Seorang perempuan bernama Zainab Rahayu Fadillah memutuskan menikah dengan seorang pria bernama Hasan Bahri. Dia menerima pinangan itu, dikarenakan keluarga sang suami adalah keluarga dari turunan turunan seorang tuan guru di sebuah kota.
Zainab dan keluarga, jika mereka adalah dari keturunan baik, maka sikapnya juga akan baik. Namun kenyataannya bertolak belakang. Dunia telah menghukum Zainab dalam sebuah pernikahan yang penuh neraka.
Tidak seperti yang mereka pikirkan, justru suami selalu membuat huru hara. Mereka hampir setiap hari bertengkar. Zainab selalu dipandang rendah oleh keluarga suami. Suami tidak mau bekerja, kerjanya makan tidur dirumah. Namun penderitaan itu belum selesai, adik ipar dan juga ponakannya juga sering numpang makan di rumah mereka, tanpa mau membantu dari segi uang dan tenaga. Zainab harus berjuang sendiri mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miftahur Rahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sampai kapan kau begini terus hah?
Jeritan nya panjang...
Parau...
Dan penuh ketakutan...
“Mending kalian pergi kesekolah sana... Biar ummi lihat siapa yang berteriak itu...” suruh Zainab pada kedua anaknya.
Mel dan Fatur menurut. Keduanya menaiki sepeda dan segera mengayuhnya.
Zainab berjalan kearah sumber suara. Langkah kakinya ragu mendekati sebuah rumah, yang dicurigai oleh Zainab datangnya sumber suara tersebut.
Ia terperanjat saat seorang wanita tiba-tiba muncul dan berteriak histeris memeluknya.
“Suamiku, dibunuh...” teriaknya pilu.
Zainab membeku. Hari ini sudah dua orang yang meninggal dunia. Besok siapa lagi yang menjadi korban.
Beberapa warga juga mendatangi wanita itu karena mendengar teriakannya. Semua orang nampak syok saat mendengar penjelasan wanita itu.
Zainab dan para warga mendatangi rumah bu Minah, disamping rumah mereka tergelatak sesosok orang yang sudah berlumuran darah.
Zainab menutup hidungnya karena mencium bau amis darah. Ia juga menatap ngeri pada jenazah itu. Bagian tubuhnya nampak terpotong menjadi beberapa bagian.
“Siapa sih manusia kejam yang melakukan ini?” lirih Zainab.
Pagi itu desa Pasir gempar karena penemuan jenazah karena dibunuh. Kejadian ini sudah terjadi diakhir-akhir ini.
Ketua Rt Bobon berniat melaporkan berita itu ke polsek Panipahan. Namun kejadian tidak terduga, ditengah jalan hendak melaporkan kejadian itu, seorang warga menemukan jenazah pak Bobon dengan luka tusuk di bagian dadanya.
Aura desa Pasir makin mencekam. Para orang tua melarang anak-anak mereka bermain terlalu petang dan tidak diperbolehkan keluar malam-malam.
“Desa kita semakin tidak aman...” ujar seorang warga pada suatu hari.
“Kira-kira siapa ya yang sering membunuh warga Pasir?” celetuk Zainab pada sang suami.
Suaminya yang sedang bersandar pada dinding, menoleh kearah Zainab.
“Mana saya tahu...” ucapnya dingin.
“Kejam sekali pembunuh itu... Jika yang dirasakan oleh korban itu, terjadi pada keluarga pembunuh itu kek mana? Apa ia bisa diam dan tidak sedih?” ucapnya lagi.
Hasan menatap Zainab tajam.
“Apa kau mau kubunuh juga seperti para korban itu hah?” bentaknya.
Zainab mengerutkan keningnya.
“Kenapa harus aku? Emang salah aku apa hah?” Zainab menahan emosi.
“Kenapa abang malah bicara seperti itu? Aku Cuma nanya. Jika tidak suka membicarakan hal ini, tinggal bilang. Nggak usah ngomong kek gitu... Kalau aku mati, siapa yang ngasi kau dan anak-anak makan hah?” sambung Zainab lagi.
Ia menatap sang suami dengan benci. Ia benci dengan sikap sang suami, tidak pada tempat mau marah. Seenak jidat mau bicara dan mau marah.
“Lagi pula apa salahku jika aku harus dibunuh? Apa salahku?” tanya Zainab lagi.
Hasan mengalihkan pandangannya, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal.
“Aku tidak suka kau tanya seperti itu, apalagi dengan wanita sepertimu... Tidak tahu sebenarnya yang terjadi, tapi percaya dengan cerita benar...” gumamnya dengan tatapan penuh emosi.
“Kenapa kau yang marah hah? Aku hanya membicarakan pembunuhan itu, jika kau tidak suka bisa bilang baik-baik kan? Apa tidak bisa bicara baik-baik hah?” Zainab menghela napas berat.
Ia mencoba mengontrol emosi yang kian naik keubun-ubun.
“Apa yang tidak benar? Aku dan para warga melihat sendiri jenazah Pak Bobon, sebagain tubuhnya terpisah-pisah...” jawab Zainab.
“Apa itu menjadi urusanmu? Biarkan saja mereka mati, mereka pantas mati...” ujarnya dengan suara meninggi.
“Kenapa mereka pantas mati hah? Mereka orang baik... Seharusnya orang yang jahat itu pantas mati dengan cepat...” seru Zainab.
Ia menatap lekat sang suami.
Apakah benar selain tidak punya hati pada sang istri, ia juga tidak punya rasa simpatik pada orang lain.
Zainab memandang sang suami dengan wajah berkerut.
Sampai kini ia belum bisa memahami pola pikir sang suami. Kadang orang bicara baik, ia jawab dengan marah.
Kenapa juga harus berbicara seperti itu, sampai mau membunuhnya.
Maksudnya apa coba?
“Karena dunia tidak sederhana pikiranmu Zainab,” sang suami menatap Zainab tajam.
“Kadang yang terlihat baik, tidak sebenarnya baik. Mereka pinter menyembunyikan kebusukan mereka sendiri...”
“Lalu, jika mereka jahat sekalipun, apa pantas dibunuh? Kan ada penjara, jika mereka melakukan kesalahan yang menyalahi hukum, mereka bisa dihukum penjara... Kenapa harus dibunuh?”
“Tidak semua hukuman itu, berakhir dipenjara. Kadang, lebih baik mati...” jelas Hasan.
Ia bangkit dari duduknya dan melangkah kearah pintu.
“Mau kemana?” tanya Zainab dingin. Hasan menoleh sebentar kearah Zainab.
“Ada urusan.” jawabnya singkat.
“Urusan apa? Kenapa kau akhir-akhir ini suka keluar malam-malam dan pulang hampir pagi? Apa kerjaanmu?”
“Tidak usah mencampuri urusan orang...” jawabnya dingin.
Zainab menghela napas kasar.
“Akan menjadi urusanku jika menyangkut rumah ini, Hasan.” suaranya sedikit meninggi.
Fatur dan Melinda hanya diam disudut ruangan sambil mengambar dibuku gambarnya.
“Apa Ummi dan ayah berantem lagi?” tanya Mel pada abangnya.
“Udah diam aja, Ummi dan ayah hanya lagi mengobrol...” ucap Fatur memisahkan sumbu lampu tanah, dan minyaknya ia oles ke lembar buku gambar. Ia sedang menjiplak gambar pada buku sekolahnya.
“Kau pergi malam-malam, pulang pagi. Seharian tidur karena mengantuk, dan selama itu juga kau tidak bekerja... Sampai kapan kau seperti ini hah?"
Hasan mengepalkan tangannya. Ia menghela napas kasar menatap sang istri.
“Bisa tidak sekali saja mulutmu diam? Dasar istri durhaka...” serangnya dengan nada tinggi.
Melinda nampak ketakutan melihat kedua orang tuanya, berbicara dengan nada tinggi. Fatur menenangkan sang adik.
Zainab bercakak pinggang. “Selalu saja kata-kata itu yang keluar dari mulutmu... Kau tahu defenisi durhaka nggak hah?”
Hasan nampak hendak menyerang Zainab. Namun Fatur dan Melinda malah berteriak menarik sang ibu menjauhi sang ayah.
Suasana menjadi panas. Hasan membuka pintu dengan kasar, dan membanting pintu dengan keras, membuat tiga orang dirumah itu terperanjat.
“Tidak bisakah ayah dan Ummi tidak berantem sekali saja Tuhan?” lirih Fatur nampak menangis. Zainab memeluk kedua anaknya.
Setelah itu, segera ia menutup pintu dan mengkuncinya. Tidak lupa memasang palang pintu juga.
Seperti biasa, Hasan pulang saat pagi. Zainab sudah bangun, karena mengerjakan pekerjaan rumah. Ia sudah memasak untuk sarapan pagi. Ia juga sudah merendam pakaian kotor. Saat sang suami pulang, ia hanya diam.
Beberapa hari mereka hanya saling diam. Tapi, Zainab masih mau menyediakan makanan untuk sang suami. Walaupun ia sedang marah, sudah kewajibannya untuk tetap mengurusi makan suaminya.
Pagi itu beras tinggal sedikit. Sedangkan uang ditangan Zainab hanya tinggal beberapa ribu rupiah saja.
Melinda dan Fatur bangun setelah melewati berbagai drama saat bangun tidur. Mereka bergegas mandi, dan sarapan bersama sang ibu.
“Ini untuk jajan, bagi dua ya...” ucap Zainab memberikan uang Rp. 1000 pada Fatur.
Fatur menerimanya dengan wajah tersenyum. Lalu mereka mengayuh sepedanya meninggalkan rumah.
Zainab menghela napas lelah. Sampai kapan terus begini. Ia segera pergi kedapur, mulai mencuci pakaian kotor.
Setelah mencuci semuanya. Ia menjemur pakaian itu. Setelah selesai, ia kembali membelah pinang. Fatur dan Melinda kadang-kadang ikut membantu membelah pinang.
Walaupun Fatur pernah terluka jarinya karena membelah pinang, ia tidak jera. Tetap mau membantu sang ibu.
Pulang dari sekolah. Mereka menyalami sang ibu. Mereka sudah sangat lapar, tapi sang ibu belum memasak.
“Kalian main dulu sana...” suruh Zainab dengan nada lembut. Keduanya menurut, mereka bermain dibawah rumah.
Sesekali terdengar suara tawa dari keduanya dari dalam rumah. Zainab menghela napas lelah, dikedai sudah banyak hutang. Tidak mungkin ia berhutang lagi.
Ia melirik kearah tempayan tempat beras. Beras hanya tersisa beberap genggam saja. Zainab memutuskan untuk membuat bubur lagi.
“Ummi, lapar...” Fatur merengek duduk disamping sang ibu.
Mel juga duduk disamping dan ibu. Ia juga merengek karena lapar.
salam kenal ya, jgn lupa mampir di 'aku akan mencintaimu suamiku' 🤗🤗
aku akan datang kalo udh UP lagi 😉
jangan lupa untuk mampir juga yaaa makasihhh