Seharusnya Marsha menikah dengan Joseph Sebastian Abraham, seorang duda dengan anak satu yang merupakan founder sekaligus CEO perusahaan kosmetik dan parfum ternama. Setidaknya, mereka saling mencintai.
Namun, takdir tak berpihak kepadanya. Ia harus menerima perjodohan dengan seorang Presdir yang merupakan rekan bisnis ayahnya.
Saat keluarga datang melamar, siapa sangka jika Giorgio Antonio Abraham adalah kakak kandung pria yang ia cintai.
Di waktu yang sama, hati Joseph hancur, karena ia terlanjur berjanji kepada putranya jika ia ingin menjadikan Marsha sebagai ibu sambungnya.
~Haaai, ini bukuku yang ke sekian, buku ini terinspirasi dengan CEO dan Presdir di dunia nyata. Meskipun begitu ini hanya cerita fiksi belaka. Baca sampai habis ya, Guys. Semoga suka dan selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Perubahan Giorgio
Pagi itu, di depan restoran hotel yang tadinya tenang, tiba-tiba berubah menjadi tegang.
Sebuah suara yang keras menggema. Membuat para tamu hotel yang sedang menikmati sarapan langsung menoleh ke arah sumber suara.
Joseph yang berdiri di tempatnya, dengan wajah menoleh ke samping. Tak lama berselang, ia meraba pipinya sendiri yang mulai memerah.
Ada bekas jari yang tertinggal di pipi putih pria itu.
"Jaga ucapanmu, Joseph! Suamiku memperlakukan kamu dengan baik, dia menghormati kamu meski kamu adalah adiknya tapi apa yang kamu lakukan? Ini hinaan!" desis Marsha dengan mata yang mulai memerah dan suaranyapun mulai terdengar bergetar.
Joseph menatap dengan sorot mata yang entah apa artinya. "Aku mengatakan yang sebenarnya."
Belum sempat Marsha membalas, tetapi suara langkah kaki mendekat membuat bibir gadis itu terkatup rapat.
"Marsha!"
Giorgio berlari sambil memasang ekspresi khawatir. Begitu jaraknya sudah dekat dengan istrinya, Gio langsung menggapai tangan istrinya.
"Sayang, ada apa?" tanyanya, sambil menatap Joseph dengan tatapan tajam.
Napas Marsha masih memburu, tangannya terlihat gemetar, akibat emosinya meluap-luap baru saja.
Tak mau menunggu lama, Gio langsung menarik istrinya agar mengikutinya.
"Kita sarapan dulu, ya? Masalah Joey, nanti aku yang urus."
Marsha yang masih belum Red emosinya, menatap Joseph dengan napas tak beraturan.
Namun, sentuhan Giorgio yang terasa hangat membuat emosinya mereda. Meskipun enggan, akhirnya ia mau melangkah pergi, mengikuti kemauan suaminya.
Namun, saat mereka berbalik, Erika datang mendekat. Ia langsung menyentuh bahu Marsha.
"Marsha, aku ingin bicara sebentar," tuturnya dengan nada lembut tapi memberi kesan tegas.
Marsha kemudian menoleh ke arah Giorgio seolah meminta izin. Mulanya pria itu terdiam sesaat, lalu kemudian mengangguk pelan.
"Aku tunggu di meja," kata Erika kemudian.
Sebelum kakak tertua Giorgio dan Joseph itu pergi, ia menatap tajam ke arah adik bungsunya. Tatapan mata tajam yang sulit diartikan.
***
Setelah memastikan Marsha menjauh bersama kakak perempuannya, Giorgio langsung menghadapi Joseph.
Pria tegas itu menatap adiknya dengan tatapan tajam tak seperti biasa. Ada amarah yang tertahan di dalamnya.
"Kenapa Marsha sampai menamparmu?" tanya Gio dengan kening berkerut, seolah penuh selidik.
Joseph langsung menahan lengan kakaknya, seolah berusaha menahan emosi Kakaknya yang terlihat jelas dari guratan wajahnya.
Giorgio sebenarnya sudah tahu kenapa Marsha sampai semarah itu. Ia sempat mendengar percakapan keduanya karena jarak mereka tidak begitu jauh.
"Suamimu itu bukan pria normal."
Namun, ia ingin mendengarkan langsung penjelasan itu dari bibir Joseph.
Lalu, Giorgio menatap kakaknya dengan tatapan mata yang sulit diartikan. Kemudian ia tersenyum kecil.
"Aku mengatakan aku menyukai istrimu," katanya dengan santai.
Giorgio terdiam sejenak.
Mencoba memahami makna setiap rangkaian kalimat yang diucapkan oleh adiknya.
Namun, hal yang membuat Giorgio jesal adalah, ia melihat ekspresi adiknya yang memberikan kesan santai tanpa rasa bersalah.
Semua itu membuat darah Giorgio berdesir. Ada amarah yang ingin ia luapkan seandainya ia tidak berada di keramaian.
"Aku tidak peduli dengan apa yang kamu rasakan," katanya dengan sikap yang lebih tenang meski hatinya bergejolak, "Marsha itu sekarang adalah istriku, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya. Termasuk kamu, Joey!"
Joseph masih tersenyum mendengarnya, tetapi kali ini ada ketegangan yang tercipta antara kakak beradik yang terjebak cinta dengan wanita yang sama itu.
"Bisakah kamu menjaganya? Mencari tahu yang sebenarnya tentang perasaan Marsha?" tanya Joseph, suaranya sangat lirih, nyaris terdengar seperti sedang berbisik.
"Aku bukan tipe pria yang membiarkan istrinya mengganggu orang lain. Jadi jangan cemas, kupastikan ia hanya akan memilikiku."
Setelah menegaskan status dan posisinya sebagai seorang suami, Giorgio pergi dan menghampiri Marsha yang ternyata lebih dulu sarapan dengan kakak Giorgio, Erika.
Keduanya tampak bercengkarama santai. Tapi, Giorgio adalah orang yang benci menduga-duga.
"Sya, mau sarapan di luar engga? Sekalian kita langsung pergi. Aku ada kejutan buat kamu," tuturnya, sambil melirik sang kakak.
"Gio, kamu gak lihat dia masih sarapan denganku?" Erika menatap adiknya dengan tatapan mengintimidasi.
"Suasana di sini sedang tidak kondusif sekarang, Ce. Nasehati saja si bungsu. Masalahnya bukan ada pada istriku," cetusnya, membuat bibir Erika ternganga.
Marsha mengurungkan niat menyuapkan bubur ke dalam mulutnya. Ia memilih mengangkat dagu, lalu mulai bangkit dari tempat duduknya.
"Ce Erika cuma ngobrol biasa kok sama aku, Mas. Ayo kalau mau makan di tempat lain, biar aku temani," katanya yang langsung menggapai tangan yang diulurkan oleh Gio sebelumnya.
"Tuh, dengerin istri kamu. Masalahmu sama Joey, gak perlu marah-marah sama aku!" seru Erika dengan raut merengut.
"Permisi, saya tinggal nemenin suami dulu," pungkas Marsha.
Sementara Giorgio, ia memilih diam dan melenggang begitu saja. Bahkan meski beberapa tamunya yang pagi tadi menyapa ia terkesan cuek dan mengabaikan mereka.
Di dalam mobil, ia begitu perhatian pada Marsha. Membuat gadis itu canggung setiap kali pria itu menunjukkan sikap perhatiannya.
Seperti ketika akan memasang seat belt untuk Marsha, kepalanya menunduk, hingga jarak keduanya terkikis sangat dekat.
Marsha refleks memejamkan matanya.
"Sya, apa kamu takut padaku?" tanyanya, tatapan matanya begitu teduh.
Seolah mengisyaratkan perasaan cemas di dalam dada.
Seketika Marsha membuka matanya.
"Ah, enggak. Aku cuma gugup," tegas Marsha mengatakan perihal perasaannya.
Seperti biasa, Giorgio selalu ditemani seorang sopir pribadi ke manapun ia pergi. Hanya dengan aba-aba lambaian tangan, mobil pun mulai melesat cepat melewati gedung-gedung tinggi pencakar langit.
Marsha mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela.
Namun, ia kembali terkejut ketika Giorgio menyentuh punggung telapak tangannya.
"Marsha, apa yang dikatakan Joey itu tidak sepenuhnya benar. Aku ingin kamu tahu jika selama ini rumor yang beredar tentangku begitu kejam," terangnya sambil menegakkan posisi duduknya.
Marsha langsung menoleh ke arahnya sambil tersenyum.
"Tenang saja, aku bukan orang kolot yang mudah percaya dengan rumor murahan."
Kemudian semua menjadi hening.
Sopir pribadi Giorgio penasaran, mereka berdua sudah membelah jalanan ramai sekita lima belas menit lamanya, tetapi Gio tidak sedikitpun mengatakan tentang di mana tujuannya akan pergi.
Merasa tak enak, sopir melirik ke spion mobil. Beruntungnya, Giorgio yang sudah bertahun-tahun memakai seorang sopir pribadi yang setia, paham dengan maksud tatapan mata itu.
"Ke rumah baru saya, Pak!" perintahnya, membuat Marsha terperangah.
"Loh, katanya mau sarapan dulu di tempat lain? Kenapa malah ke tujuan yang beda? Randem banget sih kamu orangnya," cetus Marsha sedikit kesal.
"Aku ingin tunjukkan sesuatu sama kamu, sesuatu yang cuma aku yang tahu. Bahkan keluargaku sendiripun belum tahu ini," ungkap Giorgio kemudian menyunggingkan senyuman ramah.
Meskipun begitu, dari sorot matanya yang teduh dan dipenuhi embun saat bicara, Marsha bisa tahu jika pria di sampingnya ini sedang sedih.
Bagaimana tidak? Ia dituduh penyuka sesama jenis oleh keluarganya sendiri. Miris.
Bersambung....