"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
"T-tidak... sejak kapan dia tahu aku ada di sini?!" pikir Ishika begitu panik.
"Aku tahu kau dari tadi mengamatiku dari sana. Keluar dan tunjukkan wajahmu!" ucap sang pendekar, tenang tapi mengandung tekanan yang membuat jantung berdegup kencang.
"Gawat! Aku harus segera pergi dari sini!"
Ishika menggigit bibirnya. Ia tahu, sekali ia muncul, nyawanya bisa dalam bahaya. Tanpa pikir panjang, ia melompat ke arah semak-semak yang berlawanan dan melesat menjauh dengan kecepatan tinggi.
Pendekar itu hanya menatap arah kepergian Ishika sebentar, lalu menghela napas.
"Masih ada banyak yang memata-matai malam ini rupanya..."
Ia berjalan menuju tubuh Lingga yang tak bergerak. Ia berlutut, menyentuh leher Lingga, memeriksa nadinya.
"Syukurlah, rupanya ia masih hidup," katanya lega.
Ia mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan hijau terang dari kantong kulit di pinggangnya.
"Semoga ini cukup untuk menyelamatkanmu, anak muda."
Ia memegang sebentar botol itu dan menaruhnya perlahan di atas dada Lingga. Aroma herbal tajam menyebar perlahan, seperti campuran akar kayu manis, daun artemisia, dan bunga lili hutan.
Tanpa berkata apa-apa lagi, sang pendekar bangkit berdiri. Cahaya bulan memantulkan sosoknya—tinggi, berwibawa, dan misterius. Ia menatap langit sejenak sebelum berbalik dan melangkah ke arah kegelapan, meninggalkan Lingga dengan sebotol harapan.
*
Angin malam menggigit kulit, menusuk lewat celah-celah jubah hitam yang dikenakan Ishika. Di antara rimbunnya pepohonan hutan belantara, langkah kakinya ringan tapi cepat, melompat dari satu dahan ke dahan lain seperti bayangan yang mengejar waktu.
"Sial, sial, sial… kenapa malam ini begitu buruk?" gerutunya dalam hati sambil sesekali menoleh ke belakang.
Tidak ada bayangan yang mengejarnya. Tidak ada langkah kaki berat yang menyusul. Tapi rasa waspada tetap mencengkeram dadanya.
"Apa dia mengejarku? Apa dia bisa muncul tiba-tiba seperti bayangan?" bisik Ishika dengan suara tercekat, seolah hutan bisa menjawab kekhawatirannya.
Ia menggigit bibir, wajahnya mengeras.
"Kalau dia mengejarku... apa aku bisa bertahan? Rasanya auranya lebih kuat dari siapapun yang pernah kutemui." Nafasnya memburu, namun kakinya tak berhenti melompat cepat di antara ranting gelap.
Bayangan pepohonan tampak seperti raksasa tak bernama, seakan siap menerkam dari segala penjuru. Suara hutan malam—suara jangkrik, burung malam, dan desir angin—membungkam segalanya, membuat paranoia dalam benaknya semakin kuat.
"Semoga saja Lingga itu sudah mati... kalau iya, aku tinggal melapor pada Guru Lira." Ia meringis. "Tapi kalau belum, setidaknya aku tahu dia lemah. Mungkin aku masih punya waktu untuk merencanakan sesuatu."
Ia menatap ke arah timur, ke arah istana tempat Lira menunggu laporan. "Aku harus segera kembali... sebelum sosok pria itu berubah pikiran dan benar-benar mengejarku."
Sementara itu, di tempat pertempuran sebelumnya, udara beraroma darah dan tanah basah. Daun-daun yang gugur masih bergerak pelan tertiup angin malam. Tubuh yang semula terkapar di antara akar pepohonan mulai menggeliat.
Lingga mengerang pelan.
"Ugh… a-apa yang telah... terjadi? B-badanku rasanya mau hancur," lirihnya. Seluruh tubuhnya terasa seperti diremukkan. Setiap helaan napas membuat dadanya nyeri.
Kilasan ingatan kembali—wajah mengerikan makhluk yang menyerangnya, cakar-cakar yang hampir merobek dadanya, dan… kegelapan.
"Argh! Monster itu!"
Matanya membelalak saat ia menoleh ke samping dan melihat tubuh makhluk iblis itu telah terbelah dua, tergeletak kaku di tanah. Darahnya menggenang seperti bayangan hitam yang membusuk.
"A-apa? Dia… dia sudah mati?" Lingga berusaha bangkit. Rasa sakit masih menyiksa tulangnya. "Jangan-jangan sosok tadi yang sudah membunuhnya. Tapi, siapa dia sebenarnya?"
Namun di saat itu juga, sebuah benda kecil terjatuh dari dadanya, memantul di batu lalu berhenti di samping kaki kirinya.
Sebuah botol kecil dari kaca, disumbat dengan kayu. Lingga mengambilnya perlahan, menatap cairan kehijauan yang berpendar lembut di dalamnya.
"Apa ini? Ramuan?" gumamnya pelan.
Ia membuka sumbat kayu itu dan aroma menyengat langsung menyambar hidungnya. Wangi akar-akaran, campuran herba pahit, dan jejak bunga hutan yang samar. Wajah Lingga mengernyit.
"Obat?" ia menebak, tapi kemudian menyipitkan mata. "Atau racun?"
Namun keraguan itu tak berlangsung lama. Ia mengingat sesuatu.
"Kalau pun ini racun, aku... kebal," katanya pelan, suaranya bercampur getir dan sinis. "Terima kasih, untuk kutukan aneh ini."
Tanpa pikir panjang, Lingga menenggak seluruh cairan itu.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan.
Lalu... tubuhnya tersentak.
"Agh!" Ia menggertakkan gigi, tubuhnya mulai bergetar. Tapi bukan karena kesakitan. Justru sebaliknya. Ia merasakan sensasi hangat menyebar dari perutnya ke seluruh tubuh. Tulang-tulangnya yang nyeri seolah diperbaiki dari dalam. Luka-luka di tubuhnya menutup sendiri, meninggalkan kulit bersih seolah tak pernah terluka.
Matanya membelalak. "A-apa ini…"
Ia menyentuh bahu dan punggung yang sebelumnya robek—kini utuh. Dada yang tadi nyeri kini bisa bernapas lega. Ia berdiri perlahan, menguji kakinya. Tak ada rasa sakit. Tak ada nyeri.
"Apa sosok tadi... yang memberiku ini?"
Matanya menatap sekitar. Tak ada siapa pun. Hanya sisa-sisa pertempuran, bau kematian, dan sinar rembulan yang turun menembus celah pepohonan. Lingga menatap langit, rembulan bulat mengambang di atas kepalanya.
"Siapapun kau… terima kasih telah menyelamatkan nyawaku," bisiknya. "Meski aku tak tahu siapa kau, dan... kenapa kau melakukannya."
Ia menggenggam botol kosong itu erat.
"Jika tak ada orang itu... aku pasti sekarang sudah mati."
Wajahnya menegang sejenak, lalu mengalihkan pandangan pada mayat makhluk itu.
"Tapi... kenapa aku merasa... ini belum berakhir?"
Malam mulai meredup. Namun di kejauhan, langkah-langkah tak terdengar mulai bergerak ke arah Lingga. Dan malam itu, meski penuh kematian, juga menjadi titik awal sesuatu yang jauh lebih besar...
*
Langit malam dipenuhi awan kelabu. Rembulan tertutup sebagian, meninggalkan cahaya temaram yang menyinari atap-atap istana Agniamartha. Angin berhembus pelan, membawa aroma dupa dan rempah-rempah yang terbakar di sudut-sudut menara istana.
Di antara kegelapan, sesosok bayangan melesat lincah menapaki dinding istana. Ishika, dengan tubuh yang masih dilumuri debu pertempuran, melompat ringan ke arah lantai tiga—tepat di luar jendela kamar gurunya, Lira.
Tok. Tok.
Ketukan ringan namun tergesa menggema dari kaca jendela yang gelap.
Tak lama kemudian, daun jendela kayu yang berukir simbol bulan sabit terbuka perlahan. Wajah cantik namun pucat Lira muncul di balik tirai tipis, tatapannya setajam pisau.
"Ishika," gumamnya datar. "Apa kau tak bisa masuk lewat pintu seperti orang normal?"
Ishika membalas dengan senyum lelah sebelum melompat masuk ke dalam kamar.
"Tapi... Guru, bagaimana keadaan Guru? Sudah lebih baik?" tanyanya, mengabaikan nada ketus tadi.
Lira mengangguk pelan, lalu melangkah mundur. Aroma wangi lavender dan kayu manis menguar dari dalam ruangan.
"Lebih baik setelah meminum ramuan penenang. Dan aku sudah menanamkan sihir penguat mental untuk menjaga kestabilan emosiku," jawabnya sambil menutup kembali jendela. "Tapi cukup tentang aku. Bagaimana pengamatanmu? Kenapa kau kembali secepat ini?"
Ishika menggigit bibir, matanya tampak sedikit gelisah. Ia menarik napas dalam.
"Saya... mengalami sesuatu yang di luar dugaan. Awalnya semua sesuai rencana. Saya mengikuti jejak Lingga sampai ke perbatasan hutan timur. Tapi tiba-tiba…"
Ia berhenti sebentar, menatap mata gurunya dengan intens.
"...tiba-tiba, makhluk itu muncul. Sesosok iblis... besar, dengan aura mengerikan. Ia menyerang Lingga tanpa ragu."
Lira menyipitkan mata. Ia berjalan menuju meja kecil di dekat ranjangnya dan menuangkan teh ke dalam dua cangkir hitam legam.
"Makhluk seperti apa? Apa kau yakin itu bukan salah satu ilusi dari pasukan bayangan?"
"Tidak, Guru. Ini... nyata. Saya melihatnya dengan mata kepala sendiri. Giginya... cakarnya... tanduknya... suara geramannya memekakkan telinga. Bahkan udara di sekelilingnya terasa seperti terkontaminasi."
Lira menyerahkan secangkir teh pada Ishika. Tangannya tetap tenang, tapi sorot matanya berubah sedikit. "Mungkin itu adalah Gandhara."
"Gandhara? Apa itu, Guru?" tanya Ishika penasaran.
***