NovelToon NovelToon
PESONA TETANGGA BARU

PESONA TETANGGA BARU

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"

Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.

Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.

Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23

Maya memejamkan mata, merasakan tangan Arya mengusap pinggangnya. Bisikan Arya menusuk jauh ke dalam hatinya. Sebuah tawaran tersembunyi, undangan untuk meninggalkan semua yang ia miliki dan memulai sesuatu yang baru bersama Arya.

Maya membuka mata. Arya masih menatapnya, bibirnya membentuk senyum tipis yang penuh misteri. Tangannya masih memegang pinggang Maya, sebuah sentuhan yang begitu intim.

"Tuan..." Maya mencoba berbicara, suaranya tercekat.

"Saya tahu ini mengejutkan," kata Arya, suaranya rendah dan serak. Ia melepaskan tangannya dari pinggang Maya, memberi sedikit jarak. "Tapi saya ingin Anda tahu. Jujur."

Maya menunduk, pipinya masih memerah. Ia tidak bisa menatap Arya.

"Saya harus segera pergi, Mbak Maya," kata Arya, ia melirik jam tangannya. "Rapat saya akan segera dimulai."

Maya hanya mengangguk.

Arya melangkah mendekat, lalu mengambil map di meja. Ia berjalan menuju pintu, namun sebelum keluar, ia menoleh ke arah Maya. "Sampai nanti malam, Mbak Maya."

"Sampai nanti, Tuan," bisik Maya, hampir tak terdengar.

Arya tersenyum, lalu melangkah keluar dari ruang kerja. Maya mendengar suara langkah kakinya menjauh, lalu suara pintu utama tertutup. Ia menghela napas panjang, bersandar pada meja. Seluruh tubuhnya terasa lemas.

***

Sore harinya, Maya menyelesaikan semua pekerjaannya. Jantungnya berdebar kencang menanti Arya. Ia sudah tahu apa yang akan terjadi. Ini adalah sebuah malam yang berbahaya.

Tepat pukul enam sore, ia mendengar suara mobil Arya. Ia segera membereskan sisa pekerjaannya, lalu bergegas menuju ruang tamu. Arya sudah ada di sana, mengenakan kemeja kasual berwarna biru gelap dan celana bahan yang rapi. Penampilannya terlihat santai, namun tetap elegan.

"Mbak Maya, sudah siap?" sapanya, senyum hangat terukir di bibirnya.

Maya mengangguk. "Sudah, Tuan."

"Ayo," Arya mengulurkan tangannya, sebuah isyarat untuk Maya.

Maya ragu sejenak, namun ia meraih tangan Arya. Jemari mereka bersentuhan, terasa hangat dan pas. Arya tidak melepaskan genggamannya. Ia memegang tangan Maya saat mereka berjalan menuju mobil.

Saat mereka masuk ke dalam mobil, Arya membukakan pintu untuk Maya. Sebuah perlakuan istimewa yang tak pernah ia dapatkan dari Tama. Maya merasa sedikit canggung, namun sekaligus menikmati perhatian ini.

Selama perjalanan menuju restoran, Arya tidak banyak bicara. Ia fokus menyetir, namun sesekali melirik ke arah Maya, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. Maya merasa jantungnya berdebar setiap kali Arya meliriknya.

Restoran itu terletak di pusat kota, sebuah restoran mewah dengan desain interior yang elegan. Arya memilih tempat duduk di sudut, sedikit tersembunyi dari keramaian. Suasana remang-remang, diiringi alunan musik jazz yang lembut, menciptakan suasana romantis yang kental.

"Anda suka tempat ini, Mbak Maya?" tanya Arya, setelah mereka duduk.

"Suka, Tuan. Indah sekali," jawab Maya, matanya mengagumi dekorasi restoran.

"Saya senang kalau Anda suka," Arya tersenyum. "Makanan di sini juga enak. Anda mau pesan apa?"

Maya merasa canggung membaca menu. Harganya pasti mahal. "Terserah Tuan saja. Saya ikut."

Arya terkekeh pelan. "Jangan begitu, Mbak Maya. Ini

Bukan urusan pekerjaan. Ini makan malam kita." Ia menatap Maya, matanya memancarkan kehangatan. "Pesan saja apa yang Anda inginkan. Jangan sungkan."

Maya akhirnya memilih hidangan yang paling sederhana di menu. Arya memesan hidangan yang lebih mewah, dan sebotol wine. Maya merasa semakin tidak nyaman. Ini terlalu mewah untuknya.

"Bagaimana hari ini, Mbak Maya?" tanya Arya, setelah pelayan pergi. "Pekerjaan Anda lancar?"

"Lancar, Tuan," jawab Maya.

"Bagus," Arya mengangguk. Ia menatap Maya. "Anda terlihat cantik sekali malam ini."

Pujian itu lagi-lagi menghantam Maya seperti gelombang panas. Ia mengenakan baju kurung sederhana yang ia miliki, tidak ada yang istimewa. Tapi Arya bisa membuatnya merasa begitu istimewa.

"Tuan berlebihan," kata Maya, menunduk, pipinya memerah.

"Saya tidak berlebihan," Arya tersenyum. "Saya bicara jujur." Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekat ke arah Maya. "Baju kurung itu... terlihat sangat pas di tubuh Anda. Menampilkan lekuk tubuh Anda dengan sempurna."

Maya terdiam. Ini adalah kali pertama Arya secara terang-terangan memuji keindahan tubuhnya. Pujian itu begitu vulgar, namun juga begitu memabukkan. Ia

merasakan seluruh tubuhnya meremang. Arya menatapnya dengan tatapan lapar, tatapan yang membuat Maya merasa tel4njang di bawah pandangannya.

Ia menelan ludah. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Perasaan malu dan gair4h bercampur aduk.

"Jangan sungkan, Mbak Maya," bisik Arya, suaranya rendah dan serak. "Anda memang cantik. Mengapa harus menyembunyikannya?"

Maya menggeleng pelan. Ia tidak bisa bicara.

Jantungnya berdebar kencang. Ia merasa dirinya seperti boneka di tangan Arya, di bawah kendalinya.

"Saya ingin sekali tahu lebih banyak tentang Anda, Mbak Maya," kata Arya, ia mengulurkan tangannya di atas meja, menyentuh tangan Maya. "Tentang hidup Anda.

Tentang apa yang Anda inginkan."

Maya menatap tangan Arya yang memegang tangannya. Hangat, kuat. Sebuah sentuhan yang terasa begitu berbeda dari sentuhan Tama.

"Saya... saya tidak tahu harus cerita apa, Tuan," kata Maya.

"Ceritakan saja apa adanya. Saya akan mendengarkan," Arya tersenyum. "Mulai dari... apa yang membuat Anda memutuskan untuk menikah?"

Pertanyaan itu membuat Maya terdiam. Sebuah pertanyaan yang dalam, yang jarang ia pikirkan. "Saya... saya menikah karena sudah waktunya, Tuan. Orang tua saya juga sudah mendesak."

Arya mengangguk. "Begitu? Bukan karena cinta?"

Maya merasakan pipinya memanas. "Saya... saya mencintai suami saya, Tuan." Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri, lebih dari Arya.

Arya tersenyum pahit. "Saya rasa Anda mencintai gagasan tentang cinta, Mbak Maya. Bukan cinta itu sendiri." Ia mengusap punggung tangan Maya dengan ibu jarinya. "Cinta sejati itu... lebih dari sekadar kebiasaan atau kewajiban. Itu adalah gair4h. Sebuah hasr4t yang tak terbendung."

Kata-kata Arya menusuk tepat ke ulu hati Maya.

Gair4h. H4srat. Dua hal yang sudah lama hilang dalam pernikahannya.

"Saya rasa Anda juga merindukan gair4h itu, kan?"

Arya berbisik, matanya menatap Maya dalam.

Maya tidak bisa berbohong. Ia mengangguk pelan, air mata menetes di pipinya. Ia merindukannya. Sangat merindukannya.

"Jangan menangis, Mbak Maya," Arya mengusap air mata Maya dengan ibu jarinya, sebuah sentuhan lembut yang membuat Maya merasa hangat. "Anda berhak mendapatkan gair4h itu. Dan saya bisa memberikannya pada Anda."

Pengakuan itu menghantam Maya. Sebuah janji yang berbahaya, namun begitu memikat. Arya menawarkan

sesuatu yang ia dambakan, sesuatu yang Tama tak bisa berikan.

Pelayan datang membawa hidangan mereka. Arya melepaskan tangan Maya, kembali bersikap normal. Namun, suasana di antara mereka sudah berubah. Ada ketegangan baru, sebuah sensu4litas yang tak terbantahkan.

Selama makan malam, Arya terus membahas hal-hal yang kurang didapatkan Maya dalam pernikahannya. Ia berbicara tentang pentingnya komunikasi, tentang perhatian, tentang keint!man. Setiap kata-katanya terasa seperti cerminan dari kekosongan yang Maya rasakan. Ia merasa Arya bisa membaca jiwanya.

"Suami Anda... apakah dia tahu betapa berharganya Anda, Mbak Maya?" tanya Arya, tatapannya penuh makna.

Maya menunduk. "Dia... dia sibuk dengan pekerjaannya, Tuan."

"Sibuk itu alasan," Arya tersenyum pahit. "Ketika seseorang benar-benar mencintai, ia akan selalu punya waktu. Selalu punya cara untuk menunjukkan perasaannya." Ia mengulurkan tangannya, menyentuh tangan Maya lagi di bawah meja. "Seperti ini."

Sentuhan itu membuat Maya merinding. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Ia tahu ini adalah sebuah permainan berbahaya, tapi ia sudah terlalu jauh. Ia tidak bisa mundur.

Setelah makan malam, Arya mengantar Maya pulang.

Di dalam mobil, Arya tidak banyak bicara. Ia hanya memegang tangan Maya, mengusapnya perlahan. Sentuhan itu terasa begitu menenangkan, namun juga begitu menggoda.

Saat mereka tiba di depan rumah Maya, Arya mematikan mesin mobil. Ia menoleh ke arah Maya, matanya menatapnya dalam.

"Terima kasih untuk malam ini, Tuan," kata Maya, suaranya serak.

"Sama-sama, Mbak Maya," Arya tersenyum. Ia tidak segera melepaskan tangan Maya. Ia justru menarik tangan Maya perlahan, mendekatkan ke bibirnya. Ia mencium punggung tangan Maya, sebuah cluman yang terasa begitu lembut, namun juga penuh gair4h.

Maya memejamkan mata, merasakan sensasi cluman Arya di punggung tangannya. Sebuah sensasi yang begitu berbeda dari semua sentuhan yang pernah ia rasakan dari Tama.

Arya melepaskan tangan Maya. "Malam ini, tidurlah dengan tenang, Mbak Maya," bisik Arya, matanya menatap Maya dalam. "Dan ingatlah... apa yang Anda rasakan malam ini."

Maya mengangguk, ia tidak bisa berkata-kata. Ia keluar dari mobil Arya, dan berjalan masuk ke rumahnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia tahu, malam ini, ia telah membuat sebuah langkah besar yang akan mengubah segalanya. Ia telah mencicipi sebuah rasa yang terlarang, dan ia ingin lebih.

Ia masuk ke kamar. Tama sudah terlelap di ranjang. Maya menatap wajah suaminya. Tidak ada gair4h, tidak ada percikan, tidak ada sentuhan yang memabukkan. Hanya sebuah kebiasaan, sebuah rutinitas.

Ia berbaring di samping Tama. Matanya menatap langit-langit kamar yang gelap. Pikirannya melayang pada Arya. Pada sentuhannya, pada pujiannya, pada cluman di punggung tangannya. Pada janji gair4h yang ia tawarkan. Malam ini, Maya membandingkan hubungan int!mnya dengan Tama yang monoton, dengan bayangan godaan Arya. Sebuah perbandingan yang menyakitkan, namun tak terhindarkan.

1
Mar lina
kalau sudah ketagihan
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya
lestari saja💕
klo sdh kondisi gtu setan gampang bgt masuk menghasut
lestari saja💕
ya pasti membosan kan bgt.bahaya itu
lestari saja💕
mampir,penulisannya bagus,semoga ga berbelit2
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!