NovelToon NovelToon
Retak Yang Tak Kembali

Retak Yang Tak Kembali

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Pelakor jahat / Penyesalan Suami / Antagonis / Selingkuh / Sad ending
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Dgweny

Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.

______________


Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17. Jatuh Tanpa Pegangan

Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶

Happy reading 🌷🌷🌷

...****************...

Hujan mereda menjelang dini hari, menyisakan bau tanah basah yang menguap seperti napas kelelahan dari bumi. Jalanan masih licin. Lampu-lampu toko sudah padam. Mobil-mobil jarang lewat. Di tengah kesunyian itu, Nayara berjalan tanpa arah, jaket tipisnya sudah lembap, rambutnya berantakan tertempel di pipi.

Tas kecil yang ia bawa terasa begitu ringan—atau mungkin jiwanya yang terlalu berat.

Ia tak tahu harus ke mana.

Ia hanya tahu satu hal: Rumah itu bukan lagi rumahnya. Ardan bukan lagi tempat pulangnya.

Langkahnya terhenti di halte kecil di depan minimarket yang sudah tutup. Kursi logamnya dingin, tapi itu jauh lebih ramah daripada tatapan Ardan malam tadi.

Napasnya tercekat lagi.

“Kenapa aku… sampai di titik ini?” bisiknya pada dirinya sendiri, suara serak bercampur tangis kecil yang tak mau ia lepaskan.

 

Tak jauh dari sana, seorang pria keluar dari warung kopi 24 jam yang masih buka. Pria itu — Pak Bram, pemilik warkop yang sering Nayara kunjungi saat masih kuliah dan lembur — memicingkan mata memperhatikan sosok yang duduk memeluk lutut di halte.

“Nayara?” ucapnya ragu.

Nayara mendongak pelan. “P—Pak Bram?”

“Ya Allah, kamu… kenapa basah begini? Astaga. Ayo masuk dulu. Jangan duduk di sini. Masuk dulu ke dalam. Ada teh hangat.”

Nayara menggeleng. Bibirnya bergetar. “Saya… saya nggak apa-apa, Pak.”

“Nggak apa-apa apanya? Kamu gemetar begitu.”

Pak Bram mengulurkan tangannya tanpa memaksa. Gestur ramah yang hangat. Bukan tatapan merendahkan. Bukan tatapan menuduh seperti mata Ardan malam itu.

Hanya… manusiawi.

Nayara akhirnya bangkit perlahan, mengikuti langkah Pak Bram masuk ke warkop mungil yang bau kopinya selalu membawa kenangan sederhana masa lalunya.

Di dalam, hanya ada dua orang pelanggan: sopir ojek online yang sedang charging ponsel, dan seorang ibu penjaga toko yang sedang menunggu jemputan.

Pak Bram cepat-cepat mengambilkan handuk kecil dan secangkir teh panas.

“Minum dulu, Nak.”

Nayara memeluk gelas itu erat-erat, bukan untuk minum, tapi untuk merasa… masih ada sesuatu yang hangat di hidupnya.

“Kalau boleh tahu… kamu kenapa? Ada masalah sama Ardan?” tanya Pak Bram hati-hati.

Air mata yang tadinya ia tahan, jatuh begitu saja.

“Dia… mengusir saya, Pak.”

Keheningan menyelimuti ruangan kecil itu.

Pak Bram menarik kursi, duduk di seberang Nayara. “Tanpa alasan?”

Nayara menggeleng pelan. “Ada alasannya. Tapi… bukan salah saya, pa.”

Pak Bram mendesah panjang. “Kamu dari dulu anaknya baik. Nggak suka drama. Kalau sampai kamu begini… pasti berat sekali.”

Nayara menggigit bibir, menahan getir.

“Pak… kalau saya cuma… berjalan tanpa tujuan, itu salah nggak?” tanyanya lirih.

“Tidak,” jawab Pak Bram mantap. “Kadang, pergi itu satu-satunya cara supaya kamu tidak semakin hancur.”

 

Teh panasnya hampir habis ketika ponselnya bergetar.

Ardan.

Nama itu muncul begitu saja di layar, menusuk matanya lebih dari yang ia kira.

Satu detik. Dua detik. Lima detik.

Nayara terus menatap layar, tapi tidak menyentuhnya.

Pak Bram menoleh. “Kenapa nggak diangkat?”

Nayara hanya tersenyum tipis, pahit. “Saya takut, Pak.”

Ia takut mendengar Ardan meneriakinya.

Ia takut mendengar Ardan menyuruhnya pulang bukan karena peduli, tapi karena marah dia pergi.

Ia takut… mendengar nada dingin yang sudah berminggu-minggu menusuk hatinya.

“Nggak apa-apa kalau kamu belum siap,” ujar Pak Bram lembut. “Mau tetap di sini sampai pagi juga boleh.”

Namun setelah lima menit, ponsel Nayara berhenti bergetar.

Layar kembali gelap.

Dan Nayara menyadari:

Ardan menyerah terlalu cepat.

Dulu, kalau ia tak mengangkat telepon, Ardan bisa menelepon lima kali. Sepuluh kali. Mengirim pesan panjang. Bahkan menyusul.

Sekarang? Satu panggilan.

Hanya satu.

Seolah dirinya bukan prioritas lagi.

Atau mungkin, sudah bukan apa-apa lagi.

 

Setelah memesan kamar hotel murah lewat aplikasi, Nayara pamit pada Pak Bram.

“Kamu yakin nggak mau saya antar?” tanya Pak Bram khawatir.

Nayara mengangguk. “Nggak apa-apa, Pak. Lokasinya dekat.”

“Ayo saya bayar hotelnya sekalian—”

“Tidak, Pak.” Nayara memotong cepat. “Saya masih punya uang.”

Ia menunduk hormat. “Terima kasih ya, Pak. Sudah nolong saya malam ini.”

Pak Bram menepuk bahunya pelan. “Kalau butuh tempat untuk cerita, kamu tahu warkop ini buka terus.”

Nayara tersenyum samar sebelum berbalik pergi.

 

Hotel kecil itu berada satu blok dari warkop. Resepsionis malam, seorang pria muda bermata panda bernama Niko, menyambutnya.

“Malam, Mbak. Pesan kamar atas nama… Nayara Prasetyo?”

“Iya,” jawabnya pelan.

Niko menyerahkan kartu akses. “Kamar 204. Kalau butuh air hangat atau selimut tambahan, tinggal hubungi front desk.”

“T—terima kasih.”

Saat Nayara hendak berbalik, Niko tiba-tiba menahan. “Mbak… nggak apa-apa? Kelihatannya habis hujan-hujanan.”

Nayara menelan ludah. “Saya gapapa. Cuma kena hujan sedikit.”

Niko tersenyum lalu berucap. “Oke mbak, kalau begitu selamat malam.”

“Selamat malam juga.”

 

Kamar hotel itu kecil, tapi bersih. Lampunya kuning redup, cukup menenangkan untuk hati yang porak-poranda.

Nayara meletakkan tasnya di kursi, lalu duduk di tepi ranjang. Ranjang itu tidak sebesar ranjang rumahnya bersama Ardan, tapi cukup untuk membuatnya merasa… aman. Jauh dari teriakan. Jauh dari tuduhan. Jauh dari tatapan dingin.

Ia membuka ponselnya.

Satu pesan masuk dari Ardan.

Hanya satu.

“Kamu ke mana?”

Tidak ada "sayang".

Tidak ada "kamu baik-baik saja?".

Tidak ada "aku khawatir".

Hanya tiga kata.

Tiga kata yang dingin.

Satu pesan lagi masuk beberapa menit kemudian.

“Besok kita bicarakan lagi.”

Nayara tersenyum miris.

Ardan bahkan tidak meminta maaf sudah mengusirnya dari rumah.

Ia mematikan layar ponsel pelan-pelan, seperti mematikan harapannya sendiri.

 

Pukul 03.00.

Nayara belum bisa tidur. Ia memandang langit-langit kamar sambil memeluk bantal, memikirkan bagaimana hidupnya bisa berubah secepat ini.

Mata mulai terasa berat ketika ponselnya bergetar pelan.

Bukan telepon.

Bukan pesan.

Notifikasi transfer bank.

Ardan mengirim uang dalam jumlah yang cukup besar.

Tanpa keterangan.

Tanpa pesan menyusul.

Seolah… uang bisa menggantikan perlakuannya.

Atau… seolah itu semacam “uang ganti rugi” karena telah mengusirnya.

Nayara memejamkan mata.

Air matanya jatuh tanpa suara.

“Apakah… ini bukti kalau hatinya sudah bukan milikku lagi?” bisiknya.

Ia menggenggam selimut erat-erat, seakan itu satu-satunya hal yang bisa menahannya dari jatuh lebih dalam lagi.

Karena untuk pertama kalinya sejak menikah…

Nayara tidur sendirian.

Bukan karena jarak fisik.

Tapi karena ditinggalkan.

Dan di tengah kesunyian kamar hotel itu, Nayara baru menyadari satu hal:

Malam ini bukan sekadar retak.

Ini tahap awal dari kehancuran.

Kehancuran yang belum ia tahu akan membawanya ke mana.

 

Saat ia akhirnya memejamkan mata—lelah, patah, dan kosong—suara notifikasi terakhir muncul di ponselnya.

Satu pesan baru.

Dari nomor tak dikenal.

Pesan itu hanya berisi tiga kata:

“Dia akan hancur.”

Nayara terbelalak.

Darahnya tersentak.

Tidak… itu bukan pesan ancaman.

Itu… tanda dimulainya sesuatu.

Sesuatu yang Nayara belum tahu.

Sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar retaknya pernikahan.

 

Bersambung....

1
Sanda Rindani
kok jd istri tolol,
Dgweny: wkwk aku juga Gedeg Ama nayara ka🤣
total 1 replies
Nindi
Namanya Mira Lestari atau Mira Adelia, thor?
Dgweny: Adeliaa wkwk typo aku ka hehe
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!