Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 — Hasil yang Menghantui
Malam itu, di lantai tertinggi penthouse Arganata, keheningan terasa seperti kain beludru tebal yang mencekik. Dion duduk di kursi kulit di ruang kerjanya yang terisolasi, tangannya diletakkan di atas meja mahoni yang dingin. Di layar monitor di hadapannya, sebuah email terenkripsi dari laboratorium medis tepercaya memancarkan cahaya biru yang dingin. Judulnya sederhana, tetapi menakutkan: “Case Arganata – Nadiya: Final Report.”
Hasil tes DNA telah tiba.
Dion menatap layar itu selama hampir dua puluh menit tanpa bergerak. Biasanya, seorang eksekutif seperti dia akan segera membuka dan menganalisis data, mengambil keputusan dalam hitungan detik. Tetapi kali ini, dia lumpuh oleh rasa takut yang asing, rasa takut yang lebih mencekam daripada prospek kerugian miliaran dolar di pasar saham.
Ketakutan itu adalah dua mata pisau:
Pertama, jika hasilnya negatif, maka seluruh drama yang ia jalani, amarah yang ia rasakan, dan yang paling penting, ikatan yang baru ia rasakan dengan Arvan, akan runtuh menjadi debu. Arvan hanyalah anak yang mirip, Aira hanyalah wanita cerdas yang memanfaatkan kemiripan itu, dan Dion hanyalah pria bodoh yang tertipu. Semua epiphany di desa, semua janji untuk menjadi Ayah yang tulus, akan menjadi lelucon. Dia akan kehilangan Arvan.
Kedua, jika hasilnya positif—jika Arvan benar-benar putranya dengan kecocokan 99,98%—maka kebohongan Aira akan terbukti sebagai pengkhianatan terbesar. Dia akan menjadi Ayah dari benihnya sendiri, tetapi dia telah menyia-nyiakan empat tahun hidup mereka. Kemarahan itu akan meledak, menghancurkan gencatan senjata yang baru mereka sepakati.
Dion mengambil napas dalam-dalam. Jari telunjuknya melayang di atas mouse, tetapi ia tak mampu mengeklik. Ia menyandarkan punggungnya, memejamkan mata, dan membiarkan fragmen-fragmen kenangan di desa membanjirinya:
Wajah Arvan yang polos saat bercerita tentang Ayah yang menjadi bintang. Suara Aira yang berbisik pada jurnalnya, mengakui cinta yang ia sembunyikan. Sentuhan lembut di dahi Arvan yang sakit. Kemiripan yang tak terbantahkan.
Bagi Dion, hasil DNA tidak hanya menentukan garis keturunan. Ia menentukan validitas emosinya, validitas hubungan yang kini mulai ia yakini. Dia takut hasil positif akan merusak gencatan senjata dan memaksanya kembali menjadi tiran yang menghukum, namun dia lebih takut akan hasil negatif yang akan merenggut Arvan selamanya.
Sementara Dion bergumul dengan ketakutannya di ruang kerjanya, Aira terbaring gelisah di kamarnya. Dia tidak tahu bahwa hasil tes telah tiba, tetapi dia merasakan perubahan dalam diri Dion, perubahan yang membuatnya sangat cemas.
Sejak kembali dari desa, Dion memang menepati janjinya. Dia tidak menghukum Aira. Dia mencoba menjadi Ayah bagi Arvan. Tetapi, kelembutan itu terasa seperti jeda sebelum badai.
Aira mulai dihantui mimpi buruk. Dalam mimpinya, Dion muncul sebagai raksasa bayangan, mengambil Arvan dari pelukannya, lalu menghilang ke langit-langit penthouse yang tinggi. Ia bangun dengan keringat dingin, berlari ke kamar Arvan hanya untuk memastikan putranya masih di sana.
Malam itu, Aira tidak bisa tidur. Dia bangun, menyeduh teh hangat, dan duduk di balkon kamarnya, memandangi lampu-lampu kota yang berserakan.
Dia tahu mengapa dia gelisah. Pengakuan yang ia berikan di desa telah membuatnya rentan. Dia telah menunjukkan kelemahannya, cintanya yang tersembunyi, dan kini Dion memegang semua kartunya. Jika Dion memutuskan untuk kembali menjadi pria yang kejam, Aira tidak punya pertahanan. Dia tidak bisa melarikan diri, karena dia telah berjanji.
Aira menghela napas. Dia merindukan Neneknya, merindukan bau tanah basah.
“Ya Tuhan,” bisik Aira pada keheningan malam. “Tolong, jangan biarkan dia merenggut Arvan. Aku akan melakukan apa saja.”
Dia tahu, Dion tidak akan pernah benar-benar percaya padanya sampai dia melihat bukti ilmiah. Dan tes DNA, yang ia minta sebelum keberangkatan mereka ke desa, adalah penentu nasib mereka. Aira berdoa agar kebohongan yang ia ciptakan tidak harus dibayar dengan perpisahan.
Kembali ke ruang kerja, Dion akhirnya mengambil keputusan. Dia tidak bisa hidup dalam ketidakpastian. Kepastian, entah itu kepastian kebohongan atau kepastian garis keturunan, jauh lebih baik daripada siksaan keraguan ini.
Dengan jari yang gemetar, Dion mengeklik email itu, memasukkan kata sandi enkripsi yang panjang. Dokumen PDF itu terbuka.
Dia tidak membaca pendahuluan. Matanya langsung mencari kata kunci, melewati jargon ilmiah dan diagram teknis yang tidak berarti baginya.
Di bagian paling bawah, di bawah kesimpulan yang dicetak tebal, dia menemukan kalimat penentu:
KESIMPULAN: Probabilitas bahwa Tuan Dion Arganata adalah Ayah Biologis dari Tuan Muda Arvan Nadiya adalah 99,98%.
Waktu berhenti. Dunia luar, suara sirene kota yang jauh, detak jam dinding—semuanya lenyap. Hanya ada dua kalimat itu yang tercetak di retina Dion.
Putraku.
Dion merasakan ledakan emosi yang tak tertahankan. Itu adalah campuran aneh antara kemenangan mutlak (dia benar, dia bukan orang gila) dan kekalahan total (dia telah menjadi tiran bagi putranya sendiri selama berminggu-minggu).
Kemarahan datang terlebih dahulu. Kemarahan yang begitu membakar sehingga hampir membuatnya buta. Empat tahun! Empat tahun penuh kebohongan! Aira tidak hanya menyembunyikan identitasnya, dia menyembunyikan darah Arganata dari pewarisnya yang sah. Dia telah mengambil hak asuh seorang CEO yang paling ditakuti di Asia.
Dion bangkit terlalu cepat, kursinya terlempar ke belakang dan menghantam dinding dengan keras.
Di tangannya, ia memegang gelas kristal berisi air dingin. Gemetar karena emosi yang tak tertahankan, Dion meremas gelas itu. Suara pecahannya memekakkan telinga dalam keheningan yang dingin. Potongan kristal dan air tumpah ke lantai.
Dion tidak peduli dengan rasa sakit. Dia menatap tangannya yang berdarah, darah merah kental yang mengalir di sela-sela jarinya. Darah yang sama yang mengalir di pembuluh nadi Arvan.
Dia akhirnya tahu kebenaran. Kebenaran yang membuatnya marah, bingung, dan sangat kesakitan.
Dion menundukkan kepalanya, napasnya memburu. Ia merasakan kemarahan ingin menghancurkan segala sesuatu di ruangan itu. Ia ingin menarik Aira ke sini dan menuntut setiap detik yang ia curi.
Dion menatap tangannya yang berlumuran darah, dan kalimat terakhir yang ia ucapkan terasa seperti bisikan yang mematikan.
“Aira… bagaimana bisa kau menyembunyikan darahku sendiri?”
semoga cepet up lagi