Zahira Maswah, siswi SMA sederhana dari kampung kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, hidupnya berubah total saat ia harus menikah secara diam-diam dengan Zayn Rayyan — pria kota yang dingin, angkuh, anak orang kaya raya, dan terkenal bad boy di sekolahnya. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena keadaan yang memaksa.
Zahira dan Zayn harus merahasiakan pernikahan itu, sampai saatnya tiba Zayn akan menceraikan Zahira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5_Permintaan Terakhir Ibu Zahira
"Terlepas bagaimana pernikahan kalian berdua, tapi nyatanya sekarang kamu adalah suaminya anak ibu. Putri semata wayangnya ibu. Anak kesayangan ibu dan almarhum suami ibu," ujar Asiyah dengan suara lembut, seraya tersenyum tipis yang terlihat dipaksakan.
Zayn hanya menunduk. Bukan karena hormat, tapi lebih karena enggan menatap mata wanita paruh baya itu. Ingin rasanya ia membantah, ingin ia berkata bahwa semua ini hanya kesalahpahaman, fitnah, jebakan—apa pun istilahnya. Tapi melihat raut wajah Asiyah yang begitu lemah, tubuhnya yang terlihat mulai renta, ia memilih diam. Ini bukan waktu yang tepat.
"Enam belas tahun lamanya Zahira ini kami besarkan dengan kasih sayang, kami berikan ia pendidikan terbaik yang kami mampu, kami cintai ia sepenuh hati. Bahkan, kami tak rela jika seekor semut menggigit kulitnya..." suara Asiyah tercekat. Matanya berkaca-kaca, menatap jauh seolah sedang memutar kembali ingatan akan masa kecil Zahira.
Zayn mengangkat sedikit wajahnya. Ia menatap wanita itu. Ada sedikit rasa tak nyaman di dadanya. Tapi itu tak cukup untuk mengubah wajahnya yang tetap datar, dingin.
"Zahira itu anak yang baik. Ia tidak pernah mengecewakan kami. Ia benar-benar permata di keluarga ini. Dan sekarang... dia telah menjadi istrimu, Zayn. Itu berarti tanggung jawab kami selama ini—untuk menjaganya, melindunginya—telah berpindah ke tanganmu," suara Asiyah bergetar. Ia lalu menggerakkan tangan Zayn, meletakkannya di kedua telapak tangannya sendiri yang kurus namun hangat.
Zayn diam saja. Hatinya bergolak, tapi wajahnya tetap tenang. Tegar. Seolah tak ada yang masuk ke dalam hatinya.
"Pesan ibu cuma satu, Nak Zayn. Jaga dan sayangi Zahira... lebih dari kami menyayanginya. Bawa dia ke mana pun kamu mau, bahkan ke dalam sarang semut pun ibu ikhlas. Asal kamu jaga dia. Beri dia makan dari rezeki yang halal. Beri dia minum dari minuman yang halal. Dan jangan pernah sakiti dia—tidak dengan ucapan, tidak dengan perbuatan, tidak juga dengan tatapan," ujar Asiyah penuh harap, seraya menggenggam tangan Zayn lebih erat.
Zayn tidak membalas genggaman itu. Tangannya tetap diam, kaku. Ia membiarkan semua ini mengalir seperti air. Seperti jalan takdir yang tak pernah ia pilih sendiri.
"Kamu mau kan, Nak? Kamu mau penuhi permintaan ibu?" tanya Asiyah, matanya penuh pengharapan.
Zayn tak menjawab. Matanya hanya memandangi tikar lusuh di lantai. Kepalanya dipenuhi keinginan untuk segera pergi dari rumah ini, dari kampung ini, dari Zahira. Wanita yang menurutnya pembawa sial itu.
"Ibu percaya kamu laki-laki yang baik. Ibu tahu kamu terpaksa menikahi Zahira, dan kamu tidak mencintainya. Tapi... ibu yakin, kamu masih punya hati. Masih bisa menghargai sakralnya pernikahan," suara Asiyah mulai melemah.
Zayn menggigit bibir bawahnya. Kepalanya menunduk lebih dalam, seolah ingin tenggelam ke dalam dirinya sendiri. Ia tidak tahu kenapa dirinya ada di posisi seperti ini.
Zahira tiba-tiba keluar dari dalam kamar. Ia tertegun melihat ibunya sedang memegang tangan Zayn. Langkahnya pelan mendekati mereka.
"Ibu..." panggilnya lirih.
Asiyah menoleh dan tersenyum, "Zahira ini anak baik, penurut, sabar. Kamu tidak akan rugi memperistri dia," ujarnya lagi, masih menatap Zayn.
Zahira duduk di sisi ibunya. Ia merasa aneh. Ada yang tidak biasa dari ibunya hari ini. Ibunya tampak terlalu lemah... terlalu tenang.
"Ibu, sudah... jangan terlalu memaksanya," ucap Zahira, mencoba melepaskan tangan ibunya dari tangan Zayn.
Namun Asiyah menolak, "kamu ini, Zahira. Bagaimana bisa kamu melarang ibu bicara dengan menantu ibu sendiri?" senyumnya masih tersungging, meski kini matanya mulai sayu.
"Kamu mau ya, Nak Zayn? Ibu mohon..." tanya Asiyah lagi, kali ini dengan suara yang lebih pelan. Napasnya terdengar sedikit berat.
Zayn akhirnya mengangkat wajahnya. Ia menatap Zahira. Gadis itu menunduk malu, pipinya bersemu. Zayn ingin tertawa—sinis, getir. Tapi entah kenapa, sorot mata Zahira menusuknya. Ada ketulusan, ada harapan. Ia tidak tega.
"Baik, Bu... saya bersedia," ucap Zayn akhirnya, pelan dan nyaris tanpa emosi.
Asiyah tersenyum lebar, "terima kasih, Nak Zayn. Ibu ridho dengan pernikahan kalian. Ibu ridho kamu menjadi menantu ibu."
"Terima kasih, Bu," balas Zayn dingin. Tidak ada senyum di wajahnya. Tidak ada rona haru. Hanya ucapan formalitas.
Zahira masih menatap keduanya dengan campur aduk perasaan. Antara malu, bingung, dan tidak enak hati.
"Ibu lelah... ibu mau istirahat sebentar," ucap Asiyah, perlahan meluruskan kakinya di atas tikar.
Namun tangannya masih menggenggam tangan Zayn. Bahkan ketika tubuhnya mulai berbaring, ia tak mau melepaskan genggaman itu.
Zayn menatap tangan mereka yang saling terkait. Ada sesuatu yang terasa aneh. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
Perlahan, mata Asiyah tertutup. Napasnya teratur. Damai.
Hening sejenak.
Namun detik berikutnya, genggaman tangan Asiyah melemas. Terlepas begitu saja.
Zayn merasakan sesuatu yang dingin merambat di tangannya. Ia menarik tangannya pelan, menatap wajah Asiyah yang kini benar-benar diam.
"Bu?" suara Zahira pelan, menyadari ada yang tidak beres. Ia segera menggoyang-goyang tubuh ibunya, "ibu...? Ibu..."
Zayn berdiri. Langkahnya mundur. Ia tak tahu kenapa jantungnya berdetak cepat, tapi ia menepis perasaan itu. Mungkin karena kaget.
Zahira panik, "ibu... bangun Bu... jangan bercanda, Bu..."
Ia menggoyang tubuh Asiyah lebih keras. Tapi ibunya tetap diam, tanpa suara.
Zayn menoleh. Matanya tajam menatap ke arah Zahira dan ibunya. Tapi hatinya tetap beku.
"Ibu... bangun, Bu!" jerit Zahira. Ia lalu bangkit, berlari ke pintu, membukanya lebar-lebar.
"Tolong... Ibuku! Tolong!!"
Suara teriakan Zahira menggema.
Beberapa warga yang masih berkumpul di luar langsung berlarian menuju rumah Asiyah.
"Ada apa?"
"Ibuku... ibuku..." isak Zahira tak terbendung. Ia kembali ke dalam rumah, menghampiri tubuh ibunya yang kini kaku.
Seorang ibu yang berprofesi sebagai bidan kampung mendekat, memeriksa nadi Asiyah. Sesaat kemudian, ia menghela napas panjang.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." ucapnya pelan, "Ibu Asiyah telah tiada."
Zahira menjerit, "tidak mungkin!! Tidak mungkin, Bu... jangan tinggalkan aku, Bu!"
Ia menggoyang tubuh ibunya, keras, putus asa. Para warga mulai masuk ke rumah, melihat kejadian memilukan itu.
Namun Zayn... berdiri di sudut ruangan. Menyandarkan tubuh ke dinding. Matanya menatap kosong ke arah jasad Asiyah. Hatinya aneh. Bingung. Tapi ia tak meneteskan air mata. Tak juga bergerak.
Semua ini... terlalu cepat. Terlalu absurd. Terlalu nyata untuk menjadi mimpi.
Ia mengusap wajahnya pelan. Lalu menatap tangannya sendiri—tangan yang tadi digenggam oleh wanita yang kini terbujur kaku.
Masih terasa hangat.
Zayn menghembuskan napas panjang. Ia membalikkan badan, meninggalkan kerumunan yang menangis dan berduka.
Semua ini bukan rencananya. Tapi... inilah yang terjadi. Ia rasanya ia menghilang saat ini juga.
lanjut Thor mau lihat seberapa hebat Zahira bisa melalui ini semua
dan cerita cinta di sekolah ini pastinya yg di tunggu ,,rasa iri, cemburu dll
apa sekejam itu Thor di sana ?
selipin cowok yg cakep Pari purna yg tertarik ma Zahira mau tau reaksi suami nya,,kalau ada seseorang yg suka pasti membara bak 🔥
ayah zayn atau ayah ardi?.
kalo ayah zayn..
apakah ingin zahira twrsiksa dan dibully di sekokah zayn?
apa gak kauatir klao terbongkar pernikahan mereka?
❤❤❤❤❤❤
atau carikan sekolah lain.
❤❤❤❤❤
use your brain