Dunia Larashati

Dunia Larashati

Pilihan yang sulit ibu atau anak

Yat..." bisiknya, suaranya nyaris hilang, pecah oleh kepedihan yang menyesakkan. Jemarinya mencengkeram seprai usang, mencari kekuatan yang telah lama menguap. "Dokter... tadi... dia bilang..." Setiap kata terasa seperti pecahan kaca yang mengoyak tenggorokannya. "Kita... harus memilih." Tarikan napasnya pendek dan menyakitkan, seolah paru-parunya menolak untuk terisi. "Antara aku... atau... anak kita."

Kalimat itu menggantung di udara, dingin dan mematikan, meremukkan setiap harapan yang tersisa. Mata Yati, sembab dan perih, kembali digenangi air mata. Butiran bening itu tumpah, membasahi bantal lusuh yang menjadi saksi bisu malam-malam penuh nestapa.

"Mas..." Suara Yati lirih, bergetar seperti dedaunan kering yang diterpa angin malam. "Aku... aku tidak tahu, Mas. Aku takut..." Ucapannya tercekat di antara isak tangis yang menghimpit dada. Ia menatap Manto, suaminya, mencari setitik cahaya di tengah kegelapan yang pekat. "Mengapa... mengapa Tuhan sekejam ini? Dosa apa yang telah kita perbuat, Mas?"

Kesunyian mencekam menyelimuti mereka, hanya detak jam dinding tua yang terdengar, berdetak dengan irama yang stabil dan kejam, seolah menghitung mundur waktu yang tersisa. Manto menggenggam erat tangan Yati yang dingin, satu-satunya jangkar yang menahannya dari pusaran keputusasaan.

Emosi yang selama ini dipendam Yati akhirnya meledak. Ia menarik tangannya dari genggaman Manto, lalu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"KENAPA?!" teriaknya histeris, memecah kesunyian yang menyesakkan. Tubuhnya bergetar hebat, tak terkendali. "Jika memang kami tidak pantas menjadi orang tua! Jika Dia di atas sana tidak mengizinkan kami memiliki keturunan! Mengapa Dia tanamkan benih ini di rahimku?! Mengapa Dia beri aku harapan dengan setangkai bunga?!"

Air mata terus mengalir, membasahi wajahnya yang pucat. Suaranya hancur menjadi isakan yang menyayat hati. "Kenapa... mengapa bunga itu harus layu sebelum sempat mekar? Sebelum sempat kita cium aromanya? Mengapa harus dicabut dengan begitu kejamnya?! JAWAB, MAS! KENAPA?!"

Yati memukuli kasur dengan tangan lemah, melampiaskan segala kepedihan dan ketidakrelaannya. Manto, yang menyaksikan kehancuran istrinya, tak kuasa menahan diri. Dengan hati hancur berkeping-keping, ia merengkuh Yati. Ia menarik tubuh istrinya yang bergetar ke dalam pelukannya, erat, seolah ingin melindunginya dari badai kehidupan yang menerjang.

Manto tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Tidak ada kata-kata yang mampu mewakili kedalaman duka ini. Ia hanya bisa membiarkan Yati menangis histeris di bahunya, sementara air matanya sendiri mengalir diam-diam, membasahi rambut istrinya.

Dalam pelukan yang pilu itu, mereka hanyut bersama dalam lautan duka yang sama. Dua jiwa yang tersesat, meratapi takdir yang merenggut calon buah hati mereka, meninggalkan luka menganga dan kehampaan yang mungkin tak akan pernah terisi.

Senin kelabu, 9 Februari 1969. Di sebuah desa kecil bernama Kedung dadap, di sebuah rumah kayu sederhana, duka merajalela. Kesunyian pekat menyelimuti kamar tidur pasangan muda yang baru menikah setengah tahun lalu. Kehamilan pertama, yang seharusnya menjadi puncak kebahagiaan, kini berubah menjadi duri yang menusuk jantung.

Sukacita itu telah dirampas oleh vonis kejam: kanker payudara ganas. Kata-kata dokter terus terngiang di telinga mereka, dingin dan tanpa ampun: kandungan harus diakhiri. Jika tidak, nyawa keduanya, ibu dan anak, akan melayang bersamaan.

Di balik jendela, senja meredup, seiring dengan meredupnya harapan di hati mereka. Hari ini, tanggal yang seharusnya biasa saja, kini tercatat sebagai hari di mana takdir memaksa mereka memilih di antara dua nyawa yang sama-sama mereka cintai.

"Sabar, Ti," bisik Manto, memecah kesunyian. Suaranya serak, nyaris tak terdengar. Tangannya dengan lembut mengusap punggung Yati yang terbaring lemah. "Mungkin... mungkin semua tidak akan terjadi seperti yang kita bayangkan. Dokter juga manusia, Ti. Dia hanya bisa memprediksi. Tuhan tidak sekejam itu pada kita."

Ia menarik napas dalam, berusaha menanamkan keyakinan yang mungkin juga sedang goyah di dalam hatinya. "Aku yakin, akan ada jalan keluar. Mungkin... ini ujian untuk anak kita. Mungkin kelak dia akan menjadi anak yang istimewa, karena sejak dalam kandungan dia sudah diuji dengan cobaan yang berat."

Yati hanya mengangguk lemah, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. "Iya, Mas," bisiknya lirih, penuh dengan kepasrahan yang getir.

"Sudah, kamu tenang saja," sambung Manto, berusaha menyemangati istrinya. "Aku yakin, kita semua akan baik-baik saja. Aku lebih percaya pada Tuhan daripada dokter itu. Sekarang, makan dulu, ya? Kesehatanmu harus dijaga. Jangan pikirkan hal-hal buruk. Itu hanya akan memperburuk keadaanmu."

Yati mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit lebih pasti. Manto beranjak dari sisi ranjang, langkahnya terasa berat. Ia kembali dengan membawa sepiring nasi hangat. Dengan sabar, ia menyuapi Yati satu per satu. Setiap suapan terasa seperti ritual untuk mengembalikan kekuatan yang terkuras oleh penyakit dan kesedihan.

Setelah piring itu kosong, Manto kembali memecah keheningan. "Ti," panggilnya lembut.

Yati menatapnya, matanya berkaca-kaca, siap mendengarkan apa pun yang akan dikatakan suaminya.

"Apa pun keputusan yang harus kita ambil, apa pun yang akan terjadi," ujar Manto, menggenggam tangan Yati erat, "Bagaimana kalau nanti sore kita pergi ke rumah Rasmin? Kita ceritakan masalah kita. Siapa tahu dia punya jalan keluar. Kita tidak bisa memendam masalah ini sendirian. Jangan seperti katak dalam tempurung."

Ia mencoba tersenyum, berusaha menghangatkan suasana. "Rasmin itu kan kakakmu, seorang kepala sekolah. Pengalamannya luas, mungkin dia punya solusi. Kalaupun tidak, setidaknya kita tidak akan disalahkan oleh keluarga jika... jika terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan."

Mendengar nama kakaknya disebut, Yati menemukan secercah harapan. Air matanya kembali menetes. Dalam kepasrahan dan ketakutan yang mencekam, tawaran itu bagai seutas tali yang bisa ia raih. Dengan suara lirih, penuh harapan yang tersisa, ia menjawab, "Iya, Mas."

Manto membawa piring kotor itu ke belakang rumah. Di sudut pancuran yang sunyi, ia membuka keran. Air mengalir deras, menyirami sisa-sisa nasi dan lauk yang baru saja menghidupi tubuh lemah istrinya. Namun, air itu tak mampu membersihkan kegelisahan yang menggerogoti jiwanya.

Dalam hati, ia mulai bergumam, merambah ke wilayah yang lebih dalam dan getir. "Tuhan... aku selalu berusaha mengikuti jalan-Mu. Di dalam agama yang Kau ajarkan, aku berusaha menjadi umat yang taat. Kau berfirman, berharap selain kepada-Mu adalah kesia-siaan. Kini... kini aku ingin membuktikan kuasa-Mu. Benarkah Engkau ada? Ataukah Engkau hanya dongeng indah yang dibalut konspirasi langit?"

Piring di tangannya digosok kuat-kuat, seolah ia mencoba mengikis keraguan yang mendera dengan setiap gerakan. Sambil terus bergumam dalam diam, air dan sabun mengalir, membawa serta debu-debu keyakinan yang mulai goyah.

Sementara itu, di dalam kamar yang semakin kelam oleh senja, Yati terbaring sendirian. Tangannya yang kurus dengan lembut mengelus perutnya yang masih rata. Sebuah percakapan batin terjalin antara ibu dan calon bayinya.

"Nak, tenang saja," bisik hatinya, penuh keteguhan yang mengharukan. "Jika aku hidup, kamu pun akan hidup. Jika kamu mati, aku pun akan ikut mati. Jangan khawatir, sayang. Ibu tidak akan mengorbankanmu hanya untuk kehidupan dunia yang fana ini."

Air mata menetes pelan, membasahi bantal. Di balik kepasrahan itu, tersimpan tekad dan tantangan yang berani.

"Kalau sampai kita mati, kita akan menghadap Tuhan bersama-sama," gumamnya getir, namun penuh keyakinan. "Kita akan bertanya kepada-Nya, apa arti ketaatanku selama ini. Apakah di mata-Nya hanya sebuah permainan tanpa makna? Ataukah pengorbanan seorang ibu untuk anaknya akan berarti sesuatu di hadapan-Nya?"

 

Terpopuler

Comments

Ninik Listiyani

Ninik Listiyani

mengharukan🤣

2025-10-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!