perjalanan wanita tangguh yang sejak dalam kandunganya sudah harus melawan takdirnya untuk bertahan hidup
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adiwibowo Zhen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arwah penasaran lebih berhati mulia dari manusia hidup
Bel istirahat berdentang membahana. Para siswa berhamburan keluar kelas seperti air yang meluap dari bendungan. Di antara kerumunan yang riuh, tiga sosok dengan wajah penuh konspirasi berbisik-bisik di sudut koridor yang sepi.
"Ia pikir dengan wajahnya yang seperti boneka porselen itu bisa merebut perhatian semua orang? Ayo, kita beri pelajaran."Prihatin berbisik penuh dendam.
"Biarlah ia merasakan bagaimana rasanya jadi sampah masyarakat di sekolah ini."Ida ratna,mengangguk dengan mata berbinar jahat.
"Kita tunggu sampai lorong ini sepi."Istiqomah,tersenyum tipis.
Mereka menunggu hingga koridor kosong. Dengan gerakan cepat, Prihatin mengeluarkan pensil dan penghapus mewah dari tasnya, lalu menyelipkannya secara licik ke dalam tas Larashati yang terletak di kursi di kelasnya.
Bel masuk berbunyi. Para siswa kembali ke kelas dengan ceria, tetapi suasana tiba-tiba berubah ketika Bu Guru Siti masuk dengan wajah masam.
"Anak-anak, ada laporan kehilangan. Siapa yang mengambil pensil dan penghapus milik Prihatin?"Bu guru siti dengan nada tegas tanpa kompromi.
Seisi kelas terdiam seketika. Larasati tetap tenang, fokus mengerjakan catatannya.
"Bu, tadi istirahat saya taruh pensil itu di meja. Sekarang hilang."Prihatin berdiri dengan mengeluarkan air mata buayanya..
"Bu, saya lihat tadi ada yang mendekati meja Prihatin."Ida ratna ikut berdiri melengkapi akting.
Larasati masih tak menyadari badai yang akan menimpanya.
"Siapa yang kamu lihat, Ida?"Bu guru siti bertanya.
"Dia, Bu! Larasati! Tadi saya lihat dia membuka tas Prihatin!"Istiqomah,langsung menunjuk larasati.
Larasati terkejut, wajahnya pucat mendengar tuduhan tak berdasar itu.
"Tidak, Bu! Saya tidak...!"Larashati dengan nada bergetar.
"Biarkan kita buktikan, Bu! Periksa saja tasnya!"prihatin ,dengan percaya diri langsung ,menuju ke tas Larashati.
Sebelum Larashati bisa mencegah, Prihatin sudah mengobrak-abrik tasnya dan...
"Ini buktinya! Pensil dan penghapus saya ada di sini!"Prihatin dengan teriakan dan melotot.
Larasati terpana, tak percaya dengan apa yang terjadi. Air matanya mulai mengalir deras.
"Saya tidak mencuri, Bu... Mereka yang..."Larashati tersedu sedu.
"Cukup, Larashati! Keterlaluan! Mencuri lalu berbohong!"Buguru siti ,wajahnya merah padam.
Roihmah, Yani, dan Tini berusaha membela, tetapi suara mereka tenggelam dalam hiruk-pikuk kecaman.
"Bu, Larasati tidak mungkin..."Rohimah berusaha maju membela Larashati.
"Diam! Semuanya diam!"Bu guru siti,memotong keberatan rohimah.
Bu Guru Siti menarik lengan Larashati dengan kasar.
"Kamu dipindah ke kelas mulai besok! Kelas ini tidak butuh pencuri!"Bu guru siti dengan sinis
Larasati terisak-isak, matanya berkaca-kaca memandangi ketiga temannya yang hanya bisa menatapnya dengan penuh kepasrahan. Di balik punggung Bu Guru, Prihatin dan kawan-kawannya saling menyunggingkan senyum kemenangan.
Larasati berjalan keluar kelas dengan langkah gontai, air matanya membasahi lantai koridor yang dingin. Sebuah pengkhianatan yang akan meninggalkan luka mendalam di hati gadis kecil itu.
Penderitaan Larasati masih berlanjut setelah pulang sekolah. Ia membawa surat dari guru dan memberikannya kepada ibunya, lalu masuk kamar dan mengurung diri.
Manto pulang dengan tubuh lelah; debu jalanan masih melekat di seragamnya. Namun, kelelahan fisiknya tak ada artinya dibandingkan badai yang menyambutnya di rumah.
"Mas... Ada masalah dengan Larashati di sekolah hari ini."Yati dengan suara bergetar penuh kecemasan.
Manto mengerutkan kening, meletakkan tas kerjanya perlahan.
"Masalah? Masalah apa?"manto tersentak
Yati menarik napas dalam, matanya menghindari tatapan suaminya.
"Dia... dituduh mencuri pensil dan penghapus temannya. Sudah dipindahkan kelas..."yati menjelaskan dengan lembut.
Wajah Manto berubah gelap. Darahnya mendidih.
"LARASHATI! KEMARI!"Manto dengan suara meninggi.
Larasati muncul dari balik pintu dengan langkah terhuyung-huyung. Matanya sudah merah bengkak.
"Ayah... saya tidak..."Larashati dengan suara lirih bagai embun.
"DIAM! Selama ini aku mengira kau anak yang jujur! Ternyata kau tega mengotori tangan Ayah dengan perbuatan hina seperti mencuri!"Manto memotong dengan nada keras.
Manto mendekati Larashati dengan langkah berat. Setiap langkahnya menggema penuh kekecewaan.
"Aku bekerja banting tulang, menanggung lelah yang tak kau bayangkan, demi memastikan kau tumbuh menjadi manusia yang bermartabat! Bukan untuk kau jungkir balikkan semua nilai itu dengan menjadi pencuri!"Manto melanjutkan,dengan suara bergetar marah dan sakit hati.
Larashati mencoba menjelaskan, air matanya mulai menetes.
"Tapi Ayah... mereka yang menjebak... Aku tidak..."Larashati menangis tersedu sedu.
"JANGAN TAMBAHI DOSA DENGAN KEBOHONGAN! Lebih baik kau mengaku daripada membungkus kesalahan dengan kebohongan lain! Kejahatan yang terkuak lebih terhormat daripada kebenaran yang dikubur dalam dusta!"Manto sambil menggebrak meja hingga gelas gemetar.
Wajah Larashati hancur. Ayahnya, orang yang seharusnya menjadi pelindungnya, justru menjadi hakim yang menghukumnya tanpa pengadilan.
"Ayah... tidak percaya pada saya?"Larashati bergumam dalam hati kirih penuh luka.
"Percaya? Bagaimana aku bisa percaya pada bukti yang nyata? Pada mata yang menyaksikan sendiri pengakuan benda-benda itu bersemayam di tasmu?"Manto berpaling,tak tega melihat air mata anaknya.
Larasati terdiam. Kata-katanya tercekik. Dunia seakan runtuh ketika orang yang paling ia percaya justru meragukan integritas jiwanya. Dengan isakan yang menyesakkan, ia berlari ke kamarnya, meninggalkan jejak air mata di lantai.
Pintu kamar tertutup dengan hentakan yang menggemakan keputusasaan. Manto tetap berdiri kaku, napasnya tersengal-sengal. Di balik pintu, terdengar isakan hati yang remuk,seorang anak yang merasa dikhianati oleh ketidakpercayaan ayahnya sendiri.
Yati hanya bisa terduduk, menatap kosong ke arah kamar anaknya. Ia tahu ada yang tidak beres, tetapi tak berdaya melawan amarah suaminya yang terluka oleh prasangka.
Hari-hari berikutnya terasa seperti berjalan di lorong waktu yang kelam bagi Larashati. Dunianya yang dulu penuh tawa dan canda kini berubah menjadi kesunyian yang menyiksa. Setiap kali ia melangkah masuk ke kelas barunya, sepi yang menyambutnya bagaikan dinding tak kasat mata. Teman-teman sekelasnya menjauh, menghindari kontak mata, seolah ia membawa wabah yang mematikan.
"Lihatlah, sang putri kini menjadi burung yang patah sayap. Biarlah dia merasakan sendiri betapa pedihnya diasingkan."Prihatin ,dengan senyuman puas ,berbisik kepada ida ratna.
"Dia pikir dengan wajahnya yang seperti boneka porselen itu bisa merebut semua perhatian? Sekarang dia tahu akibatnya."Ida ratna menyipit sambil tersenyum sinis.
Larashati, yang dulu selalu dikelilingi teman-teman, kini menjadi sosok yang kesepian. Kecantikannya yang mempesona,kulit putih, mata sipit, dan senyum manis,yang dulu membuat banyak orang terpana, kini justru menjadi senjata makan tuan. Terkadang, ketampanan atau kecantikan seseorang, bahkan tanpa kesalahan apapun, sudah cukup untuk membuat orang lain membencinya.
Saat bel istirahat berbunyi, sementara anak-anak lain berkumpul dengan riang, Larashati berjalan sendiri menuju halaman belakang sekolah. Di sana, tersembunyi sebuah pemakaman tua,kuburan satu keluarga yang meninggal karena penindasan tak berperikemanusiaan puluhan tahun silam.
"Di sini... setidaknya aku diterima apa adanya."Larasahati berbisik kepada angin.
Dia duduk di bawah pohon beringin tua yang daunnya bergoyang pelan, seolah menyambut kehadirannya. Kemudian, bayang-bayang samar mulai menjelma.
"Kami mengerti perasaanmu, anakku. Dulu kami juga merasakan hal yang sama."Arwah perempuan ,bersuara seperti gemersik daun .
"Kecantikanmu adalah anugerah, tapi bagi mereka yang iri, itu menjadi kutukan. Seperti keluarga kami dulu,kekayaan kami justru menjadi alasan untuk memusuhi kami."Arwah laki laki tua,bersuara berat tapipenuh welas asih.
Larashati tersenyum getir. Kemampuannya melihat alam gaib, yang dulu sering membuatnya ketakutan, kini justru menjadi pelipur lara. Di antara nisan-nisan tua itu, ia menemukan persahabatan yang tak bisa diberikan oleh dunia nyata.
"Mengapa manusia begitu kejam? Hanya karena perbedaan, mereka merasa berhak menyakiti?"Larashati dengan mata berkaca kaca.
"Karena mereka takut, Kak. Takut pada sesuatu yang berbeda, takut pada keindahan yang tak mereka pahami."Arwah anak kecil dengan suara polos.
Sementara itu, dari kejauhan, Prihatin dan kawan-kawannya mengintip dengan perasaan campur aduk. Mereka melihat Larashati seolah sedang berbicara sendiri di depan kuburan.
"Dia... dia gila! Berbicara sendiri di kuburan!"Prihatin ,gemetar.
Tetapi yang mereka tak sadari, Larashati justru telah menemukan kedamaian dalam kesendiriannya. Di antara arwah-arwah yang memahami penderitaannya, ia belajar bahwa terkadang, persahabatan sejati justru datang dari dunia yang tak kasat mata.