NovelToon NovelToon
Retak Yang Tak Kembali

Retak Yang Tak Kembali

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Pelakor jahat / Penyesalan Suami / Antagonis / Selingkuh / Sad ending
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Dgweny

Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.

______________


Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16. Retak Yang Nyata

Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶

Happy reading 🌷🌷🌷

...****************...

Suara sirene ambulans masih menggema di kepala Nayara, bahkan setelah malam itu berlalu. Ia ingat jelas, bagaimana ia berlari di bawah hujan, napasnya tersengal, seolah jantungnya ikut dikejar waktu.

Di rumah sakit, ia menemukan Ardan terbaring lemah di ruang gawat darurat — bukan karena kecelakaan besar, melainkan karena kelelahan dan tekanan darah yang turun drastis.

Ia menunggunya semalaman.

Duduk di kursi besi yang dingin, dengan tangan yang tak berhenti menggenggam ujung selimut.

Namun, saat pagi datang dan Ardan membuka mata, kata pertama yang keluar dari mulutnya bukan ucapan terima kasih — melainkan kalimat yang membuat Nayara kehilangan napasnya.

“Kamu ngapain di sini?”

Nayara menatapnya, matanya masih sembab. “Aku... kamu di rumah sakit, Dan. Mereka hubungi aku.”

Ardan menghela napas berat, menatap ke arah lain. “Aku nggak butuh kamu di sini.”

“Kamu pingsan di kantor. Dokter bilang kamu kelelahan. Aku cuma—”

“Aku bilang aku nggak butuh kamu!”

Suara Ardan meninggi. Ruangan seketika hening, hanya terdengar detak mesin monitor di sisi tempat tidur.

Suster yang baru masuk langsung menatap keduanya dengan bingung, lalu menunduk sopan. “Permisi, nanti saya kembali lagi, ya, Pak Ardan.”

Begitu suster keluar, Nayara menatap suaminya tak percaya. “Kenapa kamu kayak gini?”

Ardan diam lama, lalu menatapnya dengan dingin. “Mira yang jagain aku kemarin.”

Dunia Nayara terasa runtuh lagi untuk kesekian kalinya.

“Mira?” suaranya nyaris bergetar. “Dia—”

“Dia yang nganter aku ke rumah sakit. Dia yang ngurus semua administrasi. Bukan kamu.”

“Karena aku nggak tahu, Dan!” Nayara menahan air matanya. “Kalau aku tahu lebih dulu, aku pasti datang—”

“Kamu datang karena kasihan, bukan karena peduli.”

“Jangan ngomong gitu!” Nayara berseru. “Aku istri kamu!”

Ardan menatapnya dengan wajah yang sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah. “Istri? Aku bahkan udah nggak tahu kamu masih punya arti itu buat aku atau nggak.”

 

Beberapa Jam Setelahnya, Nayara duduk di ruang tunggu. Tangannya menggenggam erat ponsel, tapi matanya kosong.

Alia datang dengan wajah panik. “Kamu nggak apa-apa? Aku langsung ke sini pas baca pesan kamu.”

Nayara hanya menggeleng. “Dia marah, Li. Kayak... semua salah aku.”

“Dia cuma lagi stres,” Alia mencoba menenangkan. “Orang kayak dia, yang nggak pernah tahu gimana rasanya dijaga, pasti akan lupa berterima kasih.”

Nayara tersenyum getir. “Dulu dia tahu, Li. Dulu dia bahkan bilang aku segalanya. Tapi sekarang... kayak aku cuma beban.”

Alia menatap sahabatnya lekat-lekat. “Kamu nggak boleh terus di posisi ini, Nay. Kadang, cinta yang kamu perjuangin justru yang paling menyakitkan.”

Nayara tak menjawab.

Ia tahu Alia benar. Tapi logikanya kalah jauh dibanding perasaannya yang masih menolak menerima kenyataan.

 

Keesokan Harinya, Ardan sudah boleh pulang. Tapi bukannya pulang ke rumah mereka, ia malah memilih apartemen.

“Aku cuma butuh waktu buat mikir,” katanya pendek di depan rumah sakit.

Mira berdiri tak jauh, berbicara dengan suster, pura-pura tak memperhatikan mereka. Tapi Nayara tahu, setiap kata Ardan terucap untuk membuat Mira mendengarnya.

“Waktu buat mikir atau waktu buat dia?” Nayara menatapnya, suaranya parau.

Ardan tidak menjawab. Ia menatap mobilnya, lalu ke arah Mira.

Itu sudah cukup menjadi jawaban.

Sakit itu bukan lagi seperti tusukan — lebih seperti luka terbuka yang disiram garam.

 

Rumah yang biasanya hangat terasa asing.

Nayara duduk di lantai ruang tamu, memandangi koper Ardan yang sudah kosong. Foto-foto mereka berdua di rak kecil tampak seperti benda dari masa lalu yang tak punya arti lagi.

Ibu Nayara datang ke rumah malam itu, setelah mendengar kabar dari Alia.

“Kamu yakin masih mau nunggu dia?” tanya Ibu dengan suara lembut tapi tegas. “Ibu tahu kamu cinta, tapi cinta nggak harus selalu bikin kamu nyakitin diri sendiri.”

Nayara menggeleng pelan. “Aku nggak tahu, Bu. Aku cuma... pengen ngerti dia kenapa.”

“Kadang nggak semua hal bisa kamu pahami. Ada orang yang berubah, bukan karena keadaan, tapi karena dia memilih berubah.”

Nayara menatap ibunya lama. “Aku cuma pengen dia inget lagi, gimana dulu kita mulai. Semua yang udah kita lalui.”

Ibu menggenggam bahunya. “Kalau dia mau inget, Nak, dia nggak akan pergi sejauh ini.”

 

Keesokan pagi nya, nayara akhirnya mem,beranikan diri datang ke apartemen Ardan. Ia membawa makanan kesukaan suaminya, semur daging yang biasa ia buat saat Ardan stres.

Saat sampai di depan pintu, ia sempat ragu. Tapi ia mengetuk juga.

Satu... dua... tiga kali.

Pintu terbuka.

Ardan berdiri di sana, dengan wajah datar. Tapi bukan itu yang membuat Nayara tercekat.

Di belakangnya — Mira, berdiri sambil membawa secangkir kopi.

“Dan...” suara Nayara nyaris tenggelam. “Kamu... sama dia?”

Mira tersenyum kecil. “Oh, aku cuma mampir. Kami baru aja bahas proyek kantor.”

Nayara menatap Ardan, menunggu penjelasan. Tapi suaminya hanya berkata, “Kamu nggak seharusnya datang ke sini.”

“Aku istri kamu, Dan!”

“Dan aku udah nggak tahu itu artinya apa!”

Suara Ardan meninggi.

Mira menatap dengan tatapan puas yang berusaha ia sembunyikan.

“Aku cuma pengen kita bicara baik-baik,” ucap Nayara.

“Baik-baik?” Ardan tertawa sinis. “Selama ini kamu pikir kita masih bisa ‘baik-baik’? Kamu yang bikin aku nggak bisa nafas, Nay. Kamu yang bikin aku capek!”

Nayara terpaku. “Aku? Aku yang temenin kamu dari nol. Aku yang kerja dua shift waktu kamu nganggur! Aku—”

“Dan aku nggak pernah minta semua itu!”

Suara Ardan membentak keras.

Mira tersentak sedikit, tapi tetap diam.

“Semua yang kamu lakuin cuma bikin aku ngerasa terikat. Aku pengen bebas, Nay! Aku pengen hidup aku balik ke arah yang aku pilih sendiri, bukan yang kamu bentuk buat aku!”

Kata-kata itu seperti pisau.

Nayara menunduk, menahan air mata yang sudah nyaris tumpah.

“Kalau gitu... kenapa kamu nikahin aku dulu, Dan?”

“Karena waktu itu aku butuh kamu. Sekarang nggak.”

Sunyi.

Mira berpura-pura mengalihkan pandangan, tapi senyumnya samar terlihat di ujung bibir.

Nayara akhirnya hanya bisa berbisik, “Aku ngerti sekarang.”

Ia melangkah mundur, tapi Ardan malah menatapnya tajam. “Kamu jangan datang lagi ke sini. Aku butuh ruang. Kalau kamu masih maksa, aku anggap kamu nggak ngerti diri.”

“Dan, tolong... jangan begini—”

“Keluar, Nayara.”

Suara Ardan berat dan dingin.

Dan kali ini, Nayara tahu — tak ada yang bisa ia lakukan lagi.

 

Rumor mulai menyebar.

Tetangga mulai berbisik-bisik. Beberapa teman lama Ardan yang dulu kagum dengan pernikahan mereka kini mulai bicara di belakang.

“Katanya Ardan udah sama cewek barunya,” ujar salah satu tetangga kepada ibu Nayara di pasar.

“Cewek lama, malah,” jawab yang lain.

“Cinta pertama katanya. Ya ampun, kasihan banget si Nayara itu.”

Berita itu sampai juga di telinga Nayara. Tapi kali ini ia tidak menangis.

Ia hanya diam.

Seperti seseorang yang sudah kehilangan kemampuan untuk merasa sakit.

Sore itu, ia pergi ke taman kecil di ujung jalan. Tempat di mana dulu ia dan Ardan suka duduk sambil makan es krim murah.

Kali ini ia duduk sendirian.

Tangan kirinya menggenggam sebuah foto lama — foto mereka di kontrakan pertama, dengan senyum yang masih penuh harapan.

Dari kejauhan, suara anak kecil tertawa. Seorang ayah memegang tangan anaknya, mengajaknya bermain di ayunan.

Dan di sanalah Nayara sadar...

Ia dan Ardan tidak lagi berada di dunia yang sama.

Ardan telah meninggalkannya, bukan cuma secara fisik, tapi juga secara jiwa.

 

Malam itu Ardan pulang ke rumah — untuk pertama kalinya setelah hampir seminggu.

Ia datang tanpa kabar, tanpa alasan.

Hanya dengan wajah lelah dan suara rendah.

Nayara yang sedang mencuci piring langsung menoleh.

“Dan?”

“Ambil barangku yang masih di lemari,” katanya datar. “Aku mau pindah permanen ke apartemen.”

Nayara menatapnya tak percaya. “Kamu... serius?”

Ardan menatapnya lama. “Aku udah capek, Nay. Aku nggak mau pura-pura lagi.”

“Apa semuanya cuma pura-pura buat kamu?”

“Kalau terus kayak gini, iya.”

“Terus aku harus apa? Diam aja?”

“Ya. Diam, pergi, terserah kamu.”

Nayara menahan napas. “Dan, kita bisa selesain ini baik-baik—”

“Aku nggak mau selesain apa pun, Nay! Aku mau selesai dari kamu!”

Suara Ardan menggema di seluruh rumah.

Piring yang di tangan Nayara jatuh, pecah di lantai. Ia menatap suaminya, tubuhnya gemetar.

“Keluar dari rumah ini kalau kamu nggak mau aku yang keluar,” kata Ardan dengan suara serak penuh amarah. “Aku nggak mau lihat kamu lagi.”

Nayara sampai tersentak mendengar ucapan Ardan.  “Ardan!” serunya terisak. “Kamu sadar nggak kamu ngomong apa ke aku? Kamu ngusir aku?.”

Ardan tak menatap. “Maaf, Nay. Tapi ini rumah aku.”

“Rumah ini dibeli pakai uang aku juga, Dan!”  Nayara membalas dengan nada bergetar. “Aku yang kerja siang malam waktu kamu nggak punya apa-apa!”

Ardan menunduk sebentar, tapi tak lama. Ia berkata dingin, “Aku nggak mau debat, Nay. Aku cuma mau kamu pergi.”

“Dan—”

“Cukup, Nay! Pergi.”

Dan akhirnya Nayara pergi malam itu.

Dengan koper kecil, mata sembab, dan tangan yang gemetar.

 

Bersambung...

1
Sanda Rindani
kok jd istri tolol,
Dgweny: wkwk aku juga Gedeg Ama nayara ka🤣
total 1 replies
Nindi
Namanya Mira Lestari atau Mira Adelia, thor?
Dgweny: Adeliaa wkwk typo aku ka hehe
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!