Virginia Fernandes mencintai Armando Mendoza dengan begitu tulus. Akan tetapi kesalah pahaman yang diciptakan Veronica, adik tirinya membuatnya justru dibenci oleh Armando.
Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namum, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk.
Satu insiden terjadi di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bukannya membawa Virginia ke rumah sakit, Armando justru membawa Vero yang pura-pura sakit.
Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli.
Cukup sudah. Kesabaran Virginia sudah berada di ambang batasnya. Ia memilih pergi, tak lagi ingin mengejar cinta Armando.
Armando baru merasa kehilangan setelah Virginia tak lagi berada di sisinya. Pria itu melakukan berbagai upaya agar Virginia kembali.
Apakah itu mungkin?
Apakah Virginia akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Alessandro Garcia; Akan kuambil kembali
Di rumah sakit besar milik keluarga Mendoza.
“Tuan Armando tidak menjaga kesehatan. Kurang nutrisi ditambah dengan penggunaan nikotin dan konsumsi obat tidur berlebih. Saat ini ada masalah pada lambung dan paru-paru.” Dokter memberikan penjelasan tentang hasil pemeriksaan pada Cecilia.
Cecilia begitu syok mendengar itu. Kenapa bisa kurang nutrisi? Apa kakaknya tidak pernah makan? Dan kenapa harus menggunakan obat tidur? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam hatinya.
“Kalau begitu saya permisi, Nyonya.”
“Terima kasih, Dokter.” Cecilia menatap ke arah kakaknya yang masih tertidur karena pengaruh obat dengan pandangan kosong. Diam, tak tahu harus apa.
Beberapa saat kemudian.
“Aku ada di mana?” Armando membuka matanya, melihat ke sisi ranjang, ada Cecilia di sana. Duduk dengan rautnya yang datar.
“Kakak ada di rumah sakit. Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Kenapa bisa sampai seperti ini?” Cecilia menatap wajahnya sendu.
Armando bangkit perlahan lalu duduk dengan wajah tertunduk. “Ternyata aku benar-benar telah kehilangan dirinya.”
Cecilia terdiam, Entah apa yang dirasakan wanita itu. Marah dan benci, tapi juga kasihan. “Sekarang Virginia sudah tiada. Seribu kali kakak bilang menyesal dan menyayangi juga tidak ada gunanya. SESAL YANG TERLAMBAT sama sekali tidak berharga,” ucapnya.
Armando menatap sejenak, tapi kembali menunduk. Ingin menyangkal, tapi tahu tak berguna.
“Cecilia…?”
Cecilia dan Armando menoleh bersamaan. Terlihat mama mereka datang dengan dipapah seorang pelayan rumah.
“Kenapa membawa mama ke sini?” seru Cecilia lalu menghampiri mamanya.
“Maaf, Nyonya Ceci. Nyonya besar yang memaksa datang.” Pelayan menunduk takut.
Cecilia ingin membawa mamanya untuk duduk di sofa, tapi wanita itu menolak. Dengan langkah yang dipaksakan wanita tua itu berjalan tertatih ke arah Armando.
“Mama…?” Wajah Armando mengangkat wajahnya, menatap sendu.
Plakkk
Reaksi yang tak terduga dari nyonya besar Mendoza.
“Kamu bodoh. Kamu lah yang membuat istrimu mati! Kamu telah membunuh mentalnya. Setelah dia kehilangan anaknya, kamu bukan memberi dukungan malah membuatnya menyerah untuk bertahan hidup.” Nyonya Mendoza berteriak histeris.
“Sekarang apa kamu masih belum juga sadar? Kamu tidak hanya membunuh anakmu sendiri tapi juga istri yang paling mencintaimu.”
Armando menatap ibunya, menggeleng penuh kesedihan. “Apa aku benar-benar telah kehilangannya? Ini tidak benar, kan?” Air mata mengalir membasahi pipinya yang pucat.
Melihat putranya bersedih Nyonya Mendoza tak kuasa. Air mata ikut berlinang. Itulah hati seorang ibu, meski sebesar apa kesalahan anaknya, selalu ada maaf seluas samudra. Wanita itu merapat ke arah ranjang dan memeluk putranya erat.
“Hatimu benar-benar buta. Virginia gadis yang baik. Kenapa kamu mengabaikannya begitu saja?” Nyonya Mendoza memukul-mukul pundak putranya dengan kepalan tangan. “Di dunia ini tak ada yang lebih mencintaimu daripada Virginia.”
Armando hanya diam tak lagi membantah. Mungkinkah ia telah bisa menerima kenyataan? “Maafkan aku, Mama.” Armando membenamkan wajah di perut mamanya. Sementara Nyonya Mendoza hanya memeluknya sambil terus menghapus air mata.
“Kenapa kau menghukumku seberat ini? Apa aku benar-benar tak layak dimaafkan? Semua orang percaya kamu telah tiada. Tapi aku, entah kenapa di lubuk terdalam hatiku, aku yakin kamu masih hidup di suatu tempat. Kamu hanya sedang menghukumku, iya kan? Kembali lah, Virgi. Aku sudah tahu salah.”
“Mama…?” Armando mendongak sambil menggenggam tangan mamanya. “Aku benar-benar menyesal,” ucapnya, lalu mencium punggung tangan wanita itu, hingga netranya melihat sesuatu melingkar di jari manis mamanya.
“Cincin,” gumam Armando. Seakan sesuatu menyadarkannya. Ia melihat jarinya sendiri yang kosong. Tidak ada cincin pernikahan melingkar di sana.
“Cincin, di mana cincinku?” tiba-tiba panik. Mendongak lagi, “Mama, cincinku hilang.” Armando berseru panik. Sedetik kemudian Armando ingat bahwa cincin itu telah Ia buang di kolam.
“Cincin, aku harus mencari cincinku.” Secepat kilat Armando turun dari ranjang. Tanpa mempedulikan apapun. Yang ada dalam pikiran nya hanya dia harus menemukan cincinnya.
“Armando…! Armando…! Di luar sedang hujan deras!” Cecilia dan Mamanya berteriak memanggil akan tetapi tak dihiraukan oleh pria itu
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Armando terus berlari tanpa mempedulikan tubuhnya yang basah kuyup, hingga akhirnya langkahnya tiba di sebuah taman di mana ia membuang cincin itu ke dalam kolam hias. Tanpa ragu Armando masuk ke dalam kolam itu.
“Di mana cincin itu? Cincin pernikahanku dengan Virginia harus aku temukan,” ucap Armando sambil terus bergerak mencari.
“Di mana cincinnya? Kenapa tidak aku temukan?” Air matanya luruh bersama derasnya air hujan.
Sementara itu, di balik pilar besar yang tak jauh dari kolam, di bawah naungan payung hitam. Seorang pria tampan berwajah dingin dan ekspresi datar memperhatikan dengan senyum miring di bibirnya.
“Armando Mendoza,” gumam pria itu. “Cincin ini hanya sebagai permulaan,” ucapnya sambil memperhatikan cincin yang melingkar di jari manisnya. “Setelah hari ini apapun yang berhubungan dengan Virginia akan kuambil kembali darimu.”
Pria itu adalah, Alessandro Garcia. Putra tunggal keluarga Garcia, yang kekayaannya bahkan jauh berlipat di atas keluarga Mendoza.
Alessandro pergi meninggalkan tempat itu setelah merasa puas melihat keterpurukan Armando. “Virginia,” desisnya. “Semua yang dia dapat darimu akan aku ambil kembali tanpa sisa. Pria brengsek itu tak layak mendapatkannya.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di sebuah rumah mewah, Alessandro masuk ke dalam sebuah ruangan.
“Tuan, Anda sudah datang?” Seorang wanita berpakaian perawat menunduk hormat.
“Apa ada perkembangan?”
“Maaf, Tuan. Sama sekali tidak ada.” Perawat menunjukkan raut bersalah.
Pria itu mengibaskan tangannya, memberi isyarat agar perawat keluar dari kamar. Perawat itu pun mengangguk lalu undur diri.
Alessandro berjalan ke arah ranjang, di mana seorang wanita cantik berbaring dengan mata terpejam. Ia lalu duduk di kursi di samping ranjang, meraih jemari wanita itu dan menggenggamnya. “Sampai kapan kamu ingin menjadi putri tidur?”
“Harusnya aku membawamu pergi sejak dulu, maafkan kebodohanku. Dan karena keterlambatanku, kamu menderita seperti ini. Tapi jangan khawatir, semua orang yang pernah membuatmu menderita, akan mendapatkan balasannya mulai hari ini.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Armando Mendoza sedang fokus pada layar komputer di hadapannya ketika Esmeralda masuk secara tiba-tiba.
“Tuan Armando, maaf saya lancang.”
Armando mendongak mendengar suara panik Esmeralda. “Ada hal penting apa?”
“Ada masalah seseorang yang menawar tinggi saham grup Mendoza. Tampaknya orang itu dengan sengaja ingin menjatuhkan grup Mendoza.” Esmeralda menyerahkan tablet yang ia pegang.
Armando meneliti informasi yang ada di sana dan seketika mengeraskan rahang. “Kurang ajar! Siapa orang yang sedang coba bermain-main denganku!”
mendapatkan perlakuan sama pria-pria berjas hitam....
mendapatkan perlakuan sama dari pria-pria berjas hitam
untung adik iparnya waras
dan lepas Virginia