akan membiarkan tamuku tidur dengan menahan lapar," pungkas Dimas tidak mau dibantah.
Akhirnya aku menurut juga. Duduk berhadapan dengan pria yang baru aku kenal sekaligus bos di tempatku bekerja.
"Sekali lagi terimakasih karena bapak sudah mau menyiapkan tempat dan makanan ini untuk kami. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau tadi tidak bertemu bapak di jalan."
"Kenapa masih sungkan? Kamu panggil saya nama saja."
"Tapi, itu nggak sopan."
"Tidak apa, toh aku yang menyuruhmu."
Aku semakin tidak enak hati. Aku memilih fokus makan dari pada bicara tidak sopan karena tidak mungkin lancang memanggilnya Dimas.
"Jadi, boleh aku bertanya sesuatu?" Dimas bertanya setelah kami cukup lama makan dalam diam. Pria itu menyudahi makannya lalu menatapku.
"Apa?" Aku kembali bertanya setelah meminum segelas air. Ntah mengapa aku merasa seperti berada di meja sidang.
"Apa alasanmu membawa putrimu pergi dari rumah?"
Pertanyaan Dimas membuat aku menatapnya heran. "Kenapa sepertinya bapak mau tahu sekali?"
"Karena... kamu dan putrimu saat ini ada di rumahku dan itu artinya untuk sementara waktu menjadi tanggung jawabku."
Aku mendesahkan nafas, mengingat masalah yang aku hadapi membuat dada ini sesak seperti dihimpit batu. Tapi, bukan berarti aku bebas bercerita kepada orang lain. Biar bagaimana pun aku harus menutupi aib keluarga terutama suamiku sendiri.
"Jadi benar kamu bertengkar dengan suamimu?"
Pertanyaan Dimas membuyarkan lamunan yang sempat terlintas. "Bapak pasti mendengarnya 'kan? Jadi, kenapa bertanya lagi?"
"Hanya ingin memastikan saja. Pria gila seperti apa yang begitu tega bermain gila di belakang wanita sepertimu?"
"Lupakan saja, Pak. Mohon kita jangan membahas masalah rumah tanggaku karena aku tidak punya kewajiban menjawab semua pertanyaan bapak." Aku menjadi kesal lagi.
"Aku tidak bermaksud membuat kamu marah atau mencampuri urusanmu. Aku cuma tidak habis fikir dengan suamimu yang telah menyiakan wanita sepertimu. Siapa sangka ketulusan, kesetiaan dan pengorbananmu dibalas dusta!" Dimas seolah tidak mau mengakhiri percakapan ini sebelum puas mendengar semuanya dariku.
"Kesalahan apapun yang sudah dia lakukan pasti fatal sekali sampai kamu memilih membawa putrimu pergi. Dan teganya dia tidak berusaha menghentikan atau mencari kalian berdua." Dimas menggelengkan kepala sambil bicara. "Apa pada akhirnya kamu akan kembali lagi ke rumah itu?"
Aku menggeleng yakin dan menatap Dimas intens. "Aku tidak akan kembali ke tempat di mana aku tidak dihargai dan dianggap ada. Lebih baik aku tinggal di hutan daripada berada di bawah atap yang sama dengan mereka."
Bibirku bergetar ketika berucap. Sungguh aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di hadapan Dimas.
Dimas menghembuskan nafas dalam lalu kembali bicara. "Aku tidak bisa bertanya dan berkata terlalu jauh. Tapi, aku ingin mengatakan kalau kamu dan putrimu bergak bahagia. Jika bisa kalian perbaiki hubungan ini, maka... perbaikilah. Tapi, jika itu menyangkut tentang orang ketiga maka sebaiknya akhiri saja. Aku bisa bicara seperti ini karena aku pernah mengalami hal yang serupa."
Aku mengerutkan dahi melihat Dimas. Apa itu artinya pria itu bernasib sama denganku? Apa pasangannya juga telah mengkhianatinya?
"Ya, lebih baik sendiri daripada hidup bersama tapi tidak bahagia. Hubungan tidak bisa terjalin dengan baik jika diisi dengan kebohongan dan pengkhianatan," terang Dimas lagi.
"Hem, itu sebabnya aku memilih pergi. Aku ingin memulai hidup dengan kakiku sendiri tanpa tergantung pada mereka. Sudah cukup aku dicurangi selama ini."
"Itu prinsip yang bagus. Tapi, jika kamu berkenan aku mau memberikan fasilitas kantor untukmu. Mulai besok, kamu bisa menempati rumah yang telah disediakan perusahaan."
"Tapi, aku sudah berencana membawa Susan ke rumah kakaku. Aku juga akan memindahkan sekolahnya."
"Pas!" Dimas menggebrak meja dengan semangat. "Sekolah dan kantor tidak jaub dari sana, jadi kapan saja kamu bisa memantau putrimu. Aku akan sediakan babysister untuk menjaganya selagi kamu bekerja. Jadi, kamu tidak perlu lagi mengkhawatirkan apapun."
Aku semakin terperangah melihat sisi lain dari diri Dimas. Kutahu bila di kantor Dimas tidak pernah banyak bicara bahkan tampak tak acuh. Tapi, ternyata pria itu sangat peka dan memiliki keperdulian yang tinggi sekali.
"Bagaimana? Atau kamu mau tinggal di rumah ini?" tanya Dimas kutahu dia hanya bercanda.
"Baiklah, aku terima dan terimakasih kamu sudah nenjadi pendengar yang baik. Aku tahu nggak seharusnya aku membicarakan aib keluarga ku sama kamu."
"Nggak masalah. Kamu memang butuh orang yang tepat untuk berkekuh kesah. Jadi, apa langkahmu selanjutnya, Rima?" tanya Dimas, mata pria itu menajam sekali.
"Aku akan membalas perbuatan mereka. Balas dendam terbaik adalah dengan cara menjadikan diri lebih baik daripada para pengkhianat itu. Dan aku akan membuktikan kepada mereka kalau aku bisa diandalkan dan bisa hidup lebih baik dari mereka. Hingga akan tiba waktunya mereka menyesal dan akan memohon maaf dariku!"