Amirul, yang dikira anak kandung ternyata hanyalah anak angkat yang tak sengaja tertukar pada saat bayi.
Setelah mengetahui jika ia anak angkat, Amirul di perlakukan dengan kasar oleh ibu angkat dan saudaranya yang lain. Apa lagi semenjak kepulangan Aris ke rumah, barang yang dulunya miliknya yang di beli oleh ibunya kini di rampas dan di ambil kembali.
Jadilah ia tinggal di rumah sama seperti pembantu, dan itu telah berlalu 2 tahun lalu.
Hingga akhirnya, Aris melakukan kesalahan, karena takut di salahka oleh ibunya, ia pun memfitnah Amirul dan Amirul pun di usir dari rumah.
Kini Amirul terluntang lantung pergi entah kemana, tempat tinggal orang tuanya dulu pun tidak ada yang mengenalinya juga, ia pun singgah di sebuah bangunan terbengkalai.
Di sana ada sebuah biji yang jatuh entah dari mana, karena kasihan, Amirul pun menanam di sampingnya, ia merasa ia dan biji itu senasib, tak di inginkan.
Tapi siapa sangka jika pohon itu tumbuh dalam semalam, dan hidupnya berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon less22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3
Meskipun begitu, Amirul tetap menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga itu.
Setelah menampar Amirul, Rita berdiri dengan kesusahan dan melangkah ke meja makan. Amirul masih duduk di lantai licin, pipinya masih memerah. Tiba-tiba, suara Aris terdengar dari kamar tidur, dia baru bangun dan keluar dengan wajah yang malas.
"Bu, sarapan apa hari ini?" tanya Aris sambil duduk melihat nasi goreng di depannya.
Rita menatap Amirul dengan tatapan membenci. "Amirul! Kamu hari ini di larang sarapan atas kesalahan kamu tadi!" katanya dengan tegas.
Amirul menundukkan kepalanya sambil mengangguk pelan. Ia berdiri dan memegang perutnya yang sudah mulai terasa lapar, menghela nafas perlahan. Dia melihat Aris mulai makan nasi goreng yang dia masak tadi, dan rasa laparnya semakin memburuk.
Saat hendak ke sekolah, Amirul mengambil tasnya dan mendekati Rita di pintu. Seperti biasanya, dia ingin bersalaman sebelum pergi, suatu kebiasaan yang dia lakukan untuk mencari sedikit kehangatan. Tapi ketika tangannya mau menjentikkan tangan Rita, dia mengusirnya dengan cepat.
"Jangan sentuh aku," ucap Rita dengan nada dingin.
Amirul masih berdiri di depan Rita, badannya sedikit menggigil. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-katanya terjebak di tenggorokan. Ragu-ragu meliputi hatinya, tapi kebutuhan untuk bayar SPP membuatnya berani.
"Kamu ingin bicara apa?" tanya Rita menatap Amirul dengan tatapan tajam yang membuatnya semakin takut.
"Ibu... aku sudah 3 bulan belum bayar SPP, bi-bisakah Ibu memberiku uang untuk bayar SPP?" tanya Amirul, kepalanya tetap tergelincir ke bawah, tidak berani melihat mata Rita.
Rita tertawa dengan nada menyakitkan. "Heh! Memang siapa kamu minta uang padaku? Aku membiarkan kau tinggal di sini agar kau bekerja di sini untuk membalas budi ku yang telah merawat mu!" katanya dengan tak peduli. Sementara itu, Aris yang berdiri di sampingnya tersenyum mengejek, mulutnya terbuka untuk menertawakan Amirul. "Kalau kau tidak bisa bayar ya sudah, berhenti saja dari sekolah!" tambah Rita, kemudian memukul pintu di depan Amirul yang masih terkejut.
Amirul berdiri sendirian di depan, hati terasa hancur. Lapar, sakit, dan takut bergabung menjadi satu. Bagaimana dia bisa melanjutkan sekolah jika tidak punya uang? Dan apakah dia benar-benar hanya seorang pekerja di rumah ini, tanpa hak apapun?
"Hey Amirul, kalau kau mau sekolah, nih bawa tasku!"
Aris, anak bungsu keluarga pemilik rumah yang selalu menyombongkan diri, melemparkan tas ranselnya dengan kekerasan.
Amirul cepat menangkapnya sebelum jatuh ke tanah, tas itu berat, penuh dengan buku-buku baru yang dia tahu Aris tak pernah sentuh. Dia menggendong tas itu dengan hati-hati, sambil menatap sepatu sekolahnya yang lusuh yang baru saja dia perbaiki kemarin.
"Sekarang, ayo buru-buru, nanti mobil macet!" teriak Aris sambil melangkah ke mobil keluarga yang mengkilap.
Amirul mengikuti dengan langkah cepat, harapan kecil muncul di hatinya. Kadang-kadang, pak supir akan membiarkannya naik di bagasi jika Aris baik hati. Tapi ketika dia hendak memegang pegangan pintu mobil, Aris menepuk tangannya dengan keras.
"Hey! Ngapain kamu ikut naik? Kamu jalan kaki sana!" Aris mengusirnya dengan tangan yang terangkat, matanya membulat seperti peluru. "Dan kamu harus cepat sampai ke sekolah, jangan terlambat membawa tas ku! Kalau telat, aku akan memberitahu ayahmu bahwa kamu malas bekerja!"
Amirul berdiri tertegun, keputusasaan meluap dari matanya. Jarak dari rumah Aris ke sekolah adalah lebih dari lima kilometer, dan dia hanya punya sepuluh menit lagi sebelum bel sekolah bunyi. Dia melihat Aris tersenyum lebar, puas dengan apa yang dia lakukan, sebelum mobil melaju meninggalkannya sendirian di tengah jalan.
Tanpa berkata apa-apa, Amirul memulai jalan dengan langkah cepat, tas Aris yang berat membuat pundaknya miring ke satu sisi. Di jalan, dia melihat teman-temannya dari sekolah menaiki sepeda atau mobil orang tuanya, sambil bercanda riang. Dia menunduk, berharap tidak dikenali.
"Amirul, kau pasti kuat. Kau pasti bisa melewati ini," gumam Amirul, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Suaranya terdengar lirih, hampir tenggelam dalam deru kendaraan yang melintas di jalan raya. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia terus berlari di pinggir jalan, mencoba mengusir perasaan berat yang terus menghantui dadanya.
Saat ia tiba di gerbang sekolah, napasnya masih memburu. Namun, yang lebih menyakitkan dari lelah fisiknya adalah tatapan tajam dan bisik-bisik yang langsung menyerangnya begitu ia melangkahkan kaki ke halaman sekolah.
"Lihat tuh, Amirul. Dulu katanya anak kesayangan keluarga Dinata, kan?" ujar seorang siswa di pojok lapangan, suaranya tidak cukup pelan untuk tidak terdengar. "Tapi, sejak anak kandung Dinata kembali, hidupnya jadi menyedihkan."
"Iya, itu lah nasib jadi anak angkat. Nggak pernah benar-benar dianggap," balas temannya dengan nada mengejek, diiringi tawa kecil.
Amirul menundukkan kepalanya, berusaha keras untuk tidak mendengarkan. Tapi kata-kata mereka seperti pisau yang terus menusuk hatinya. Ia tahu bahwa gosip ini sudah menyebar di sekolah sejak 1 tahun lalu, sejak putra kandung keluarga Dinata, Aris, kembali dan mengambil alih tempatnya di hati keluarga itu.
Dulu, sebelum Aris kembali, Amirul adalah segalanya bagi keluarga Dinata, memberikan kasih sayang yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tapi sekarang, semuanya berubah. Aris telah menggeser posisinya. Amirul tak lagi merasa seperti bagian dari keluarga itu. Ia merasa seperti orang asing di rumah yang dulu ia anggap sebagai tempat perlindungan.
"Amirul!" panggil seorang suara yang ia kenal. Ia menoleh dan melihat teman sekelasnya, Raka, berlari menghampirinya. "Hei, kau baik-baik saja? Kenapa wajahmu begitu murung?"
Amirul mencoba tersenyum, meski senyum itu jelas dipaksakan. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah."
Raka mengerutkan dahi, tahu bahwa temannya sedang berbohong. "Amirul, kau tahu kau bisa cerita padaku, kan? Jangan simpan semuanya sendiri."
Amirul hanya mengangguk pelan, tapi tak berkata apa-apa. Ia tidak ingin membebani Raka dengan masalahnya. Lagipula, apa gunanya mengeluh? Hidupnya sudah seperti ini, dan ia tidak tahu bagaimana cara mengubahnya.
Saat bel sekolah berbunyi, Amirul berjalan pelan menuju kelasnya. Sepanjang jalan, ia terus mendengar bisik-bisik dan tawa kecil dari siswa lain. Ia mencoba untuk tidak peduli, tapi sulit baginya untuk mengabaikan rasa sakit yang terus menghantui.
Di dalam kelas, ia duduk di bangkunya yang berada di pojok ruangan. Ia menatap keluar jendela, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi bayangan keluarga Dinata terus muncul di benaknya, senyum hangat mereka untuk Aris, perhatian yang dulu ia terima, dan kini hilang begitu saja.
"Amirul, kau harus kuat," bisiknya lagi pada dirinya sendiri, kali ini lebih lirih. Ia tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk bertahan, meskipun dunia seolah-olah melawan dirinya. Tapi di dalam hatinya, ia bertanya-tanya: sampai kapan ia bisa terus bertahan? Dan apakah masih ada tempat baginya di dunia ini, di mana ia benar-benar diterima apa adanya?
Sementara Aris bilang, kedua orang tuanya telah meninggal, dan ia tidak ada tempat kembali sekarang.
thanks teh 💪💪💪