SINTA dan adiknya, ALIM, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat taat. Sejak kecil, Sinta adalah sosok yang sangat alim, menjunjung tinggi akidah Islam, dan memegang teguh keyakinannya. Dunia yang ia pahami—dunia yang damai dan dipenuhi janji surgawi—hancur berkeping-keping pada satu sore kelam.
Orang tua mereka, Adam dan Lela, tewas dalam sebuah insiden yang dicap sebagai bom bunuh diri. Latar belakang kejadian ini sangat kelam: pelaku bom tersebut mengakhiri hidupnya dan Adam/Lela, sambil meneriakkan kalimat sakral "Allahu Akbar".
Trauma ganda ini—kehilangan orang tua dan kontaminasi kalimat suci dengan tindakan keji—membuat keyakinan Sinta runtuh total. Ia mempertanyakan segala yang pernah ia yakini.
Saat ini, Sinta bekerja sebagai Suster Panti Jompo, berhadapan dengan kematian secara rutin, tetapi tanpa sedikit pun rasa takut pada alam baka. Alim, di sisi lain, kini menjadi Penggali Kubur, dikelilingi oleh kuburan, tetapi tetap teguh memegang sisa-sisa keyakinannya yang diw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konfrontasi di Dapur dan Kekuatan Senyum Misterius
🚪 Penyusup Pagi
Sinta, yang baru saja menuangkan teh dengan santai, kini berada kembali di dapur. Ia sedang menyiapkan nampan buah-buahan untuk dibagikan kepada para lansia sebagai camilan pagi. Keheningan dapur yang damai tiba-tiba terpecah oleh suara langkah kaki yang terburu-buru dan bising, disusul oleh suara desisan Suster Erna di koridor.
“Maaf, Bapak, Ibu, Panti Jompo ini punya jam kunjungan—”
Pintu dapur didorong terbuka dengan kasar.
Tiga orang dewasa—satu wanita dan dua pria—berusia sekitar 30-an masuk tanpa permisi. Mereka mengenakan pakaian rapi, mahal, dan jelas-jelas tidak nyaman berada di lingkungan panti yang sederhana.
Wanita itu, yang jelas-jelas adalah adik tertua dan pemimpin kelompok, berjalan dengan sok kaya, mengenakan kacamata hitam yang bertengger di kepalanya dan tas tangan branded yang mencolok.
Sinta berhenti memotong apel, tatapannya terangkat, tenang, tetapi penuh kewaspadaan. Ia sudah tahu. Ini pasti anak-anak Kakek Slamet.
Wanita itu melipat tangan di depan dada, nadanya terdengar dingin dan merendahkan, seperti sedang berbicara dengan pelayan rendahan.
“Kami di sini bukan mau mencari masalah, tapi kami di sini mau mengambil alih Pak Slamet untuk pulang.”
Ia melihat sekeliling dapur yang bersih dan modern.
“Kami, anak-anaknya, tidak mau menaruh dia di sini. Karna di sini mahal. Dia tidak punya harta lagi untuk membayar biaya bulanan yang mewah ini. Biarkan dia tinggal bersama kami saja.”
Sinta tidak bergerak. Ia masih memegang pisau buah dengan santai, matanya memancarkan ketenangan dan senyum misterius.
🐍 Tuduhan dan Penghinaan
Wanita itu, merasa Sinta tidak bereaksi, menjadi semakin kesal dan melangkah maju, mendekati Sinta.
“Oh, kamu ya yang namanya Sinta? Kamu senang ya ada Pak Slamet di sini, karna kamu di sini bisa bujuk-bujuk Pak Slamet mengeluarkan duit? Kami sudah dengar. Dia sangat terobsesi denganmu. Kamu ini siapa, hah? Simpanannya Pak Slamet atau pelacurnya atau apa?”
Kata-kata kotor itu ditujukan langsung ke wajah Sinta. Suster Erna di pintu tampak terkejut, namun Sinta tetap tenang. Pengalaman di Nini telah mengajarkan Sinta bahwa kata-kata hanyalah udara kotor; yang nyata adalah kekuatan di balik kata-kata itu.
Sinta melihat ketiga anak Kakek Slamet itu. Mereka mewakili segala yang ia benci: keserakahan, arogansi, dan hipokrasi—sebuah cerminan mini dari orang-orang dewasa yang pernah menyiksanya.
Salah satu pria di samping wanita itu, yang agak kalem dan mungkin merasa sedikit malu dengan perilaku kakaknya, mencoba menengahi.
“Hmm, kalau mau, kita bisa begini, Mbak,” kata pria itu, berusaha terdengar praktis. “Mbak ikut kami, tinggal di rumah kami, dan mengurus Bapak kami. Biar sekalian kami tidak perlu bayar perawat lain.”
Wanita itu langsung menoleh ke adiknya dengan tatapan jijik.
“Dih! Najis! Gua tinggal sama wanita pelacur murahan begini? Kamu gila? Lagipula, dia ini dibayar untuk di sini, bukan untuk masuk ke rumah kita!”
Ketiga orang itu hanya melihat Sinta sebagai objek: perawat bayaran, wanita simpanan, atau sekadar barang yang bisa dipindahkan atau dibuang.
👑 Kekuatan Berlutut
Sinta meletakkan pisau buah dan apelnya di meja dengan sangat perlahan dan hati-hati. Ia menoleh ke arah tiga anak Kakek Slamet, tatapan santainya berubah menjadi tatapan yang menusuk, dingin, dan penuh otoritas yang tak terduga. Senyum misteriusnya kini terasa seperti ancaman.
"Kalian datang ke sini dengan arogansi harta dan jabatan kalian. Kalian pikir kalian bisa memutuskan nasib seorang manusia tua hanya karena kalian adalah anak kandungnya dan kalian tidak ingin rugi?" Sinta memulai, suaranya pelan tapi terdengar keras di dapur yang hening.
Ia melangkah maju, melewati wanita sombong itu.
“Saya bisa membujuk Pak Slamet pindah dari panti jompo ini, sekarang juga.”
Ketiga orang itu saling pandang, terkejut.
Sinta melanjutkan, langkahnya berhenti tepat di depan wanita itu.
“Tapi kalian harus ingat, saya bukan pelayan yang bisa kalian beli. Saya adalah orang yang saat ini paling dicintai dan dipercaya oleh ayah kalian.”
Mata Sinta menyala. Ia menantang keyakinan mereka tentang kekuasaan.
“Kalian pikir harta dan jabatan kalian yang tinggi bisa mengalahkan orang? Bisa, kok... tapi tidak dengan saya.”
Sinta mengucapkan kata-kata itu dengan jeda dramatis, suaranya bergetar dengan pengalaman masa lalu yang keras.
Lalu, ia menjatuhkan bom kata-kata yang memecahkan mental ketiga anak itu:
“Berlutut. Cium kaki saya, di depan Pak Slamet. Lakukan itu, dan saya akan katakan pada Pak Slamet bahwa kalian tulus dan layak dia ikuti.”
Sontak! Ketiga anak Kakek Slamet itu, terutama si wanita yang paling arogan, kena mental. Wajah mereka yang tadi penuh kesombongan, kini pucat pasi, tergantikan oleh rasa malu yang menusuk.
Wanita itu terdiam, mulutnya terbuka sedikit. Bagaimana mungkin seorang perawat rendahan berani menantang mereka seperti ini? Perintah Sinta—untuk berlutut dan mencium kakinya—bukan hanya penghinaan; itu adalah penghancuran total terhadap citra diri dan status sosial yang mereka junjung tinggi.
Mereka telah menghina Sinta sebagai "pelacur murahan," dan Sinta membalasnya dengan menuntut tindakan yang secara simbolis menjadikan mereka berlutut di bawah kakinya.
Mereka bengong saja. Mereka tidak bisa melakukan tuntutan itu, karena itu berarti mengakui bahwa kekuatan cinta dan pelayanan Sinta lebih tinggi dari semua harta mereka. Namun, mereka juga tidak bisa melawan Sinta, karena mereka tahu Kakek Slamet akan membela perawat kesayangannya.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, si wanita mendengus jijik, menghindari tatapan Sinta.
“Dasar gila,” gumamnya, menarik adik-adiknya. Mereka tidak bisa memenangkan pertarungan ini tanpa kehilangan seluruh martabat mereka.
Mereka memilih untuk keluar dengan tergesa-gesa, meninggalkan dapur dalam keheningan yang tegang, arogansi mereka hancur berkeping-keping.
🧊 Sinisme yang Menguat
Setelah pintu panti tertutup di belakang mereka, Sinta mengambil napas dalam-dalam.
Di situ Sinta mulai sinis.
Ia memandang pisau buah di tangannya dan kemudian ke udara kosong. Ia baru saja membuktikan tesisnya: iman, moralitas, dan rasa hormat hanyalah topeng. Ketika dihadapkan pada ancaman nyata terhadap ego dan kekuasaan, orang-orang kaya dan berjabatan ini runtuh.
Mereka tidak peduli pada ayah mereka. Mereka hanya peduli pada uang. Dan ketika seorang wanita miskin menantang ego mereka, mereka lari.
Kemenangan ini, meskipun memuaskan, menambah lapisan sinisme pada jiwanya. Ia telah memenangkan pertarungan, tetapi ia semakin yakin bahwa dunia ini adalah panggung sandiwara, dan hanya yang terkuat dan paling cerdas yang akan bertahan.
Sinta tersenyum, senyum sinis yang hanya ia tunjukkan pada dirinya sendiri. Ia mengambil nampan buah-buahan dan berjalan keluar dari dapur, kembali ke para lansia yang tidak akan pernah menghakiminya.