Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Di Antara Jeda dan Tegangan
Kelonggaran itu datang tanpa banyak kata.
Pesan Athaya masuk di sela-sela malam Lucas yang dipenuhi catatan dan soal latihan. Singkat, padat, dan tidak bertele-tele—ciri khasnya.
Fokus ujian dulu. Misi aku tahan sementara. Jangan ceroboh.
Lucas menatap layar ponselnya cukup lama. Ada kelegaan yang mengalir pelan, bercampur rasa bersalah. Ia tahu, kelonggaran itu bukan karena misi menjadi tidak penting, melainkan karena Athaya memilih menyingkir selangkah demi dirinya.
Thanks, balas Lucas singkat.
Lalu, setelah ragu sejenak: Hati-hati.
Tidak ada balasan.
Lucas menyandarkan punggung ke kursi, menutup mata sebentar. Untuk pertama kalinya sejak kembali, ia bisa menarik napas lebih dalam. Setidaknya satu beban diletakkan. Meski dua lainnya masih menunggu—sekolah dan perasaannya sendiri.
Di sekolah, Gio duduk dengan bahu sedikit menurun. Wajahnya pucat, matanya tampak lelah. Ia menahan mual sejak pagi, perutnya terasa aneh—kosong tapi menolak diisi. Saat bel istirahat berbunyi, ia hanya meneguk air dan menolak ajakan makan.
“Nanti aja,” katanya singkat.
Padahal “nanti” tidak pernah benar-benar datang.
Gio cepat capek. Jalan dari kelas ke kantin saja terasa lebih jauh dari biasanya. Tangannya dingin, kepalanya ringan. Ia menyandarkan dahi sebentar di meja, berharap sensasi berputar itu berhenti. Ia tidak ingin menarik perhatian. Tidak ingin ada yang bertanya.
Terutama Danu.
Danu memperhatikan dari jauh. Terlalu sering, terlalu lama. Ada rasa frustrasi yang menggerogoti dadanya—antara khawatir dan lelah. Ia sudah mencoba bicara, memberi ruang, menunggu. Semuanya seperti berbenturan dengan dinding yang sama.
“Lu kenapa sih?” tanyanya suatu sore, suaranya tidak setajam hatinya.
“Capek,” jawab Gio. Jujur, tapi tidak utuh.
Danu mengangguk, lalu memalingkan wajah. Di kepalanya, sebuah keputusan nyaris diambil—menyerah, berhenti mengejar, membiarkan jarak itu menetap. Mungkin itu yang paling adil. Untuk Gio. Untuk dirinya.
Namun saat Gio berdiri terlalu cepat dan hampir oleng, Danu reflek menangkap lengannya.
Keputusan itu runtuh seketika.
“Pelan,” ucapnya. “Lu gak harus kuat sendirian.”
Gio menarik lengannya pelan, tatapannya menghindar. Tapi langkahnya tertahan. Danu menghela napas, sadar—ia belum bisa pergi. Belum sekarang.
Sementara itu, ribuan kilometer jauhnya, ketegangan menajam di sebuah ruangan di Jepang.
“Apa lu pikir semua ini aman?” suara Galen dingin, menekan. “Lu terlalu lunak.”lanjutnya.
Athaya berdiri, rahangnya mengeras. “Atau lu yang terlalu berisik.”ucap Athaya penuh amarah
Perdebatan itu memanas cepat. Kata-kata berubah tajam. Tuduhan berbalik arah. Sampai Athaya bergerak lebih dulu—tangannya terangkat, senjata mengarah lurus ke dada Galen. Tidak gemetar. Tidak ragu.
“Cukup,” katanya rendah.
Hening mengiris ruangan.
“Papi ada di sini,” suara Revan masuk lembut, tapi tegas. Ia melangkah ke depan, perlahan, tanpa mengangkat suara. “Turunkan senjatanya, Aya. Dengar papi.”Lanjutnya
Athaya menahan napas. Jari telunjuknya menegang, lalu melemah. Matanya berkilat—bukan marah semata, tapi lelah.
“Galen,” lanjut Revan, menoleh dengan sorot tenang. “Berhenti mendorong. Kita selesaikan tanpa saling melukai.”
Beberapa detik berlalu sebelum Athaya menurunkan senjatanya. Galen membuang napas kasar, menoleh pergi.
Revan mendekat, menyentuh bahu Athaya dengan hati-hati. “Istirahatlah,” ucapnya lembut. “Kamu tidak sendirian.”
Di Jakarta, Lucas menutup bukunya, memandangi malam dari jendela. Di sekolah, Gio menekan mualnya dan memilih diam. Danu menunda menyerah. Di Jepang, senjata diturunkan sebelum terlambat.
Semua bergerak di jalur masing-masing—menunggu satu titik yang akan mempertemukan segalanya.
—bersambung—