Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 — Persahabatan yang Hilang
Langit di atas Sekte Langit Tenang tak lagi biru. Sejak hari itu, awan kelabu menggantung tanpa jeda, meneteskan hujan halus yang nyaris tak pernah berhenti. Udara mengandung bau tanah lembap dan dupa yang gagal menyala sempurna.
Shen Wuyan berjalan perlahan di antara paviliun-paviliun batu. Setiap langkahnya terdengar jelas di lantai basah — suara kecil yang tenggelam di antara hembusan angin dingin. Di kejauhan, beberapa murid berhenti berbicara begitu ia lewat. Tatapan mereka tidak penuh kebencian, tapi ada sesuatu yang lebih menyakitkan: ketakutan yang diam.
Ia menunduk. Pandangannya jatuh ke genangan air di tanah — di sana bayangannya tampak agak terlambat mengikuti gerak tubuhnya. Ia berpaling cepat, mencoba menepis pikiran itu, namun dada tetap terasa sesak.
“Kau terlalu sadar akan keheningan, Wuyan,”
suara samar itu bergema dalam pikirannya, seperti gema dari gua kosong.
Ia tidak menjawab. Suara itu sudah menjadi bagian dari kesehariannya — hadir di antara desah napas, muncul di sela ketukan hujan.
Hari-hari setelah pertempuran dengan monster terasa panjang dan kabur. Sekte sibuk memulihkan area latihan yang hancur, tapi tak ada satu pun yang meminta bantuannya. Elder Ming Zhao pun tak lagi memanggilnya untuk latihan khusus. Hanya beberapa kali, dari kejauhan, Wuyan melihat sosok sang guru berdiri di pelataran meditasi, diam seperti batu, menatap langit mendung yang sama.
Kini, hanya suara hujan yang menemaninya.
Ia berhenti di paviliun utara — tempat di mana dulu ia dan Liang Yu biasa berlatih gerakan dasar bersama. Di sana, di bawah atap bambu, terdapat kursi batu yang masih memiliki bekas goresan pedang. Liang Yu pernah tertawa saat melukai permukaan batu itu karena lengannya kaku. Sekarang goresan itu tampak seperti luka lama yang tak akan pernah hilang.
Wuyan duduk perlahan. Di depannya, kolam memantulkan langit abu-abu. Airnya nyaris tak bergelombang, namun di permukaannya ia melihat sesuatu yang aneh: bayangannya tersenyum.
“Tidak perlu berpura-pura kuat,” bisik suara itu, berasal dari refleksi dirinya sendiri.
Wuyan menatap lekat. “Aku tidak berpura-pura.”
Bayangan di air seolah tertawa pelan. “Benarkah? Lihat mereka. Lihat sektemu. Mereka bukan takut pada monster yang kau kalahkan. Mereka takut pada dirimu.”
Wuyan menggenggam lututnya, menatap air yang mulai beriak kecil oleh tetesan hujan.
“Aku hanya ingin melindungi mereka,” katanya perlahan. “Aku tidak bermaksud—”
“Tidak bermaksud membunuh? Tidak bermaksud menjadi sesuatu yang berbeda? Tidak bermaksud menakutkan?”
Nada suara itu lembut, tapi setiap kata seperti pisau dingin. “Tapi niat baik tidak mengubah hasil, Shen Wuyan. Kau masih menumpahkan darah. Kau masih merasakan kepuasan saat itu terjadi.”
Ia menggeleng keras. “Diam.”
Bayangan tak berhenti. “Kau menikmatinya, bukan? Saat kekuatan itu mengalir, saat dunia tunduk hanya pada kehendakmu.”
“Diam!”
Suara itu lenyap. Namun keheningan setelahnya jauh lebih mencekik.
Wuyan menutup mata, mencoba mengatur napas. Dalam pikirannya, wajah Liang Yu muncul lagi — samar, seolah terbentuk dari kabut. Senyum itu lembut, tapi matanya kosong.
“Kau tidak bisa melindungi siapa pun kalau bahkan tidak mengenal siapa dirimu,” kata Liang Yu di dalam ingatannya.
Hujan makin deras. Ia tetap duduk, membiarkan dingin merembes sampai ke tulang. Dalam diam, ia merasakan sesuatu berubah: dunia luar semakin jauh, sementara dunia dalamnya semakin hidup. Bayangan, suara, ingatan — semuanya berputar di satu ruang sempit yang hanya ia tempati seorang diri.
***
Malamnya, Wuyan kembali ke kamarnya yang redup. Lilin hampir habis, nyalanya bergetar kecil. Dinding batu tampak basah oleh lembap udara. Ia duduk di depan meja meditasi, menulis sesuatu di atas batu halus yang biasa digunakan untuk melatih fokus pikiran. Tulisan itu sederhana:
“Siapa aku?”
Ia menatap kalimat itu lama. Lalu menulis lagi di bawahnya:
“Apakah aku pantas tetap menjadi murid Sekte Langit Tenang?”
Ujung jarinya bergetar. Batu meditasi terasa berat, seolah menolak setiap huruf yang ia goreskan. Ia mencoba melanjutkan — ingin menjelaskan, ingin mencari arti — tapi pikirannya tak lagi bisa menuntun kata. Setiap kali ia menulis satu kalimat, sesuatu di dalam dirinya berubah.
“Aku ingin menjadi kuat.”
“Aku tidak ingin sendirian.”
“Aku ingin memahami…”
“…tapi siapa yang sebenarnya bicara?”
Wuyan berhenti. Napasnya memburu. Di permukaan batu itu, ia melihat pantulan samar — bukan dirinya yang sekarang, tapi seseorang dengan tatapan lebih dalam, lebih tajam, dan senyum yang nyaris manusiawi.
“Aku yang menulis kalimat terakhir,” katanya, lirih.
Bayangan itu duduk di sisi seberang meja, cahaya lilin menyoroti wajahnya yang persis sama, hanya matanya yang berkilau lebih gelap.
“Kenapa kau muncul lagi?” tanya Wuyan tanpa menatap.
“Karena kau memanggilku.”
“Aku tidak—”
“Kau berpikir tentang kesepian. Dan aku datang setiap kali kau merasa sendirian.”
Wuyan menelan ludah. Suara itu tidak keras, tapi menggema di ruang kecil itu seperti doa terbalik.
“Pergilah,” katanya. “Aku tidak butuh teman seperti kau.”
Bayangan itu tersenyum samar. “Tapi aku satu-satunya yang masih di sini.”
Bayangan itu tetap duduk di hadapannya, tenang, seolah waktu di ruangan itu berhenti. Shen Wuyan menatapnya lama, mencoba membedakan mana dirinya dan mana pantulan. Namun semakin ia memandang, semakin kabur batas itu. Cahaya lilin memantul di mata bayangan itu, menciptakan ilusi seperti bara kecil yang hidup.
“Aku tidak ingin bicara lagi,” kata Wuyan akhirnya.
“Kau tidak perlu,” jawab bayangan itu pelan. “Aku sudah tahu apa yang ingin kau katakan. Kau ingin mereka kembali. Kau ingin Liang Yu hidup lagi. Tapi yang lebih dalam dari semua itu… kau ingin seseorang memahami bahwa kau tidak bersalah.”
Wuyan menahan napas. Kata-kata itu seperti menyentuh sesuatu yang rapuh di dadanya.
“Aku tidak ingin pengampunan.”
“Tidak. Kau ingin pengakuan. Bahwa semua yang kau lakukan punya makna.”
Ia menunduk. Lilin mulai meredup. Api kecil itu menari tak beraturan, membuat bayangan di dinding tampak hidup. “Kau hanya pantulan,” katanya lirih. “Kau tak punya hak bicara seolah kau mengerti aku.”
“Tentu aku mengerti. Aku lahir dari setiap retakan dalam dirimu. Aku adalah bagian yang tak bisa mereka cintai, Wuyan. Dan sekarang, aku satu-satunya yang masih di sini untukmu.”
Kata-kata itu menggema lama di ruangan itu. Udara jadi dingin. Wuyan menutup mata, berharap semua ini hanya gangguan pikiran akibat meditasi berlebihan. Tapi ketika ia membuka mata lagi, bayangan itu sudah berdiri di belakangnya, bukan di dalam pantulan.
Ia berbalik cepat, tapi tak ada siapa pun. Hanya dinding batu dan nyala lilin yang hampir mati.
“Cukup,” katanya pada udara kosong. “Aku hanya lelah. Itu saja.”
Namun dalam keheningan itu, seolah-olah udara sendiri berbisik.
“Kau mulai kehilangan batas antara kita.”
Wuyan menggenggam kepalanya, menekan pelipis kuat-kuat. Dunia seperti bergetar halus. Ia merasa sedang duduk di tepi jurang, dan di bawah sana hanya ada lautan tanpa dasar — bukan air, tapi suara.
Ia menutup mata, mencoba tidur, tapi pikirannya menolak diam. Dalam hitungan napas, dunia berubah. Ia tak lagi berada di kamarnya.
Kini ia berjalan di koridor panjang yang remang. Dindingnya terbuat dari batu hitam, lembap, dan dingin. Di sisi kanan dan kiri, tergantung wajah-wajah murid sekte, terukir di dinding seperti patung. Tapi mata mereka kosong, tanpa cahaya, hanya senyum yang kaku.
Langkahnya bergema pelan. Setiap kali ia melewati satu wajah, ia merasa seperti dilihat — bukan oleh mata, tapi oleh ingatan yang tak ingin mati.
Di ujung koridor, seseorang berdiri.
Liang Yu.
Sosoknya tampak muda seperti dulu, mengenakan jubah latihan yang sama, tersenyum lembut. Wuyan berhenti beberapa langkah di depannya.
“Liang Yu…” suaranya hampir tak terdengar.
Tapi Liang Yu tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangan, seolah mengajak mendekat. Ketika Wuyan melangkah maju, suara seperti desis ular terdengar — pelan, tapi menembus ke kepala.
“Semua orang pergi. Tapi aku tidak. Aku tinggal di sini.”
Suara itu bukan milik Liang Yu. Itu suara yang sama yang berbicara dari bayangannya. Liang Yu di depannya berubah perlahan — kulitnya retak, matanya menjadi hitam kosong, senyumnya memanjang menjadi garis dingin.
Wuyan terhuyung mundur. “Tidak... ini bukan nyata.”
“Nyata tidak penting,” bisik suara itu. “Yang penting adalah siapa yang masih bersamamu.”
Dinding mulai bergemeretak. Wajah-wajah di sepanjang koridor retak satu per satu, mengeluarkan cahaya samar. Dari setiap retakan, muncul bisikan—campuran suara tangis dan tawa.
Ia menutup telinga, tapi suara itu tetap ada di dalam kepalanya.
“Kau yang menyalakan semuanya,” kata bayangan itu dari segala arah. “Kau yang membuka pintu.”
Tiba-tiba, koridor itu pecah seperti kaca. Cahaya menelan semuanya.
Ketika Wuyan membuka mata lagi, ia sudah kembali di kamarnya. Napasnya tersengal, peluh dingin membasahi pelipis. Lilin di meja telah padam. Hanya sinar abu bulan menembus celah jendela, cukup untuk menampakkan siluet seseorang di sisi ranjangnya.
Bayangan itu duduk diam, menatapnya dengan mata kosong yang penuh tenang. Dalam remang, wajahnya tampak seperti dirinya sendiri — tapi dengan garis senyum yang terlalu tenang untuk disebut manusiawi.
Suara itu terdengar lembut, seperti seseorang yang menenangkan anak kecil setelah mimpi buruk.
“Kesepian hanyalah awal.”
Wuyan tidak menjawab. Ia hanya menatap balik ke arah sosok itu, sementara di lantai, bayangan mereka menyatu perlahan menjadi satu bentuk yang tak bisa dipisahkan lagi.
Di luar, hujan masih turun tanpa jeda. Langit tetap kelabu, dan di dalam kamar itu, hanya ada dua keheningan yang saling memantul — satu dari tubuh, satu dari jiwa yang mulai retak.