Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: Batuk Darah Pertama
Pagi itu, Arsyan bangun dengan perasaan aneh.
Aneh dalam artian... badannya berat banget. Kayak ada beban puluhan kilo nindih seluruh tubuhnya. Matanya susah dibuka—kelopak mata terasa kayak ditempel lem. Kepala pusing berputar.
Dia coba gerakkan tangan—lambat, kayak bergerak di dalam air kental.
Kenapa... kenapa aku selemes ini?
Di sebelahnya, Wulan masih tidur—atau pura-pura tidur. Arsyan nggak yakin. Wajahnya pucat, mata sembab meskipun tertutup. Dia pasti nangis sepanjang malam.
Arsyan ingat semalam. Ingat Ratu Kirana. Ingat cahaya emas yang menyilaukan. Ingat rasa sakit di dada yang kayak ditusuk ribuan jarum.
Dan ingat kata-kata itu.
"Dalam seribu hari... kamu akan mati."
Arsyan menarik napas dalam—nyoba bangun. Tubuhnya protes keras—otot-ototnya sakit semua, sendi-sendinya kaku. Tapi dia paksain. Dia harus shalat Subuh. Nggak peduli selemah apapun dia, shalat tetep prioritas.
Dia turun dari kasur perlahan—kaki gemetar—nyaris jatuh tapi dia tahan pake tangan di dinding.
Wulan langsung bangun—mata terbuka lebar, panik. "Mas—kenapa bangun? Istirahat aja—"
"Aku... aku mau shalat," bisik Arsyan—suaranya serak, parau.
"Tapi Mas—"
"Wulan... aku harus shalat." Arsyan menatap istrinya—menatap mata yang penuh kekhawatiran. "Kumohon... jangan larang aku."
Wulan diam—bibir gemetar—lalu mengangguk pelan.
Arsyan jalan ke kamar mandi—langkahnya gontai, kayak orang tua yang lagi sakit keras. Setiap langkah terasa berat. Napasnya pendek-pendek.
Dia ambil wudhu dengan susah payah—air dingin menyentuh kulit, tapi dia nggak ngerasa dingin. Malah badannya dingin dari dalam—kayak darahnya ikut dingin.
Selesai wudhu, dia jalan ke mushola kecil di belakang rumah. Langit masih gelap—fajar baru mulai menyingsing—udara pagi dingin, lembab.
Arsyan berdiri di sajadah—angkat tangan, takbiratul ihram—mulai shalat.
Tapi di rakaat pertama—pas dia sujud—dadanya tiba-tiba sesak.
Sesak banget.
Kayak ada yang mencengkeram jantungnya, meremasnya keras.
Arsyan napasnya tertahan—tubuhnya gemetar—tapi dia tahan. Dia lanjutkan shalat meskipun dadanya makin sakit.
Rakaat kedua—pas dia rukuk—kepalanya pusing berputar keras. Penglihatannya kabur. Telinganya berdengung.
Tahan... tahan, Yan... sebentar lagi selesai...
Sujud terakhir—Arsyan bisik doa panjang dalam hati.
Ya Allah... kuatkan aku. Aku tau ini cobaan. Aku tau ini berat. Tapi kumohon... jangan ambil nyawaku terlalu cepat. Beri aku waktu... waktu bersama Wulan...
Dia angkat kepala dari sujud—duduk tahiyat akhir—baca sholawat dengan napas terengah-engah.
Lalu salam.
Begitu selesai shalat—Arsyan mau berdiri—tapi tiba-tiba dadanya sesak luar biasa.
Dia batuk.
Batuk keras—tubuhnya melengkung—tangan refleks nutup mulut.
Dan pas dia liat tangannya—
—ada darah.
Darah segar, merah pekat, membasahi telapak tangannya.
Arsyan mata membelalak—napas tertahan—jantung berdebar keras.
Darah... aku batuk darah...
Dia batuk lagi—lebih keras—lebih banyak darah keluar—menetes ke lantai mushola.
Kepalanya makin pusing—penglihatannya makin kabur—tubuhnya goyah.
Lalu—
—semuanya gelap.
Arsyan terjatuh—pingsan—tubuhnya ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk keras.
"MAS!"
Suara teriakan Wulan—keras, panik, penuh ketakutan—memecah keheningan pagi.
Wulan berlari dari rumah—kaki telanjang—rambut acak-acakan—mata membelalak penuh horor.
Dia masuk mushola—liat Arsyan tergeletak di lantai—nggak sadarkan diri—mulut dan tangannya penuh darah.
"MAS! MAS, BANGUN!" Wulan langsung berlutut di sebelah Arsyan—angkat kepala suaminya—tepuk-tepuk pipinya keras. "MAS, KUMOHON, BANGUN!"
Tapi Arsyan nggak bangun. Napasnya lemah, pelan, hampir nggak kedengeran.
Wulan nangis histeris—tangisan keras yang memilukan—peluk Arsyan erat, guncang-guncang tubuhnya.
"JANGAN TINGGALIN AKU! KUMOHON, MAS! BANGUN! BANGUN!"
Air matanya jatuh deras—basahi wajah Arsyan yang pucat—tangannya gemetar hebat memegang tangan Arsyan yang dingin.
"Maafin aku... maafin aku... ini semua salahku... aku yang bikin Mas kayak gini... maafin aku..."
Dia terus nangis—terus peluk Arsyan—kayak kalau dia lepas, Arsyan bakal hilang selamanya.
"ARSYAN! ARSYAN, ADA APA?!"
Suara itu—suara ibu Arsyan—dateng dari arah rumah.
Ibu Arsyan keluar dengan tergesa-gesa—masih pake daster tidur—rambut berantakan—muka panik.
Dia dengar teriakan tangisan Wulan dari tadi—tangisan yang bikin dadanya sesak—dan dia langsung tau ada yang nggak beres.
"WULAN! ADA APA—" Ibu Arsyan berhenti di pintu mushola—mata membelalak—lihat Arsyan tergeletak di lantai, Wulan peluk dia sambil nangis histeris.
"YA ALLAH! ARSYAN!" Ibu Arsyan langsung masuk—berlutut di sebelah anaknya—pegang wajah Arsyan yang dingin. "ARSYAN, NAK! BANGUN! IBU DI SINI!"
Tapi Arsyan tetep nggak sadarkan diri.
Ibu Arsyan lihat darah di mulut Arsyan—di tangan Wulan—di lantai. Jantungnya langsung berhenti.
"Darah... dia... dia batuk darah?!" Ibu Arsyan menatap Wulan—mata penuh panik. "WULAN, ADA APA SAMA ARSYAN?!"
Wulan nangis makin keras—nggak bisa jawab—cuma geleng-geleng kepala.
Ibu Arsyan napasnya berat—tangan gemetar—tapi dia paksain dirinya tenang. Dia harus tenang. Anaknya butuh dia sekarang.
"Wulan... Wulan, dengerin Ibu." Ibu Arsyan pegang bahu Wulan—tepuk-tepuk pelan. "Tenang dulu. Arsyan nggak apa-apa. Dia... dia cuma pingsan. Kita bawa aja ke rumah sakit sekarang. Oke? Kita bawa sekarang."
"Tapi... tapi Bu... ini bukan... ini bukan sakit biasa..." bisik Wulan di tengah tangisan—suaranya putus-putus.
"Apapun itu, rumah sakit bisa bantuin. Ayo, Wulan. Bantuin Ibu angkat Arsyan."
Wulan mengangguk lemah—ngusap air matanya kasar—bantuin ibu Arsyan angkat tubuh Arsyan yang lemas.
Mereka berdua dengan susah payah bawa Arsyan ke motor—ibu Arsyan yang bawa motor, Wulan peluk Arsyan dari belakang biar nggak jatuh.
Sepanjang jalan ke puskesmas terdekat—Wulan nangis diam-diam.
Dalam hatinya, dia terus mengulang satu kalimat yang bikin dadanya sesak.
Ini baru hari pertama... dari seribu hari.
Kalau hari pertama aja Mas udah separah ini... gimana hari-hari berikutnya?
Gimana aku harus liat Mas menderita selama seribu hari?
Gimana... gimana aku bisa bertahan?
Tapi dia nggak punya jawaban.
Yang dia bisa cuma peluk Arsyan lebih erat—berharap kehangatan tubuhnya bisa selamatkan suaminya.
Meskipun dia tau... nggak ada kehangatan yang bisa melawan kutukan.