NovelToon NovelToon
Adara'S Daily

Adara'S Daily

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Alunara Jingga

Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sebelum Badai

Aku keluar dari pelataran masjid, mencari sosok lelaki berkacamata itu. Kami masih di masjid usai ia melaksanakan Sholat Jumat. Ku lihat ia ada di seberang jalan sana, keluar dari Indoapril sembari menenteng kresek berlogo tempat belanja tersebut. Ia tersenyum, sementara aku menggaruk tengkuk, sungguh, aku tak tahu harus bagaimana. Ingatan tentang kejadian semalam membuatku mati kutu, semakin diingat semakin memalukan. Mukaku memanas, sepertinya mengenang kejadian itu bukan hal yang baik bagiku. Kini ia sudah berada tepat dihadapanku.

"Panas, dek? Sampe merah gitu mukanya." Ah, si*l, kenapa ia harus menyadari.

"Iya, mas," jawabku singkat.

Ia membuka pintu mobil. "Masuk dulu, ada ide mau kemana? Mumpung di daerah wisata ini."

"Kemana ya, Aya bingung," jawabku saat ia berada dibelakang kemudi.

"Ngejer sunset aja yuk, kalo nunggu disini masih lama, Senggigi aja yuk, mau?"

"Hah? Jauh amat, ga capek?"

"Ngga jauh, masih Lombok ini. Gimana? Mau?"

Pandangan kami bertemu, aku membuang pandang ke arah jalanan di depan. 'Bikin kaget aje'. Aku masih sibuk bermonolog.

"Aya? Kok bengong? Dari tadi kayanya banyakan bengong. Kenapa? Mikirin apa?"

"Ngga mikir yang berat kok, Mas. Cuma inget sesuatu yang memalukan," ucapku pelan.

"Sesuatu? Sambil jalan aja ya."

Aku hanya mengangguk, untuk mencairkan suasana, aku menghidupkan audio player.

"Nyambung ke bluetooth mana ini?"

"Ini." Ia menyerahkan ponselnya. "Sandinya masih sama, buka aja!" Aku menemukan folder yang dulu ku buat, 'Aya's playlist'. Ternyata ia rajin menambahkan list, album terbaru kotak band sudah masuk, tentu dengan senang hati ku putar. Aku ikut bersenandung lirih.

Akhirnya ku tahu, kau datang dari masa lalu~~

Aku ingat, dan merasakan

Disaat memandangmu

Deja vu, deja vu~~

"Ay, mas kayanya tahu kamu mikir apa," celetuknya, bikin tengsin.

"Udah sih kalo tahu mah, jangan dibahas lagi, bikin malu. Kerasukan apa pula gue semalem sampe ngomong gitu."

"Lah, nyesel?"

"Dikit."

"Dih, pake nyesel. Giliran ditinggal sama yang lain aja mewek," ejeknya.

"Tinggalin aja sih, mau ditinggal sama siapa? Si Wena Wena itu? Gih, nih chat nya juga baru masuk!" Ku serahkan ponselnya. Tak sengaja ku lihat, karena memang sedang on chat dengan Wulan, ponselku mati.

Wena Juliani, M.Sc.

Mas Hadian, terima kasih tumpangannya hari ini. Besok mau dibawain bekal apa lagi?

"Jadi ini yang katanya setia? Heleh!" sinisku.

"Loh, emang iya kok, dia aja yang tetep nyari ke ruanganku."

"Ciye yang tiap hari di samperin fans, dibawain bekal pula. Fans service nya juga sampe dikasi tumpangan, ciye!"

"Sebelumnya ga pernah, Ay. Tadi biar cepet aja, kalo ga gitu betah banget."

"Ya kan bisa bilang kalo ada janji."

"Iya, lain kali ga bakal kejadian lagi."

"Jadi tadi dia duduk disini?" Tunjukku pada kursi yang tengah ku duduki.

"Nggak, tadi bawa motor, tau sendiri ini mobil kepake pas lagi sama kalian."

"Motoran? CIEE YANG MOTORAN SAMA CEWE, CIEE ...."

"Astaga, Aya. Kaget ih, nih balesin aja sih chat nya."

"Males!"

"Hahahaa... Ternyata mukanya kalo bilang cie tuh kaya gini toh, lucu."

"Dikira badut."

"Hahaha ..." ia tertawa sembari mengacak rambutku. Bukan cuma rambut yang berantakan, sampe hati pun ikut ambyar. Mukaku sepertinya memerah, terasa panas di bagian pipi.

"Ketawa teros, ntar keselek tau rasa!"

"Iya iya, maaf. Abisnya kamu gemes banget. Tambah sayang deh."

"Hilih, timbih siying."

"Serius nih, makanya balesin nih biar orangnya berenti gangguin!" Ia menyerahkan ponselnya kembali. Aku bergeming, kembali ke mode hening. Berpura menutup mata, berharap benar terlelap. Alunan lagu yang lembut membuat mataku berat dan terhanyut menuju dunia mimpi.

...🍃🍃🍃...

Entah sudah berapa lama aku terlelap, saat terbangun, tak ku dapati lelaki kardus banyak modus itu. Rupanya ia memarkirkan mobil di pelataran masjid, ku lihat jam di dashboard, ah sudah masuk waktu Ashar ternyata. Aku keluar dan memandang sekitar, mencoba mengenali lokasi, di Meninting rupanya. Jadi ia memang berniat ke Senggigi, kasihan, aku membiarkan ia menyetir sendiri dalam bisu dari bypass bandara sampai sini. Salah sendiri, pokoknya aku masih kesal, entah dibagian mana yang membuatku jengkel.

Sudahlah, lebih baik aku mulai sholat.

Usai sholat, aku kembali ke mobil, ponselnya berdering, ku lihat nama penelpon, Ojik ternyata, ku jawab saja, entah kemana pemiliknya.

"Nyet, lu dimana? Gue sama yang lain di tempet biasa, ngilang mulu macem hantu. Gausah terlalu busy gitu deh, sini. Ara udah balik ini, anaknya juga baik-baik aja, tadi gue udah ketemu. Jari tangannya masih lengkap, badannya ga ada yang lecet, judesnya masih nempel, masih kuat juga buat lawan gue debat. Move on sih!" Begitu ku geser layar, belum berucap, ia sudah mulai rap nya. Kebiasaan emang.

"Ga mudah memang, gue aja mupon dari dia butuh waktu lima tahun sampe akhirnya ketemu bini gue. Intinya itu waktu!" sambungnya yang membuatku terdiam yang semula ingin menyemburkan lahar. Mencerna apakah ada yang salah dan terlewat dari ucapannya. "Lo ga asik ah, kebiasaan banget cuekin orang kalo lagi ngomong, sini dah, gue tunggu!" ia menutup panggilan sepihak.

Aku masih bengong ketika akhirnya Mas Dwi masuk. Entah apa yang ia ucapkan, aku tak fokus, masih sibuk mencerna ucapan Ojik tadi. Sebuah usapan lembut di pipi menyadarkanku kembali ke kenyataan.

"Kenapa? Kok bengong lagi? Masih mikirin Wena?" Aku bahkan tak ingat lagi siapa Wena.

Aku menyerahkan ponselnya, "Tadi Ojik nelpon, nyuruh mas move on dari Aya."

"Hah? maksudnya gimana?"

"Entah, aku ga tahu apa yang pernah kalian omongin tentangku, dan aku ga mau tahu tapi yang pengen aku tahu, apa maksud dia tentang berhasil move on dariku? Apa ada yang kalian sembunyiin?"

"Em? Kalian ngomongin apa?"

"Ga sempet ngomong, tau sendiri dia kalo ngomong udah macem rapper. Jawab aja sih!"

"Oke, tapi ga disini, ke Ludmila aja yuk!"

"Terserah, yang Aya butuh itu penjelasan."

Dia terlihat pasrah, tak lama, kami sampai. Aku mencari tempat yang tenang, walaupun memang tempat ini tidak ramai, ini salah satu spot tersembunyi di area Senggigi. Setelah menemukan tempat, aku menatap tajam Mas Dwi yang sedari tadi gelisah.

"Kok gelisah?"

"Mmm, apa ngga sebaiknya kamu denger sendiri dari Ojik?"

"Nggak, aku takut gimana reaksiku nanti. Aku takut pikiranku bener, dan entah apa yang bakal ku lakuin nanti."

"Oke, dengerin ya. Sebenarnya..." ia menjeda ucapannya, tampak berat untuk di ucapkan. "Ojik sebenarnya suka kamu udah lama, dek. Jauuhhh sebelum kita semua akrab. Kamu ingat dulu ada anak SMP yang suka gangguin temen cowokmu? Itu dia." Ingatanku melayang, mundur ke belasan tahun silam. Reyhan, dia anak yang selalu di bully, dan aku yang akan menjadi tamengnya. Dan aku ingat ada satu anak SMP yang selalu mengganggunya, jadi itu Fauzi Ilham?

"Dia tahu, kamu itu bakal selalu belain Reyhan, makanya sering gangguin Reyhan. Sampe akhirnya kami ketemu Ian, dan dia ketemu lagi sama kamu. Aku masih ingat gimana senengnya dia dulu, dia ngotot mau jadi temenmu, biar bisa disayang. Dia ingat kata-katamu dulu, dek. Punya temen itu disayangin jangan di nangisin. Tapi tiap ketemu kamu, dia bakal gugup, cara dia ngilangin gugupnya ya ngajakin kamu berantem terus. Tapi, pada akhirnya ia nyerah, kamu jadian sama Andy. Dia tahu kamu paling bete sama dia. Dan dia memutuskan nyerah tanpa harus mengungkapkan, kita semua tahu karena dia bilang sendiri kan waktu itu?"

Iya, dia pernah bilang kalau ia menyerah untuk memperjuangkan rasanya pada seorang gadis, saat itu, aku kelas XI SMA. Kami terkejut karena kami tak tahu siapa gadis yang dimaksudnya. Itu aku? Demi apa?!

"Aku tahu apa yang kamu khawatirin, tentang Wulan, bukan? Kamu tenang aja, dia bucin akut sama istrinya. Wulan sudah tahu dari dulu, kamu kan emang ngga pekaan orangnya. Mereka memang nggak langsung dekat, tapi sekitar lima tahun kemudian, mereka mulai dekat dan akhirnya menikah. Kamu liat sendiri gimana mereka sekarang. Ada yang kamu tanyain lagi?"

"Mas tau dari mana semua itu? Ngga lagi ngarang bebas?" selidikku, aku sebenarnya tak percaya walau sangat ingin percaya.

"Mas ini dari SMP udah temenan sama dia, udah jadi tong sambat dia. Ga ada rahasia lagi antara kami berdua. Kamu percaya ato nggak, itu hak kamu. Tapi semua yang mas ceritain ini benar."

Aku menghembuskan nafas kasar, tak tahu harus berkata apa. Aku harus segera berbicara pada mereka berdua. Namun untuk memulainya, aku tak tahu harus bagaimana. Teruntuk Wulan, bagaimana bisa aku mengikrarkan diri sebagai sahabat, sedang perasaannya sendiri aku tak tahu. Aku egois, hanya memperhatikan diri sendiri. Sungguh, aku tak tahu harus bersikap seperti apa ketika bertemu dengannya. Aku malu, bagaiamana mungkin aku tak tahu apapun tentang ini. Rasa ini terasa menyesakkan, sepertinya, aku memang harus menghilang dari bumi.

Sungguh, tak pernah sedikitpun terbersit untuk berpikir ke arah sana. Aku merasa semua wajar, aku dan Ojik memang selalu berdebat, bahkan hal sepele macam menu sarapan masing-masing. Tapi walau sering bertengkar, ia tak segan untuk membelaku jika ada yang menggangguku, bahkan jika itu salah satu dari mereka berlima. Pengakuan yang sungguh membuatku terkejut.

"Ay, haloo, kamu masih disini??" Sebuah tepukan lembut membawaku kembali.

"Ah, iya. Aku bingung, kok jadi rumit gini ya."

"Ngga ada yang rumit, pikiranmu aja yang rumit. Kamu terlalu banyak mikir, Ay. Rileks, Mas udah bilang, itu semua udah berlalu. Kamu ga selamanya harus bahagiain semua orang, adakalanya kamu harus egois demi bahagiamu!" tegasnya.

"Aku ga bisa, Mas. Ini tentang dua orang yang bukan sekedar orang lain."

"Lalu? Kamu mau apa? Mau ngilang lagi? Saya tahu pikiranmu sekarang. Jangan pernah berpikir buat pergi lagi ninggalin masalah! Kamu egoisnya cuma sama saya, Ay. Apa sedikitpun kamu ga mikirin perasaan saya? Gimana saya harus menahan diri untuk tidak melewati batas?! Saya yamg tiap hari khawatir, saya yang tiap saat mikirin kamu, keadaan kamu, saya y--"

"Aku ga minta ya, Mas. Kalo kamu emang udah capek, yaudah, gausah diterusin. Aku ga minta kamu ngelakuin semua itu! Aku muak, aku muak sama diriku sendiri. Aku ga sebaik yang kalian semua kira, ngebahagiain orang? bullshit! Aku egois, aku ini hina, jadi jangan buang waktu kamu yang berharga buat orang kaya aku! Kamu terlalu berharga buat orang egois kaya aku. Biarin aku sendiri!" Aku bangun dari duduk, sungguh aku ingin menghilang saja. Saat ini aku hanya butuh sendiri.

"Ay, jangan gini! Oke, saya minta maaf. Tapi jangan pergi sendiri. Ini jauh dari rumah, ayo pulang. Saya antar pulang!" Ia menarik tanganku, tak ingin ada tontonan untuk orang lain, aku menurut. Namun sepanjang perjalanan, aku membisu. Memejamkan mata adalah jalan ninjaku.

Walau tak dapat tertahan, air bening itu lolos dari sudut mataku yang terpejam. Sebisa mungkin aku menyembunyikan wajah, aku tahu, dalam diamnya, ia pasti melirik ke arahku. Sungguh, aku hanya ingin menenangkan diri.

Bukan bermaksud melukai, namun entah mengapa banyak orang terluka karenaku dan kisahku. Mungkin memang lebih baik aku pergi dan menghilang. Jika Dwi saja lelah dengan semua ini, lalu bagaimana aku? Apa aku terlihat menikmatinya? Aku dan overthinking ku. 'Maaf, mas. Aku akan mengecewakanmu sekali lagi'.

...__...

1
Anjan
gitu dong, ngaku!
Anjan
Slice of life nya dapat banget, humornya juga dapet. Semangat, Kakak author!
Anjan
enteng kali si jule
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!