Arsa menjalani hidup yang sangat sulit dan juga aneh. Dimana semua ibu akan bangga dengan pencapaian putranya, namun tidak dengan ibunya. Alisa seperti orang ketakutan saat mengetahui kecerdasan putranya. Konfilk pun terjadi saat Arsa bertemu dengan Xavier, dari situlah Arsa mulai mengerti kenapa ibunya sangat takut. Perlahan kebernaran pun mulai terkuat, dimulai dari kasus terbunuhnya Ayah Arsa, sampai skandal perusahaan besar lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Humble, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pintu Utama
“Ini sebuah undangan..” pekik Bryan
“Apa?”
Alih-alih menjawabnya, Bryan justru balas bertanya. “Arsa, siapa yang memberikan ini padamu?”
Arsa benar-benar tidak menyangka jika kartu yang terlihat begitu berharga bagi kedua rekannya itu, ternyata hanyalah kartu khusus yang dibuat oleh salah satu keluarga terkaya di kota Dreams.
“Arsa, kamu harus mengajak kami ke tempat acara itu!” Ujar Bryan.
Sejak malam itu bahkan sampai pagi ini, saat keduanya akan pergi magang saja, Bryan masih mendesak Arsa agar membawa mereka ke sebuah perayaan yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang memiliki kartu tersebut.
“Bryan, sudah aku katakan bukan, kalian bisa memilikinya dan pergi kesana berdua. Aku sama sekali tidak tertarik untuk datang, apalagi tempat seperti itu.” Jawab Arsa pada Bryan.
“Arsa, jika orang itu memang memberikannya untukmu, berarti dia ingin kamu hadir dan datang kesana. Mungkin bagimu hal ini tidak begitu penting. Tapi bagi kami….,”
Harris mengantung ucapannya, seolah sedang memikirkan apa yang ingin dia sampaikan selanjutnya. Namun saat itu, Arsa sudah langsung mengerti, lalu menganggukkan kepalanya.
“Baiklah! Baiklah! Kita akan kesana.” Ucap Arsa, yang ditanggapi dengan senyum cerah Bryan dan Harris.
“Yes, kamu hanya perlu mengatakan itu sejak tadi malam, maka kami tidak akan mendesak seperti ini!” Ucap Bryan, sambil menepuk bahu Arsa, sebelum akhirnya berjalan menjauh darinya.
“Arsa, aku tid—,”
Arsa tahu apa yang akan dikatakan Harris, namun saat itu dia menyelanya.
“Tidak perlu. Aku pikir, seharusnya aku juga datang. Lagipula, sepertinya memiliki banyak kenalan sangat baik untuk kita, bukan?” Ucap Arsa sambil tersenyum.
“Ya, kau benar! Itu yang ingin aku katakan.” Ujar Harris sambil mengacungkan kedua jempol tangannya.
“Baiklah, aku mengerti. Tapi sebaiknya kau segera menyusul manusia itu. Dia bahkan tidak memanggilmu, saat menaiki bus.” Ucap Arsa sambil menunjuk Bryan yang sudah naik bus memasukinya.
“Sial! Brengsek itu…!” Umpat Harris, sebelum akhirnya berlari mengejar bus yang sudah terlihat akan segera berjalan.
Arsa hanya bisa menggelengkan kepala saat melihat keduanya, setidaknya saat ini dia bisa sedikit tenang, karena situasi mereka kembali seperti semula.
“Hmmm… mungkin, memang seharusnya aku kesana.” Gumam Arsa setelah berbalik dan mulai melangkah menuju gedung fakultasnya.
Arsa memang memiliki kelebihan pada otaknya. Dia tidak akan memiliki masalah jika harus berhadapan dengan bilangan rumit, bahkan permasalahan rumus matematika sekalipun.
Hanya saja, saat dia tumbuh bersama Alisa, ibunya Itu terlalu membatasi pergerakannya. Jadi, hingga sekarang, Arsa memiliki kesulitan dalam hal pergaulan.
Sampai usianya saat ini, teman yang dimiliki Arsa bisa dihitung dengan jari. Termasuk dua pemuda yang satu asrama dengannya.
Dengan ambisi besarnya yang jauh kedepan sana, Arsa mulai berpikir bahwa apa yang dikatakan Harris dan Bryan, mungkin ada benarnya. Mendapatkan kenalan dan banyak koneksi, adalah salah satu hal yang harus dipelajari.
Kuliahnya berjalan cukup lancar. Hanya menghabiskan beberapa jam untuk mendengar apa yang dosen jelaskan yang sebenarnya sudah dia pahami. Arsa melewati jam pelajarannya seperti angin lalu.
Saat jam menunjukkan pukul satu siang, Arsa keluar dari ruang kelasnya, dan berjalan melalui koridor gedung fakultasnya dengan santai.
“Hei! Coba lihat! Siapa yang akhirnya berani menunjukkan kembali wajahnya disini.” Teriak seorang pria yang sebaya dengannya.
Arsa akan mengabaikan siapa yang baru saja berkata ktu, jika orang tersebut tidak langsung berjalan dan berhenti tepat di depannya.
“Hawk! Kenapa kamu berdiri di depanku?” Tanya heran Arsa, saat melihat pemuda itu menatapnya sambil tersenyum meremehkan.
Mungkin teman dan koneksi sangat perlu. Tapi tidak untuk pria yang berdiri di depannya ini. Arsa sama sekai tidak ingin berteman apalagi memiliki koneksi dengan orang seperti dirinya.
Tidak jelas apa masalahnya, Hawk selalu mengganggunya. Dan itu hampir setiap kali mereka bertemu.
Mendengar itu, senyum meremehkan dari wajah Hawk menghilang. Kini berganti dengan kerutan di kening dan wajah kesalnya.
“Apa gedung ini milik kakek nenekmu? Kenapa juga aku tidak bisa berdiri disini?” Jawab Hawk balas bertanya.
Mendengar itu, Arsa hanya bisa mengangkat sedikit bahu, dan menggelengkan kepalanya sekali, merasa heran dengan kemauan orang di depannya ini.
“Terserah.” Ucap Arsa, lalu melangkah sedikit ke kanan untuk melewati Hawk yang sombong, yang selalu membawa-bawa nama keluarga setiap dia ingin menunjukkan dominasinya.
“Mau kemana kau, berengsek?!” Pekik marah Hawk merasa diabaikan.
Arsa tersetak saat satu tangann ditahan dan mendengar pemuda itu mengumpat kesal padanya. Arsa langsung menarik dan melepaskan cengkeraman Hawk.
“Hawk, apa masalahmu? Aku tidak pernah berurusan sekali pun denganmu. Kenapa kau selalu menggangguku?”
Hawk tidak menyangka Arsa akan menanggapi dengan cara seperti itu. Biasanya, pemuda itu sedikit lebih tenang, dan selalu terlihat takut dengam masalah.
“Masalahku? Seharusnya aku yang bertanya. Apa masalahmu, hingga kau selalu mengikuti pacarku. Bahkan sampai berpura-pura mengikuti kelas yang sama dengannya?” Ujar Hawk dengan marah.
Mendengar itu, Arsa memundurkan kepalanya sedikit, karena dia tidak mengerti dengan apa yang sedang dibicarakan pemuda di depannya ini.
“Pacarmu? Kelas? Kelas apa? Aku tidak mengerti yang kau bicarakan.” Ucap Arsa saat itu juga.
“Cih masih berpura-pura.” Ucap Hawk, sambil berbalik dan memanggil seseorang.” Gina, kemarilah.”
Mendengar nama itu disebut, mata Arsa seketika melebar. Sudah beberapa hari sejak dia datang untuk mengikuti kelas agar mendapatkan mendapatkan lisensi sebagai boker profesional, setiap kali bertemu gadis yang kini datang mendekat, selalu menuduhnya sebagai penguntit.
“Oh, sial! Jangan lagi!” Umpat Arsa kesal, setengah berbisik.
“Hei, apa maksudmu, hah?” Seru Hawk tidak senang.
Arsa sedikit tertegun, karena ternyata gumamnya itu, terdengar oleh Hawk. Namun dengan cepat dia menggelengkan kepalanya, dan berkata. “Hawk, katakan pada pacarmu ini, aku bukan penguntit seperti yang dia tuduhkan, jangan sok kecantikan, karena aku—,”
Belum sempat Arsa menyelesaikan kata-katanya, Gina yang sudah berdiri di depannya, langsung menyela.
Arsa! Apa kau bilang? Tidak perlu mengelak lagi. Kau lihat? Sekarang aku sudah bersama Hawk. Jadi buang pikiranmu itu dan menjauhlah dariku, kau membuatku muak!” Pekik Gina melecehkan.
Muak? Mungkin Arsa sudah lebih dulu merasakannya. Jadi saat kata itu keluar dari mulut gadis tersebut, dia langsung bereaksi.
“Gina? Itu namamu bukan? Aku bahkan tidak pernah memikirkanmu sebelumnya, hingga tiba-tiba kamu muncul di depanku, dan mengatakan bahwa aku mengikutimu. Coba lihat, aku bahkan tidak melihatmu disini, dan kamu sendiri yang lagi-lagi muncul di depanku.” Balas Arsa dengan nada geram sedikit tinggi.
Baik Gina terlebih Hawk, benar-benar terkejut dengan reaksi Arsa tersebut. Apalagi, saat Arsa mengatakan itu, beberapa teman mereka yang tidak jauh dari sama juga mendengarnya.
Arsa menoleh pada Hawk yang sudah memerah karena kesal, dan kembali berkata. “Hawk, jika benar dia pacarmu, tolong beritahu padanya, bahkan aku tidak ingin berurusan dengan—-,”
Kata-kata Arsa terhenti karena saat ini ponsel yang ada di tangannya bergetar. Dia segera melihat pada layar ponselnya, sebelum akhirnya mengusap dengan satu tangan, dan mendekatkan ponsel ke telinganya.
Tanpa memperdulikan keduanya, Arsa segera berbalik, dan mulai berjalan meninggalkan keduanya begitu saja.
“Nona Parker?”
“Tuan One, aku dan tim yang kau inginkan, baru saja keluar bandara. Kami akan menunggu.” Ucap Clara di seberang telepon.
Sementara Arsa berbicara dengan Clara Parker melalui ponsel, Gina yang masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi, benar-benar terdiam dengan mulut ternganga.
Sedangkan Hawk yang ada di sebelahnya, menggerakkan gigi, saking geramnya. Hawk yang sudah sangat kesal, langsung maju dan menarik bahu Arsa agar segera berbalik menghadapinya dengan kasar.
“Bruuuk!”
Ponsel yang serang di genggamannya terjatuh. Mata Arsa melebar saat melihat ponselnya tergeletak di lantai koridor, dengan kondisi masing tersambung.
“Praaaank…!”
Arsa benar-benar terdiam, saat Hawk menghentakkan kakinya, menginjak ponsel satu-satunya hingga hancur.
Arsa langsung mendongakkan kepala, menatap dan mengumpat kesal pada pemuda itu, “brengksek! Apa yang kau lakukan?”
“Apa? Apa yang akan kau lakukan, hah?” Tantang Hawk, balas memotongnya.
Saat itu juga, Arsa melihat di sebelah Hawk sudah berdiri setidaknya enam orang yang juga sedang menatapnya.
Arsa menyadari bahwa berurusan dengan orang seperti Hawk, memang tidak akan habisnya. Tidak ingin meladeni karena ada sesuatu yang sangat penting yang harus dia lakukan daat ini, Arsa mundur selangkah, sebelum akhirnya berbalik dam pergi begitu saja.
“Hei! Hari ini ponselmu kurusak. Besok, aku pastikan wajahmulah yang akan berakhir seperti ini.” Seru Hawk pada Arsa, yang sudah berjalan cepat, menjauh dari sama.
”Ck, pengecut… suatu saat, aku akan benar-benar menghancurkannya!” Umpat Hawk sekali lagi, sebelum akhirnya menendang ponsel Arsa yang sudah hancur.