Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Pilihan
Gaun pengantin berwarna cream berkilau, membalut tubuh Celine dengan sempurna seolah setiap kain diciptakan hanya untuknya. Potongan off-shoulder memperlihatkan garis leher yang anggun, detail mutiara kecil menjalar halus di bagian bodice, tidak begitu mencolok namun tegas menunjukkan kelasnya. Tidak ada kemewahan berisik di sana, hanya keanggunan yang lahir dari selera tinggi dan ketenangan seorang perempuan yang tahu siapa dirinya.
“Papa,” panggil Celine pelan.
Golda menatapnya lama, dari ujung rambut hingga ujung gaun seolah ingin mengabadikan momen itu dalam ingatannya. Matanya berkaca-kaca, namun bibirnya tersenyum penuh kebanggaan.
“Wanita tercantik dalam hidup Papa,” ucapnya akhirnya.
Ia melangkah maju dan memeluk Celine erat, pelukan seorang ayah yang jarang menampakkan perasaannya namun selalu hadir tanpa syarat. “Selamat menikah, anakku.”
Celine mengangguk kecil di bahu ayahnya. “Terimakasih, Pa.” Ia menoleh ke pintu, sinar di matanya seketika meredup, “Mama benar-benar tidak bisa datang, ya?”
Golda melepas pelukannya perlahan. Tangannya tetap bertahan di pundak Celine, memberi kekuatan di hari bahagia ini.
“Mama masih sakit,” katanya lembut. “Papa harap kau bisa memakluminya, Sayang. Hari ini adalah hari bahagiamu. Jangan biarkan apa pun merusak atau mematahkan hatimu.”
Celine menatap ayahnya, lalu mengangguk pelan.
Seorang petugas mengetuk pelan pintu ruang persiapan membuat keduanya menoleh. Petugas itu masuk dengan sikap hormat.
“Maaf mengganggu,” katanya. “Saya ingin menginfokan bahwa pendeta sudah siap. Pengantin perempuan dipersilakan menuju tempat pemberkatan.”
Golda mengangguk singkat. Wajahnya tenang, namun sorot matanya menyimpan begitu banyak doa yang tak terucap. Ia menengadahkan tangannya ke arah Celine.
“Kau siap?” tanyanya lembut.
Celine menatap tangan itu sejenak, tangan yang waktu kecil selalu menjadi tempatnya bersandar meski jarang diucapkan dengan kata-kata. Ia mengangguk pelan, lalu meletakkan tangannya di atas tangan ayahnya.
“Ya, Papa.”
Golda menggenggamnya mantap. Bersama mereka melangkah keluar ruangan, menuju altar, menuju satu titik yang akan mengubah hidup Celine selamanya.
Pemberkatan pernikahan Ethan Solomon Montgomery dan Celine Attea dilangsungkan secara privat di taman kediaman utama keluarga Montgomery. Sebidang tanah luas yang dirancang seperti halaman bangsawan Eropa lama. Pilar-pilar batu berwarna gading berdiri di sisi altar terbuka, dililit rangkaian bunga hidup: mawar putih dan bunga lily yang mekar sempurna. Setiap kursi tamu dilapisi kain linen krem lembut dan seikat bunga mawar di belakangnya.
Musik klasik mengalun pelan, gesekan biola berpadu piano mengisi udara pagi yang jernih. Ketika melodi itu berubah, para tamu menoleh serempak.
Golda melangkah perlahan, membawa Celine di lengannya. Celine tampak seperti lukisan hidup. Gaun pengantinnya menjuntai anggun, ekor gaun memanjang menyapu rumput hijau. Wajahnya tenang, namun mata itu menyimpan gelombang perasaan yang hanya bisa dimengerti oleh dirinya sendiri.
Ethan menunggunya di altar. Pria itu berdiri tegap dalam balutan jas senada yang berpotongan pas dibahunya, kemeja putih tanpa cela, dan kupu-kupu senada. Pandangannya menyorot dalam ketika Celine semakin mendekat, sebuah fokus yang mutlak yang ia tampilkan saat momen penting saja.
Sean, Ariana, Serena, dan Florence duduk di barisan terdepan. Rega, Raga dan Sambo duduk di barisan kedua disusul oleh keluarga besar dan teman-teman dekat mereka. Ariana menyeka sudut matanya, Serena menggenggam tangan ayah dan ibunya, sementara Florence duduk anggun seperti seorang bangsawan tua.
Waktu seolah meregang, langkah menuju altar terasa panjang. Hari ini tidak sempurna, ibunya tak hadir di hari bahagianya. Namun hari ini cintanya akan berlabuh. Ethan adalah pria yang ia pilih, satu-satunya pria yang ia perjuangkan.
Golda berhenti di hadapan altar. Dengan tangan bergetar ia meletakkan tangan Celine ke tangan Ethan.
“Aku sudah memberimu peringatan jauh sebelum hari ini. Jangan menyakiti putriku.” ucap Golda pelan, namun sarat makna.
Ethan mengangguk singkat, pandangannya tak lepas dari Celine. Ia melangkah hendak membawa Celine ke altar, namun Celine menahan tangannya. Ethan menoleh, menatapnya penuh tanda tanya.
“Aku mencintaimu lebih dari hidupku,” kata Celine lirih namun tegas. “Tapi jika kau ragu pada pernikahan ini, lepaskan tanganku sekarang, Ethan.”
Ethan menatapnya tajam. “Jangan main-main, Celine.”
“Apa aku terlihat bermain-main?” balas Celine. Suaranya lembut, namun tiap kata berdiri kokoh. “Jika kau menikahiku, maka aku satu-satunya wanita yang menjadi prioritasmu. Tinggalkan semuanya dan fokuslah hanya padaku.”
Keheningan jatuh di antara mereka. Para tamu mulai berbisik, kedua pengantin terlihat berdebat di depan altar. Florence menggenggam sandaran kursinya gelisah.
Ethan menatap mata Celine, mata itu sedang tak menawarkan kompromi, persis saat Amox sedang beroperasi.
“Aku berjanji,” katanya akhirnya.
Napas Celine berhembus lebih dalam, matanya berkaca. Ia menguatkan dirinya sendiri, lalu melangkah mengikuti Ethan menuju altar.
Pendeta membuka kitab di hadapannya. Suaranya tenang, khidmat, membacakan makna pernikahan tentang kesetiaan, pengorbanan, dan komitmen yang tak bergantung pada waktu maupun keadaan.
“Ethan Solomon Montgomery,” ucap sang pendeta, “apakah engkau menerima Celine Attea sebagai istrimu yang sah, untuk kau cintai, hormati, dan lindungi, dalam suka maupun duka, selama hidupmu?”
Ethan menatap Celine, suaranya terdengar tegas tanpa lapisan dingin.
“Aku menerimanya.”
Ia menarik napas, lalu melanjutkan dengan janji yang ia ucapkan sendiri.
“Celine Attea, aku mungkin bukan pria yang pandai menunjukkan perasaan. Hidupku dibentuk oleh tanggung jawab dan kekuasaan. Namun hari ini, di hadapan Tuhan dan semua yang hadir, aku berjanji kau akan menjadi rumahku, pilihanku, dan satu-satunya wanita yang berdiri di sisiku. Aku akan melindungimu, menghormatimu, dan tidak membiarkan siapa pun termasuk diriku sendiri mengabaikanmu.”
Celine memejamkan mata, meresapi janji-janji itu ke dalam jiwanya.
“Celine Attea,” kata pendeta lembut, “apakah engkau menerima Ethan Solomon Montgomery sebagai suamimu yang sah?”
“Aku menerimanya,” jawab Celine tanpa ragu.
Ia menatap Ethan, suaranya bergetar namun penuh keyakinan.
“Ethan, aku telah mencintaimu dengan seluruh jatuh bangunku. Aku tahu mencintaimu berarti berbagi dengan dunia yang keras dan penuh tuntutan. Namun aku berjanji akan berdiri di sisimu sebagai pasangan yang setara. Aku akan mencintaimu, mengingatkanmu, dan memilihmu setiap hari, selama kau juga memilihku.”
Keduanya saling menyematkan cincin sebagai lambang kesetiaan. Dingin ketika menyentuh jari, namun kehangatan janji menyusup ke dada.
“Atas kuasa yang diberikan kepadaku,” ucap pendeta, “aku menyatakan kalian telah sah menjadi pasangan suami dan istri.”
Musik mengalun kembali, lebih penuh dan lebih hidup.
“Ethan Solomon Montgomery, kau boleh mencium istrimu.”
Ethan menangkup wajah Celine dengan tangan yang tak lagi ragu. Ia menunduk, mencium Celine dengan lembut namun pasti, sebuah ciuman tanda pernikahan di hadapan Tuhan juga di hadapan dunia.
Tepuk tangan menggema di antara angin. Mawar-mawar putih bertebaran tertiup angin. Di bawah langit biru, dua takdir akhirnya diikat oleh satu nama yang disebut ‘pernikahan’.
Balas dendam kah?
Siapa Barlex?
Berhubungan dengan ortunya Cantika kah?
Haiisz.. makin penisiriin iihh.. 😅😅🤣🤣
Thanks kk Demar 🤌🏻🤌🏻
next kak 🫰🫰
dari pronolog cerita ini soal celine dan ethan yang mungkin akan disisipin orang ketiga. trus muncul barlex ntah genk apa ini. trus tibatiba udah dirumah cantika dan berhubungan sama barlex 🤔
ini yg clue dari rega kah? tapi mengarah kemandose ini kisah ya. maap agak agak kurang nangkep saya 🫣
inget ke celine yang bucin dari kecil tapi dicuekin,disia²in pokoknya ethan dingin bgt ke celine mentang² tau cinta celine begitu besar jadi bersikap se enaknya,gk perduli alasan apapapun....ethan harus merasakan yg sama.buat celine bener² dingin dan biasa² aja ke ethan thor mau ethan kena masalah jangan libatkan celine ke amox.
semoga celine ketemu cogan yg ngejar² dia biar biar tau rasa ethan....
sakit hatiku melebihi celine wkwkwkwk