Aruna yang sedang menikmati masa kuliahnya yang santai tiba-tiba dipaksa pulang ke rumah untuk sebuah "makan malam darurat". Ia mendapati keluarganya di ambang kehancuran finansial. Ayahnya terjerat hutang pada keluarga Gavriel, sebuah klan penguasa bisnis yang kejam. Aruna "dijual" sebagai jaminan dalam bentuk pernikahan politik dengan Damian Gavriel, pria dingin yang mempesona namun manipulatif
bagaimana cara aruna mengahadapi takdirnya?..... yuk, baca selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Arsila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dansa di Atas Kaca
Pesta dansa tahunan keluarga Gavriel bukan sekadar acara minum sampanye dan pamer perhiasan; bagi Aruna, ini adalah simulasi medan perang yang menggunakan sendok perak sebagai senjatanya.
"Mas Damian, tolong jujur padaku. Apa tidak ada pilihan kostum lain?"
Aruna menatap pantulan dirinya di cermin besar. Ia mengenakan gaun berwarna midnight blue yang elegan dengan belahan tinggi di samping, namun punggungnya terbuka lebar membuatnya merasa seperti kulkas yang lupa ditutup pintunya.
"Aku merasa kalau aku bersin sedikit saja, gaun ini akan meluncur turun ke lantai dan Mas harus membayar denda ketertiban umum."
Damian, yang sedang merapikan jam tangannya di sudut kamar, melirik Aruna. Untuk sesaat, tangannya berhenti bergerak. Matanya menyusuri lekuk tubuh Aruna dengan intensitas yang membuat gadis itu mendadak lupa cara bernapas.
"Kamu terlihat... layak," ujar Damian pendek, berusaha menyembunyikan kekagumannya di balik nada datar yang gagal total.
"Layak? Hanya layak?" Aruna mencibir sambil mencoba memakai anting berliannya yang beratnya minta ampun. "Mbak Hijau kemarin pasti akan bilang aku terlihat seperti gorden hotel yang dipaksa jadi baju. Tapi tidak apa-apa, yang penting aku tidak pakai celemek noda rendang hari ini."
Damian menghampiri Aruna, mengambil anting dari tangannya, dan memasangkannya dengan gerakan yang sangat teliti. Jari-jarinya yang dingin menyentuh leher Aruna, menciptakan sensasi listrik yang membuat Aruna merinding.
"Jangan jauh-jengah dariku malam ini," bisik Damian. "Ayahku, Lukas, akan ada di sana. Dia tidak seperti Marco yang menggunakan otot. Ayahku menggunakan kata-kata untuk menghancurkan jiwa seseorang. Jangan biarkan dia memancingmu."
Aruna menelan ludah. "Kalau dia menghinaku, apa aku boleh membalasnya dengan lelucon?"
"Hanya jika leluconmu cukup tajam untuk membuatnya terdiam," jawab Damian sambil memberikan lengannya agar Aruna bisa menggandengnya.
Aula pesta Gavriel dipenuhi dengan kemilau lampu kristal dan aroma kekuasaan yang menyesakkan. Saat Damian dan Aruna masuk, kebisingan mereda sejenak. Semua mata tertuju pada pasangan itu sang pemangsa berdarah dingin dan gadis "asing" yang berhasil masuk ke dalam sangkar emasnya.
Di ujung ruangan, duduk seorang pria tua dengan rambut putih yang tertata rapi dan tatapan mata yang lebih dingin daripada es kutub. Lukas Gavriel. Di sampingnya, Clara berdiri dengan gaun merah membara, menatap Aruna dengan senyum kemenangan yang aneh.
"Selamat datang, putraku," suara Lukas terdengar berat dan berwibawa. "Dan selamat datang, Nona Maheswari. Atau harus kupanggil... Nyonya Penyelamat Hutang?"
Aruna merasakan cengkeraman Damian di pinggangnya mengeras. Aruna tersenyum manis, senyum yang ia latih di depan cermin selama tiga jam.
"Panggil Aruna saja, Tuan Lukas. Nama 'Penyelamat Hutang' terlalu panjang, nanti Tuan haus kalau harus memanggil saya terus."
Lukas tertawa kecil, suara tawa yang tidak memiliki kehangatan sama sekali. "Humormu persis seperti laporan keuangan ayahmu penuh dengan hal-hal yang tidak masuk akal."
"Setidaknya laporan keuangan Ayah saya jujur, Tuan. Tidak seperti... beberapa orang yang suka menyimpan angka di bawah meja," balas Aruna tenang, membuat Clara tersedak minumannya.
Lukas menyipitkan mata. "Menarik. Damian, bawalah istrimu berdansa. Aku ingin melihat apakah dia seanggun lidahnya."
Damian menarik Aruna ke tengah lantai dansa. Musik klasik yang mendayu mulai memenuhi ruangan. Mereka mulai bergerak dalam irama waltz.
"Mas, aku tidak bisa berdansa! Aku cuma bisa goyang ubur-ubur!" bisik Aruna panik saat Damian menarik pinggangnya lebih dekat.
"Ikuti langkahku. Jangan lihat kakimu, lihat mataku," perintah Damian.
Aruna menuruti. Saat ia menatap mata hitam Damian, dunia di sekitarnya seolah memudar. Ia lupa pada Lukas, lupa pada Clara, dan lupa bahwa pernikahan ini adalah sebuah jerat. Namun, di tengah keindahan itu, Aruna melihat Lukas sedang berbisik pada salah satu pelayan, yang kemudian berjalan menuju arah tas milik Aruna yang ditinggalkan di meja VIP.
"Mas... ada yang aneh," bisik Aruna.
Belum sempat Damian menjawab, tiba-tiba musik berhenti. Seorang pria berseragam polisi masuk ke tengah aula, membuat para tamu berbisik panik.
"Maaf mengganggu, Tuan Lukas," ujar polisi itu. "Kami menerima laporan adanya penyelundupan dokumen rahasia negara dan barang terlarang yang diduga disembunyikan di dalam barang milik salah satu tamu di sini."
Lukas berdiri dengan pura-pura terkejut. "Tentu, silakan periksa. Kami keluarga Gavriel sangat menjunjung tinggi hukum."
Polisi itu berjalan lurus ke arah tas kecil milik Aruna. Di depan ratusan pasang mata, ia membuka tas itu dan mengeluarkan sebuah botol kecil berisi bubuk putih dan satu bundel dokumen berlogo "Rahasia Negara".
"Nona Aruna Maheswari, Anda harus ikut kami ke kantor polisi atas tuduhan spionase industri dan kepemilikan zat terlarang."
Aula itu meledak dalam bisik-bisik yang menghakimi. Clara tersenyum lebar di balik gelasnya. Aruna terpaku, tangannya gemetar.
Ia menatap Damian, mencari perlindungan, namun ia melihat Lukas sedang menatap Damian dengan tatapan yang seolah berkata: 'Inilah yang terjadi jika kamu memilih kerikil daripada berlian.'
"Ini bukan punya saya!" teriak Aruna, suaranya pecah. "Saya bahkan tidak tahu apa itu spionase! Saya pikir itu jenis bumbu dapur!"
"Diam, Nona. Bukti ada di tas Anda," ujar polisi itu sambil meraih tangan Aruna untuk diborgol.
Namun, sebelum borgol itu mengunci, Damian melangkah maju. Ia berdiri di depan Aruna, menutupi tubuh gadis itu dengan punggungnya yang kokoh. Atmosfer di ruangan itu mendadak menjadi sangat berat dan berbahaya.
"Siapa yang memberimu izin untuk menyentuh milikku?" suara Damian sangat rendah, namun sanggup membuat polisi itu mundur selangkah.
"Tapi Tuan Damian, buktinya..."
"Bukti itu bisa diletakkan oleh siapa saja," Damian melirik tajam ke arah Clara yang mendadak pucat. Ia kemudian menoleh pada ayahnya. "Ayah, permainanmu terlalu kasar untuk ukuran pesta yang megah ini."
Lukas berdiri, mendekati Damian. "Aku tidak tahu apa maksudmu, Damian. Aku hanya ingin membersihkan namamu dari pengaruh buruk."
Damian mengeluarkan ponselnya, lalu menekan tombol putar. Sebuah video muncul di layar besar aula, memperlihatkan rekaman CCTV tersembunyi (yang dipasang Damian secara diam-diam pagi tadi) saat Clara memasukkan botol dan dokumen itu ke tas Aruna saat Aruna sedang berbincang dengan Lukas.
Wajah Clara berubah seputih kertas.
"Sepertinya Mbak Hijau kita ini butuh kursus akting lagi," celetuk Aruna, meskipun kakinya masih lemas. "Mas Damian, Mas benar-benar pasang CCTV di mana-mana ya? Mas ini pengusaha atau pemilik kos-kosan?"
Damian tidak menjawab Aruna. Ia menatap ayahnya dengan tatapan perang yang nyata. "Mulai malam ini, Aruna Maheswari adalah tanggung jawab mutlakku. Siapapun yang mencoba menjebaknya lagi, akan berhadapan dengan seluruh kekuatan yang kumiliki termasuk kamu, Ayah."
Damian menarik tangan Aruna keluar dari aula, meninggalkan Lukas yang murka dan Clara yang gemetar ketakutan.