Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Malam di Koto Baru
Angin malam menyusup pelan melalui celah-celah dinding papan rumah gadang tempat mereka menginap. Api pelita bergoyang lemah, menciptakan bayangan bergerak di dinding, seakan ada sosok lain yang ikut menumpang di dalam rumah.
Bahri duduk bersila, menggenggam cincin perak yang sudah berisi roh Kalai. Matanya tak lepas dari pusaran kecil di permukaan batu cincin yang seperti hidup.
Reno, yang duduk bersandar di dinding, bertanya pelan, "Bahri, kau pernah melihat Palasik secara utuh?"
Bahri mengangguk pelan. "Sekali. Waktu aku masih muda, di hutan dekat Danau Singkarak. Kepalanya terbang, rambutnya panjang seperti akar, dan lidahnya menjulur menjilat-jilat. Ia melintasi pohon-pohon dan menjerit seperti perempuan melahirkan."
Ucup yang sedang duduk memeluk bantal segera berdiri. "Sudah, sudah, jangan diceritakan malam-malam begini. Aku mau ke belakang, takut nanti dikira makanan oleh kepala terbang."
Ajo menimpali sambil terkekeh. "Tenang saja, Cup. Palasik hanya suka darah bayi. Kau itu sudah tua, dan isi kepalamu cuma gorengan. Aman."
Ucup memutar mata. "Lucu, Jo. Lucu sekali. Semoga nanti kau tidur ditemani nenek-nenek melayang."
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Udara makin dingin. Dari luar terdengar suara gemerisik aneh—bukan angin, bukan juga hewan malam biasa. Suara itu seperti sesuatu yang menggesek atap dengan ranting, berulang-ulang.
Reno berdiri. "Kalian dengar itu?"
Ajo mendekat ke jendela, mengintip pelan. "Seperti suara... cakaran. Tapi dari atas."
Bahri membuka tasnya, mengeluarkan cermin kecil dari perak, lalu menggantungkan di pintu. "Kalau makhluk itu benar Palasik, cermin ini akan membuatnya tampak dalam wujud aslinya."
Ucup sudah sembunyi di balik selimut. "Tolong pastikan makhluk itu tidak keliru masuk dan numpang rebahan di tempat tidurku."
Di luar, kabut makin pekat. Tiba-tiba, suara ayam jantan berkokok—padahal belum waktunya. Itu tanda, sesuatu yang tidak semestinya hadir sudah muncul.
Dari balik langit-langit rumah gadang, terdengar suara seperti cairan menetes. Reno menengadah.
"Bahri! Darah!"
Setetes merah menodai lantai. Mereka segera menyalakan obor dan menaiki loteng.
Di sana, terhampar bekas cakaran dalam—seperti dicakar oleh kuku besar. Di tengah loteng, ada sejumput rambut panjang berbau amis dan anyir.
Bahri mengerutkan dahi. "Ia tidak menyerang. Ia hanya memperingatkan. Tapi kenapa sekarang?"
Tiba-tiba, dari balik jendela yang terbuka, muncullah suara berat seperti desahan yang tertahan lama:
"Kalian membuka pintu yang seharusnya terkunci. Tapak Tiga Batu bukan hanya pengunci... tapi penjara... Dan aku... bukan satu-satunya yang lepas."
Bahri bergegas turun, mengambil kitab tua dari tasnya, lalu membacanya cepat. Ucup dan Ajo, meski ketakutan, tetap berjaga dengan obor dan kayu di tangan.
"Besok pagi, kita harus pergi dari kampung ini," kata Bahri tegas. "Aku rasa, kita telah membebaskan sesuatu yang jauh lebih tua dan lebih kuat dari Kalai."
Lurah Tuo yang baru datang dari surau, segera bergabung. "Aku tahu suara itu. Itu suara Sutan Marajo, penjaga ilmu hitam yang dikutuk leluhur kami. Ia tak bisa musnah, hanya terikat pada tanah yang bernama."
Reno menyahut, "Apa maksudnya tanah yang bernama?"
"Tanah yang memiliki sejarah kutukan. Tanah yang dulu dijadikan tempat pemujaan. Dan tanah itu... berada di puncak Gunung Singgalang."
Ucup bangkit, menatap kawan-kawannya. "Kalau memang harus ke sana, ya kita pergi. Tapi tolong ya, sebelum ke gunung, boleh tidak mampir ke kedai? Aku butuh bala-bala dan kopi agar kuat menghadapi semua ini."
Ajo tertawa, meski wajahnya masih tegang. "Kau ini, Cup. Bahkan setan pun menyerah kalau dengar permintaanmu."
Bahri tersenyum tipis. "Baik. Pagi nanti, kita berangkat. Tapi malam ini... kita tidak boleh tertidur. Karena malam ini... mereka akan datang kembali."
Dan di luar rumah gadang, di antara kabut dan bayangan pohon beringin, tampak kepala melayang dengan mata menyala merah—mengintai dari kejauhan. Bukan satu. Tapi dua.
Pagi datang dengan kabut yang belum juga mengangkat tirainya. Kampung Koto Baru masih sunyi. Hanya suara kokok ayam yang sesekali terdengar. Di pelataran rumah gadang, rombongan Bahri bersiap.
Reno menarik ranselnya. "Kau yakin kita harus ke Gunung Singgalang, Bahri? Bukankah tempat itu termasuk kawasan keramat?"
"Justru karena itu," jawab Bahri. "Tempat keramat menyimpan kunci yang tidak bisa dijangkau oleh roh biasa. Tapi kalau Sutan Marajo benar telah lepas, maka ia pasti akan kembali ke sumber kekuatannya."
Ucup menguap lebar. "Aku tidak keberatan ikut. Tapi bisakah kita mampir ke kedai dulu? Serius, aku belum sarapan. Perut kosong membuatku lebih takut daripada hantu."
Ajo menepuk bahu Ucup. "Kau tuh, Cup, kayak punya kontrak seumur hidup sama gorengan. Tenang, di jalan nanti kita cari singgah."
Lurah Tuo mendekat. "Di kaki Gunung Singgalang ada satu kampung tua. Namanya Kampuang Dalam. Tidak banyak yang berani menetap di sana. Tapi di sanalah dulu Datuak Tampuniang Langik membuat segel terakhir."
Reno mengangguk. "Jadi kita ke sana dulu, baru naik ke atas gunung?"
"Iya," jawab Bahri. "Kita butuh petunjuk. Dan biasanya, penjaga gerbang akan menunjukkan jalannya, jika kita datang dengan cara yang benar."
Perjalanan dimulai. Jalanan tanah licin karena embun. Mereka menumpang mobil pick-up milik warga, lalu turun di persimpangan kecil yang mulai diselimuti pepohonan rimbun.
Ucup menunjuk ke sebuah warung di pinggir jalan. "Tuh! Warung! Seperti oase di padang gurun."
Ajo menggeleng sambil tertawa. "Satu-satunya orang yang bisa bikin warung kelihatan kayak tempat suci ya cuma kau, Cup."
Di warung itu, mereka berhenti sebentar. Duduk di bangku panjang, memesan kopi tubruk dan gorengan.
"Kalau aku jadi Palasik," celetuk Ucup, "aku gak bakal nyari darah bayi. Aku nyari yang jualan bakwan tengah malam. Lebih menggoda."
Reno tertawa. "Bayangkan Palasik nongol di warung, cuma buat beli tahu isi. Kacau betul."
Penjual warung, seorang nenek tua berkain batik, menyahut lirih, "Jangan sebut-sebut Palasik sembarangan, Nak. Kadang, dia dengar, dan dia datang."
Seketika suasana jadi sunyi. Ucup menelan ludah. "Ehh... maaf, nek. Saya cuma bercanda. Serius, bercandanya pakai hati kok."
Bahri menatap nenek itu. "Mak, pernah lihat sesuatu di sekitar sini?"
Sang nenek mengangguk. "Tiga malam lalu, ada suara orang menangis di pohon sukun di seberang jalan. Tapi tak satu pun orang berani mendekat. Anjing pun lari sambil menggonggong ke arah yang sama."
"Tanda kehadiran roh tinggi," gumam Bahri.
Ajo menatap pohon yang disebut. "Itu artinya kita sudah dekat?"
"Mungkin. Atau mereka tahu kita datang, dan mereka menyambut," jawab Bahri pelan.
Setelah mengucap terima kasih kepada si nenek, rombongan melanjutkan perjalanan kaki menuju Kampuang Dalam. Jalan menanjak, semakin sunyi. Burung hutan pun enggan bersuara.
Ucup memecah kesunyian. "Kalian percaya nggak sih, kalau Palasik itu sebenarnya dulunya manusia yang gagal jadi dukun?"
Reno menjawab, "Banyak versi. Tapi semua setuju satu hal: mereka haus darah, dan hidup dari ketakutan."
Ajo menambahkan, "Aku pernah dengar cerita, Palasik bisa diturunkan lewat warisan keluarga. Kalau ibunya Palasik, bisa jadi anaknya juga bakal jadi."
Ucup menggeleng. "Untung ibuku cuma tukang rendang. Nggak ada urusan sama roh jahat."
Tiba-tiba Bahri berhenti melangkah. Matanya menatap ke seberang lereng. "Lihat... itu Kampuang Dalam."
Kampung itu tersembunyi di balik kabut tipis, rumah-rumah panggung tua berjajar, dan ada sebuah surau kecil dengan menara yang miring.
"Kampung ini tidak tersentuh sejak puluhan tahun," kata Bahri. "Kita harus hati-hati. Kadang, tempat seperti ini tidak hanya dihuni oleh manusia."
Saat mereka melangkah masuk ke batas kampung, seorang pria tua berjanggut putih berdiri di depan surau. Ia tidak berbicara, hanya menunjuk ke arah bukit di belakang kampung.
"Siapa dia?" bisik Ajo.
"Penjaga," jawab Bahri. "Ia sudah tahu tujuan kita. Kita akan diterima... atau ditolak. Tapi satu hal yang pasti... malam nanti, kita harus menginap di sini."
Ucup bergidik. "Di kampung kosong ini? Bisa nggak, kita pasang tenda di pinggir sawah aja?"
Reno menepuk pundaknya. "Cup, kalau ada roh di sini, mereka pasti lebih betah di rumah panggung. Kalau kita pasang tenda di sawah, justru jadi lebih menarik buat mereka."
"Kenapa?!"
"Karena kita seperti makanan segar di atas piring daun pisang."
Ajo tertawa keras. "Selamat datang di menu malam mereka, Cup."
Hari mulai gelap. Rumah panggung yang mereka pilih tampak reyot namun kokoh. Bahri menabur garam dan membaca doa di setiap sudut.
"Jangan tidur nyenyak malam ini," katanya. "Jika terdengar suara memanggil nama kalian... jangan dijawab."
Malam ini akan menjadi malam yang panjang. Dan satu-satunya perlindungan mereka adalah keberanian... dan tawa yang masih bisa mereka bagi.
Malam di Kampuang Dalam turun seperti tirai berat dari langit. Gelapnya tak main-main. Tak ada lampu, tak ada aliran listrik. Hanya pelita kecil dan obor yang disusun di sudut rumah panggung tempat mereka bermalam.
Di dalam, Reno, Bahri, Ucup, dan Ajo duduk melingkar di atas tikar anyaman pandan. Di tengah mereka, kopi hitam dalam cangkir seng dan beberapa potong singkong rebus jadi pengisi perut.
"Jadi," ujar Ajo pelan, "tadi siang si kakek tua itu tunjuk bukit. Tapi nggak ngomong sepatah kata pun. Kau yakin dia manusia, Bahri?"
Bahri menatap obor. "Dalam ilmu lama, penjaga tempat keramat biasanya bukan manusia biasa. Bisa saja dia perwujudan roh penjaga. Bisa juga manusia yang dikunci jiwanya untuk satu tugas: menjaga."
Ucup menggigil, meski bukan karena dingin. "Bagaimana kalau dia bukan penjaga, tapi pengantar? Yang nganterin kita ke kandang macan?"
Reno mencibir. "Kalau dia mau mencelakai, dari tadi sore kita udah jadi umpan."
"Tetap saja aku nggak tenang," keluh Ucup. "Tadi waktu kubuka jendela belakang, aku lihat bayangan besar melintas di kebun belakang. Bukan orang, tinggi dan kepalanya... kayak melayang."
Ajo membelalak. "Kau lihat kepala terbang?!"
"Entah. Tapi rasanya itu bukan burung. Besar dan ada suara desis, kayak ular tapi pendek."
Bahri berdiri. Ia mengambil segenggam garam dan meniupkan ke setiap sudut ruangan sambil membaca doa.
"Kita tidak sendiri malam ini. Tapi asal tidak ada yang melanggar pantangan, kita akan aman."
"Pantangan apa aja?" tanya Reno.
"Jangan buka pintu saat ada suara mengetuk. Jangan jawab jika ada yang memanggil nama kalian. Dan yang paling penting—jangan naik ke loteng."
Ucup menelan ludah. "Kenapa... jangan ke loteng?"
Bahri menatapnya lama. "Karena loteng adalah tempat mereka mengintai."
Malam makin dalam. Di luar, suara jangkrik mulai berkurang. Digantikan oleh semacam bisikan halus yang terdengar dari sela-sela papan dinding. Seperti suara perempuan... atau anak kecil.
Tiba-tiba terdengar suara... duk...duk...duk... dari atas.
Reno berdiri pelan. "Itu dari loteng."
Ajo berdiri juga. "Kita nggak bisa diam aja. Bagaimana kalau sesuatu mengintai dari atas?"
Bahri menggeleng. "Pantangan sudah jelas. Kalau kau naik, bisa saja mereka menganggap kau menantang."
Ucup menjerit kecil saat sesuatu jatuh dari celah atap. Hanya dedaunan kering. Tapi cukup membuat jantungnya lari ke leher.
"Aku nggak mau tidur sendiri malam ini," katanya sambil menarik bantal.
"Cup, kau bisa tidur di tengah. Diapit kami bertiga. Aman. Kalau ada yang mau menyerang, dia pilih kiri atau kanan dulu," ujar Ajo sambil tertawa getir.
Sekitar tengah malam, terdengar langkah kaki dari luar. Reno berdiri, mencoba mengintip dari celah dinding.
"Ada orang... atau sesuatu, berdiri di pelataran. Diam saja, ngadep ke rumah."
Bahri mendekat. "Jangan tatap matanya. Jangan buka pintu."
Ucup mencengkeram lengan Ajo. "Kakiku dingin Jo... kayak beku. Bukan karena cuaca. Serius."
Suara ketukan tiba-tiba terdengar. Tiga kali. Pelan, tapi menghentak jantung.
Tok... tok... tok...
Lalu suara lirih, seperti bisikan seorang perempuan dari balik pintu.
"Reno... bukakan... aku... kedinginan..."
Semua diam. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang menjawab.
Ucup mulai menangis pelan. "Itu suara ibuku... sumpah, itu kayak ibuku..."
Bahri menggenggam bahunya. "Bukan. Itu hanya suara yang kau inginkan. Mereka tahu ketakutanmu, dan mereka gunakan. Jangan percaya."
Ajo menutup telinganya. Tapi suara itu makin keras. Seperti masuk langsung ke dalam kepala.
"Ajo... kau anak yang durhaka... bukakan pintu untuk ibumu..."
Reno menggertakkan gigi. "Ini... gila. Mereka tahu nama-nama kita."
Tiba-tiba, obor padam. Pelita bergetar. Ruangan jadi setengah gelap.
Bahri menggenggam cincin peraknya. Cahayanya berpendar redup, tapi cukup menerangi ruangan.
"Ini ujian. Kita hanya perlu bertahan sampai fajar. Jangan bicara. Jangan menjawab. Jangan bergerak menuju suara."
Dan begitu mereka memutuskan untuk diam, suara dari loteng mulai lagi.
Duk... duk... duk...
Lalu seretan. Lalu seperti benda berat digulingkan.
Dan di antara semua itu, terdengar suara tawa kecil... seperti tawa anak perempuan.
Pagi belum datang. Tapi malam ini, akan jadi malam yang tak akan mereka lupakan.
biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
semangat Thor... semoga sukse...