Ini adalah kisah tentang seorang ibu yang terabaikan oleh anak - anak nya di usia senja hingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidup nya.
" Jika anak - anak ku saja tidak menginginkan aku, untuk apa aku hidup ya Allah." Isak Fatma di dalam sujud nya.
Hingga kebahagiaan itu dia dapat kan dari seorang gadis yang menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Wardani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyentuh Hati
*****
Zeyden berjalan di lorong rumah sakit saat dia melihat mama nya keluar dari ruang ICU.
" Mama..." Panggil Zeyden.
" Zey. Ngapain? Tumben ke sini?" Tanya Shafa heran.
Selama ini Zeyden paling malas jika harus ke rumah sakit. Paling kalau sakit, dia hanya akan beristirahat di rumah dan di rawat oleh sang mama.
Di tambah lagi dia sangat malas jika Shafa meminta nya untuk menjemput nya. Zeyden akan menyuruh mama nya keluar dan menunggu di parkiran.
" Tapi papa suruh Zey jemput mama. Mama di telponin malah nggak angkat. Makanya Zey susulin." Jawab Zeyden.
" Baik banget anak mama. Jemput mama nya..." Goda Shafa menyentuh pipi kanan Zeyden.
" Harus nya papa yang jemput mama. Padahal tadi papa sudah pulang duluan dari kantor, kata nya mau jemput mama. Tapi sekarang malah Zey yang di suruh jemput mama." Dumel Zeyden.
Shafa terkekeh mendengar keluhan putra semata wayang nya itu.
" Iya, maaf. Mama lagi ada pasien yang masuk ICU makanya tadi hp mama silent." Ucap Shafa terkekeh kecil, merasa bersalah pada putra nya itu.
" Jadi pulang sekarang kan? Zey tunggu di mobil ya."
Zeyden hendak melangkah meninggalkan sang mama.
" Zey, Zey." Panggil Shafa mencekal lengan putra nya.
" Kayak nya mama belum bisa pulang deh, Nak. Mama masih ada pasien yang nggak bisa mama tinggal. Dia masih kritis. Masih butuh pengawasan ekstra."
" Tapi kan ada suster, ma. Masak harus mama yang jagain dia. Keluarga nya ada kan?" Keluh Zeyden.
" Pasien yang satu ini beda, Zey. Nggak tahu kenapa, hati kecil mama mengatakan kalau mama harus mendampingi dia sampai dia sembuh. Mama sendiri di Jakarta. Dia tidak punya siapa pun di sini." Jawab Shafa dengan raut wajah sedih.
" Yang mana sih orang nya?" Tanya Zeyden.
Rasa penasaran nya memaksa Zeyden mendekati kaca ICU. Dia mendekatkan wajah nya ke kaca agar bisa melihat pasien yang di maksud oleh mama nya itu.
Tapi sayang, pasien di dalam bukan hanya Kanaya. Masih ada beberapa pasien yang tidak bisa di kenali Zeyden. Termasuk Kanaya yang wajah nya terhalang kain pelindung.
" Jadi nggak jadi pulang nih?" Tanya Zeyden memastikan lagi.
" Kalau kamu mau tunggu sebentar lagi. Mama mau lihat hasil pemeriksaan nya saja. Belum keluar dari lab. Mama perlu tahu perkembangan kanker nya seberapa jauh." Jawab Shafa.
" Tapi Zey nggak betah di rumah sakit, ma. Bau obat ini loh... Bikin Zey meriang, ma."
" Sebentar saja, sayang. Kasihan dong sama pasien mama. Tadi itu dia pingsan di ruangan mama loh. Dia tadi sempat mimisan. Mama pikir, sel kanker nya mungkin sudah menyerang organ tubuh yang lain." Kata Shafa berharap Zeyden mau memahami situasi nya sekarang.
*
*
*
Hari dimana Kanaya di nyatakan mengidap kanker payudara stadium awal.
" Saya tidak punya siapa - siapa di dunia ini, dok. Bahkan saya tidak tahu dimana orang tua saya. Bagaimana saya bisa tahu kalau penyakit ini merupakan penyakit keturunan dari keluarga saya."
" Maaf kan saya, Naya. Saya tidak bermaksud mengungkit masa lalu kamu." Ucap dokter Shafa merasa bersalah.
" Tidak apa - apa, dok. Memang itu kenyataan nya."
Kanaya tersenyum kecut menertwai diri nya sekarang yang terasa teramat malang.
" Berapa lama saya bertahan dengan penyakit ini, dokter? Saya akan meninggal dan meninggalkan orang - orang yang bersama saya sekarang kan, dokter?" Tanya Kanaya.
" Tidak, Naya. Sel kanker di tubuh kamu masih stadium awal. Masih bisa untuk di sembuhkan. Kita bisa melakukan kemoterapi, radioterapy, terapi target dan terapi hormon. Ke empat macam terapi itu memiliki fungsi dan cara kerja nya masing - masing. Kita bisa lakukan satu persatu sampai kamu sembuh dari kanker ini." Jelas dokter Shafa memberikan satu harapan untuk Kanaya agar bisa tegar dan berjuang bersama nya.
Kanaya memaksakan senyum pahit. Dalam hatinya, dia meragukan kata-kata Dokter Shafa yang seakan hanya memberikan sedikit asa. Seolah-olah hanya setitik cahaya di tengah kegelapan mencekam.
" Saya tidak akan mati karena penyakit ini? Dokter mau bilang begitu kan?" Ujar nya pelan, mencoba meyakinkan diri sendiri dengan getir.
" Semua nya perlu proses dan semangat kamu, Naya. Kamu harus yakin jika kamu pasti bisa sembuh. Kamu punya Tuhan kan? Kenapa kamu meragukan nya sekarang? Kamu belum mencoba nya, Naya. Allah akan marah jika kamu menyerah tanpa berjuang." Ucap Dokter Shafa lagi.
Kali ini ucapan dokter Shafa terasa seperti pisau tajam yang menusuk tepat ke hati nya.
Dimana pikiran nya sekarang? Dia yang selalu bersujud meminta semua nya pada Allah, dan hari ini dia dengan gampang nya menyerah tanpa meminta pertolongan.
" Kamu belum mengadukan hal ini kepada Allah, Naya. Pergilah... Katakan pada nya apa yang kamu rasa kan. Serahkan apa yang ingin kamu serahkan agar dia mau membantu kamu melewati ujian ini. Allah maha tahu. Dia tidak mungkin memberikan ujian di luar batas kemampuan kamu, Naya. Dia tahu, kamu adalah hamba nya yang kuat. Hamba nya yang ikhlas." Ucap dokter Shafa lagi.
" Tapi saya tidak mau mati karena tenaga saya habis akibat kemoterapi, dokter. Saya takut... Takut kalau... Takut kalau saya tidak kuat melakukan nya." Rintih Kanaya dengan tangisan yang tak berkurang.
" Kamu belum mencoba nya. Saya janji, akan mendampingi kamu sampai kamu sembuh. Yang penting kamu harus percaya dengan saya, dan yakin kalau keajaiban itu ada." Jawab dokter Shafa.
*
*
*
Fatma berjalan mondar-mandir di dalam kamar kost, tangannya menggenggam erat ponsel yang diberikan Kanaya untuk nya.
Dia sudah berulang kali mencoba menghubungi Kanaya namun tetap tidak ada jawaban. Padahal jam sudah menunjukkan jauh dari jam biasa Kanaya pulang setelah dari kantor.
" Dimana kamu, Nak? Kenapa belum pulang? Di telpon juga tidak angkat? Dimana kamu, Naya?" Gumam Fatma penuh kekhawatiran.
Sebab dia tahu selama ini Kanaya akan menghubungi nya jika dia pulang terlambat karena lembur arau pergi bermain dengan Bella.
Sementara itu, ponsel Kanaya sebenarnya tergeletak di dalam tas yang telah disimpan oleh dokter Shafa di dalam lemari meja kerjanya.Di ruangan lain, Zeyden mulai merasa terganggu oleh suara ponsel yang terus berdering tanpa henti.
" Bising banget sih. Nggak capek apa bunyi terus?" Desah Zeyden kesal.
Rasa kesalnya memuncak, dia pun mulai mencari sumber suara yang mengganggu ketenangannya itu.
" Ini nih... Yang ganggu aja dari tadi. Tas siapa nih? Bukan tas mama kan?" Gumam Zeyden pelan.
Akhirnya, dia menemukan tas milik Kanaya dan segera mengeluarkan ponsel yang menjadi biang keladi keributan.Namun, sebelum Zeyden sempat melakukan apa-apa, sang mama tiba-tiba masuk ke ruangan.
" Mau kamu apa kan hp nya, Zey?" Tanya Shafa mengagetkan Zeyden.
" Dari tadi bunyi terus, ma. Bukan punya mama kan?" Jawab Zeyden mendengus.
" Itu punya pasien mama yang di ICU. Mungkin ada yang mencari nya."
Shafa langsung mengambil ponsel itu dari tangan Zeyden. Dan membaca siapa nama yang mencoba menghubungi Kanaya. Ada tulisan BUNDA di sana yang membuat dokter Shafa mengertut kan kening nya karena heran.