Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 – Keputusan yang Tidak Bisa Diulang
Sari sudah berjalan jauh sebelum aku sempat mikir panjang. Cahaya headlamp-nya memantul di batang pohon, makin lama makin kecil dan kabur di sela-sela kabut. Suara ranting diinjaknya terdengar cepat, terengah, seperti orang yang lari dari ketakutan dan malah mengejarnya.
Aku mau ngejar. Otakku teriak buat itu.
Tapi tangan Lintang masih nahan lenganku.
“Kalau lu ngejar dia sekarang, lu buka pintu lu sendiri,” katanya lirih.
“Aku nggak peduli pintu! Sar butuh kita!”
Lintang nggak melepaskan, nadanya tetap pelan tapi keras: “Kalau kita ngejar dalam keadaan panik, kita nggak nolong siapa pun. Kita cuma nambah korban.”
Aku mau bantah, tapi… dalam hati aku tahu dia bener. Logika kecil yang masih tersisa di kepalaku tahu itu.
Teriakan "Arif" terdengar lagi dari kejauhan: “SARI! AKU DI SINI! TOLONGIN GUE! CEPET!!!”
Suara itu makin dekat.
Bukan makin "jelas".
Makin dekat.
Artinya bukan Sari yang semakin dekat suara itu — tapi suara itu yang semakin dekat Sari.
Aku menarik napas dalam-dalam, coba mikir cepat.
“Lintang. Kita nggak bisa tunggu dia mati. Kalau suara itu bohong, suara itu pasti punya pola. Gunung ini nggak acak.”
Lintang mengangguk pelan. “Pola gunung selalu ada. Cuma kita yang harus ngerti.”
Kami berdua jalan pelan ke arah Sari — tidak mengejar, hanya mengikut jejaknya dengan kepala dingin, jarak aman. Aku bisa lihat jelas jejak sepatu Sari di tanah yang lembap. Untungnya jalurnya masih tanah datar, belum masuk ke turunan ekstrem.
Suara Sari mulai terdengar dari kejauhan — bukan teriak, tapi memanggil: “Arif!? Di mana!? Aku di sini!”
Setiap kali Sari memanggil, suara “Arif” membalas — selalu sedikit lebih jauh, sedikit lebih lemah, cukup buat memancing.
Lintang berbisik ke aku, hampir tanpa suara: “Dia lagi diarahkan.”
Aku cek arah cahaya Sari — bukan ke jalur pendaki… tapi ke kanan, ke daerah tanpa jalur, di antara pepohonan rapat.
Lintang menggigit bibir. “Kalau dia keluar jalur, selesai.”
Aku mengangguk. “Kita harus hentikan.”
Kami mempercepat langkah — tanpa lari, tanpa panik. Makin dekat, aku bisa dengar suara gerak ranting — Sari menjelajah semak belukar.
Akhirnya kami lihat dia — sekitar 20 meter di depan, di tanah agak menurun. Dia berdiri di pinggir sesuatu.
Aku langsung tahu itu apa bahkan sebelum cahaya headlamp menyentuhnya.
Jurang.
Jurang hitam menganga, nggak bisa lihat dasar. Kabut menggantung tepat di bibir tebing. Kalau ada yang jatuh, jasadnya bahkan nggak akan kedengeran menyentuh apa pun.
Suara "Arif" kembali terdengar — tapi kali ini jelas berasal dari dalam jurang.
“SARIIII! CEPET! AKU DILUAR BATUUUU! AKU GABISA NAIK! PELUK AAAKU!”
Kalimat terakhir sengaja salah grammar. Suara itu seperti… mencoba terdengar seperti manusia, tapi gagal mengucapkan emosi dengan benar.
Sari di bibir jurang, merunduk, siap turun.
“Jangan!” aku teriak.
Sari menoleh, panik. “Raka! Itu ARIF! Dia jatuh! Dengarkan suaranya!”
Lintang maju, suara gemetar. “Sar… suara itu bukan Arif. Itu tiruan. Itu trik.”
Sari menggeleng seperti anak kecil. “Enggak! Aku kenal suara Arif. Aku kenal ketakutannya!”
Air matanya jatuh lagi.
“Aku nggak mau kehilangan teman lagi. Aku nggak mau jadi orang yang ninggalin.”
Dan saat dia bilang itu, semuanya masuk akal.
Sari bukan ke sini karena dipanggil Arif.
Dia ke sini karena trauma ditinggalkan.
Dia lebih takut kehilangan orang… daripada kehilangan nyawanya sendiri.
Lintang menunduk dalam. “Sar… itu suara yang kamu takutkan terjadi. Bukan suara Arif asli.”
Sari keras kepala, putus asa, marah: “Kalau aku salah, biar aku yang mati! Tapi kalau kalian yang salah, kalian hidup dengan rasa bersalah itu selamanya!”
Dia mulai turun tebing. Batu kerikil jatuh.
Aku spontan lompat maju pegang jaketnya.
“LEPASIN AKU!” Sari berontak kayak orang kesetanan.
Aku tahan sekuat tenaga. Sari nendang, mencakar, teriak sekencang-kencangnya: “RAKA LEPAS! AKU TAU ITU ARIF! DIA PANGGIL AKU BUKAN KALIAN!”
Aku mau teriak balik, tapi tiba-tiba Lintang mendekat dan berkata pelan — pelan tapi jelas, tepat di telinga Sari:
“Kalau itu Arif beneran… kenapa dia nggak pernah manggil nama Raka? Padahal Raka sahabatnya dari SMA.”
Sari terdiam seketika.
Suara “Arif” dari jurang berhenti.
Lalu suara itu berubah… bukan suara laki-laki.
Bukan suara manusia.
Seperti napas yang pecah.
Lalu sesuatu tertawa pelan… retak… melengking… dan jurang memantulkan suara itu ke seluruh hutan.
Tubuh Sari melemas total. Dia pingsan di lenganku.
Aku menarik dia menjauh dari tebing, pelan, hati-hati. Lintang bantu. Suara tertawa itu berhenti seketika, seolah menyadari rencananya gagal.
Lalu terdengar jeritan marah dari bawah jurang — bukan minta tolong, tapi kemarahan hewan yang gagal berburu.
Dari jauh, suara gelap itu menggeram: “BELUM… SELESAI…”
Hutan kembali tenang.
Lintang meraih badan Sari, memeriksa nadi, napas. Alhamdulillah, dia cuma pingsan. Tapi dia bisa saja mati barusan.
Aku menatap jurang itu, tenggorokan kering: “Lintang… dia nggak cuma mau korban. Dia mau korban jatuh karena pilihannya sendiri.”
Lintang mengangguk, wajah pucat: “Itu yang paling berharga buat mereka. Bukan nyawa… tapi saat seseorang memilih untuk datang.”
Karena kalau korban datang sendiri…
itu bukan pembunuhan. Itu penerimaan.
Kami menggotong tubuh Sari jauh dari bibir jurang, sampai ke tanah datar yang aman. Nafasku berat dan gemetar. Kaki lemas. Pikiran kacau.
Untuk pertama kalinya aku bertanya:
“Lin… kita bisa pulang atau nggak, sih?”
Lintang nggak jawab. Dia cuma menatap jauh ke gelap hutan.
Beberapa detik kemudian…
dia akhirnya bicara dengan suara paling pelan selama pendakian ini:
“Kalau gunung udah milih satu korban… yang lain boleh pulang.”
Aku gemetar.
Karena di titik itu — aku sadar sesuatu yang lebih buruk daripada diteror.
Seseorang dari kami memang harus menghilang
supaya yang lain selamat.
Dan aku belum tahu…
siapa di antara kami bertiga yang pada akhirnya nggak pulang.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor