Genre : Misteri, Thriller, Psikologis, Supranatural
Sinopsis :
Setelah suaminya meninggal didalam kecelakaan yang tragis. Elysia berusaha menjalani kehidupan nya kembali. Namun, semuanya berubah ketika ia mulai melihat bayangannya bertingkah aneh dan bergerak sendiri, berbisik saat ia sendiri, bahkan menulis pesan di cermin kamar mandinya.
Awalnya Elysia hanya mengira bahwa itu halusinasi nya saja akibat trauma yang mendalam. Tapi ketika bayangan itu mulai mengungkapkan rahasia yang hanya diketahui oleh suaminya, dia mulai mempertanyakan semuanya. Apakah dia kehilangan akal sehatnya ataukah ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang sedang berusaha kuat untuk berkomunikasi dengannya.
Saat Elysia menggali hal tersebut lebih dalam dia menunjukkan catatan rahasia yang ditinghalkan oleh mendiang suaminya. Sebuah pesan samar yang mengarah pada sebuah rumah tua dipinggiran kota. Disanalah ia menemukan bahwa suaminya tidak mati dalam kecelakaan biasa. Akan kah Alena mendekati jawabnya???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azka Maftuhah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 - SURAT DARI MASA YANG HILANG
Hujan turun deras ketika Elysia kembali ke rumah peninggalan ibunya yang berada di pinggiran kota. Rumah itu sudah lama tidak ditinggali, kayu jendela mulai lapuk, debu menempel di setiap sudut, dan bau kelembaban memenuhi udara. Namun di balik semua keheningan dan kenangan masa kecil, ada satu hal yang belum pernah ia sentuh sejak ibunya meninggal yaitu sebuah kotak besi tua di bawah lantai ruang baca.
Ia membongkar papan lantai satu per satu, seperti menelusuri waktu. Hatinya berdebar saat jemarinya menyentuh benda dingin itu. Kotak itu berat, terkunci, dan berkarat. Namun ia tahu kuncinya adalah kalung kecil yang selama ini menggantung di lehernya.
Dengan satu putaran pelan, kunci masuk dan kotak terbuka.
Di dalamnya, hanya ada satu amplop cokelat tua dan sebuah kaset rekaman mini. Tangan Elysia gemetar saat mengambil surat itu. Tulisannya jelas: Untuk Alana, saat kau sudah siap.
Ia membuka surat itu perlahan, dan membaca:
> Elysia sayang,
Jika kau membaca ini, artinya kau sudah memasuki dunia yang selama ini kusembunyikan darimu. Maafkan Ibu. Dulu ibu memilih diam, agar kau bisa tumbuh tanpa bayangan kami. Tapi dunia tak sebaik itu.
Kamu harus tahu, bahwa semua yang terjadi padamu… bukan hanya sebuah kebetulan.
Aku dan Ayahmu pernah menjadi bagian dari proyek rahasia yang disebut Reflektor. Kami berpikir itu demi ilmu pengetahuan, demi menyembuhkan trauma, menyatukan ingatan yang pecah. Tapi mereka ingin lebih. Mereka ingin menciptakan manusia yang bisa “merekam” kesadaran dan memanipulasinya.
Kamu… adalah bagian dari eksperimen itu.
Dan… bukan hanya kau.
Air mata mengaburkan pandangan Elysia. Surat itu belum selesai.
> Kau punya saudari, Elysia. Bukan Ressa… tapi seseorang yang mungkin masih hidup. Kami pisahkan kalian sejak bayi, karena ancaman dari organisasi bayangan yang kami sebut hanya dengan satu huruf : E.
Jika kau masih bisa mempercayai siapa pun, carilah seseorang bernama Elsa. Dia pernah bersumpah akan melindungimu.
Dan ingat : bayangan tak selalu gelap. Kadang, mereka cuma butuh cahaya untuk jadi utuh.
Tangan Elysia terhenti. Di luar, petir menyambar langit.
Ressa bukan satu-satunya saudara?
Elsa? Siapa dia?
Ia menatap kaset rekaman. Masih belum yakin akan isinya, tapi kini segalanya berubah. Masa lalunya lebih dalam dari sekadar trauma.
Malam itu, ia duduk di bawah lampu temaram, memutar rekaman dengan alat pemutar lama yang ia temukan. Suara ibunya terdengar lembut tapi penuh tekanan.
> "Kita pikir bisa lari dari masa lalu. Tapi masa lalu bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan. Ia mengikuti… atau lebih tepatnya, hidup di dalam darah kita."
Elysia tak bisa tidur malam itu. Ia tahu satu hal bahwa pencariannya belum selesai. Dan mungkin... justru baru saja dimulai.
Pagi harinya, Elysia masih terpaku dengan apa yang ada di depannya, yaitu sebuah alat pemutar kaset. Ia telah memutar rekaman itu berulang kali, mencari arti dari setiap jeda, setiap helaan napas ibunya yang terekam. Suara Ressa begitu nyata dalam pikirannya dan kini suara ibunya kembali menyusul, seakan masa lalu tak pernah benar-benar pergi.
Tiba-tiba, ia teringat sesuatu—kotak musik tua milik ibunya yang dulu diletakkan di lemari bawah. Ia bergegas membuka lemari itu, dan di sana, kotak itu masih ada. Bentuknya seperti biasa, namun saat ia memutar tuas di sampingnya, melodi tak keluar. Hanya bunyi mekanik kosong.
Lalu, di balik lapisan beludru dalamnya, ada celah kecil. Ia membuka dengan hati-hati, dan menemukan potongan kertas kecil, tergulung rapat. Tulisannya cepat dan hampir pudar:
"Jika kamu menemukan ini, itu artinya waktu kita habis. Segala yang kalian cari ada pada ‘pintu kelima’. Hati-hati pada suara yang menyamar jadi kenangan. Mereka tidak hidup, tapi mereka mengamati."
Pintu kelima? Suara yang menyamar jadi kenangan?
Kalimat itu mengguncang pikirannya.
Ia mengingat rumah sakit tempat Ressa dulu dirawat. Ada ruangan rehabilitasi sensorik dengan lima lorong bercabang. Ia, Edric, dan Satrio pernah menyusuri tiga di antaranya. Lorong keempat sedang direnovasi. Tapi lorong kelima? Selalu terkunci.
Hingga kini.
Tanpa pikir panjang, Elysia menghubungi Satrio.
“Aku butuh bantuanmu. Aku harus masuk ke lorong kelima itu.”
Satrio, yang kini semakin khawatir dengan perkembangan semua ini, terdiam sebentar.
“Elysia, kau yakin? Apa yang kau cari di sana?”
“Jawaban,” katanya singkat.
Beberapa jam kemudian, mereka bertemu di depan gedung tua bekas rumah sakit itu. Meski kini tak beroperasi, sebagian staf dan penjaga masih sering berjaga karena penelitian medis yang belum selesai. Satrio menggunakan akses lamanya untuk menyusup masuk tanpa banyak pertanyaan.
Lorong kelima berada di bagian paling belakang. Gerbang logamnya berkarat, dan tanda “TERLARANG” masih tertempel di pintu. Tapi di baliknya, sebuah kenyataan menunggu.
Begitu mereka masuk, hawa dingin menyergap. Cahaya redup dari lampu kuning menggantung di langit-langit lorong panjang.
Lantai koridor dipenuhi lukisan anak-anak yang tergambar di dinding—semuanya dengan tema yang sama: bayangan, cermin, dan sosok perempuan berdiri di tengah-tengahnya. Beberapa lukisan bahkan menampilkan dua anak perempuan yang mirip… sangat mirip.
“Elysia apakah ini kamu dan Ressa?” bisik Satrio.
Elysia mendekat. “Tidak. Ini bukan kami. Ini orang lain.”
Di ujung lorong, mereka menemukan sebuah pintu kayu bertuliskan angkav: 5B.
Dengan jantung berdegup kencang, Elysia membuka pintu itu.
Di dalam, mereka menemukan sebuah kamar kecil berisi tempat tidur, mainan boneka, dan… kotak surat tua yang dipaku di dinding.
Dan di dalamnya, tertulis satu nama.
ELSA.
Elysia mendekat ke kotak surat itu. Debu menutupi sebagian besar permukaannya, namun nama "ELSA" tertulis dengan jelas, seolah sengaja dipahat untuk bertahan dari waktu.
Satrio melirik Elysia. “Siapa Elsa?”
“Aku belum pernah dengar nama ini dalam catatan rumah sakit... atau dalam cerita Mama,” jawab Elysia pelan. Tapi sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang dalam dan tak bisa dijelaskan, mengatakan bahwa nama itu penting.
Ia membuka kotak surat itu perlahan.
Di dalamnya ada beberapa kertas lusuh, tertulis dengan tulisan tangan yang mirip tulisan anak-anak. Namun ada satu surat yang berbeda—tertulis dengan tinta hitam tebal, rapi, dan menyimpan kekuatan yang aneh.
> Untuk yang menemukannya…
Namaku Elsa. Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku tahu segalanya.
Mereka pikir aku gila. Tapi aku hanya bisa melihat apa yang tak bisa mereka lihat.
Ressa bukan yang pertama.
Ada anak-anak lain. Semua mereka kirim ke tempat ini. Semua mereka coba ‘hapus’. Tapi ingatan itu tak bisa dimusnahkan.
Jika kau baca ini, berarti bayangan belum selesai. Mereka masih mengintai. Masih mencari wadah baru.
Surat itu berhenti di situ.
Elysia gemetar saat membacanya. “Anak-anak lain? Apa maksudnya... mereka semua mengalami hal serupa dengan Ressa?”
Satrio mengepalkan tangan. “Ini... lebih dari sekadar trauma atau gangguan psikologis. Ini sistematis.”
Di sisi lain ruangan, Elysia menemukan album foto tua yang tampak lusuh, sampulnya sobek. Ia membukanya satu per satu. Ada anak-anak dengan wajah tertawa, memakai pakaian rumah sakit. Tapi semakin ia membuka halaman, semakin gambar-gambar itu berubah, wajah-wajah senyum itu menjadi kosong, lalu hitam, lalu... tidak manusiawi. Seolah sesuatu telah menghapus identitas mereka.
Dan di halaman terakhir, ada foto seorang anak perempuan berambut keriting pendek, memegang cermin kecil.
Di belakang foto, tertulis:
ELSA – pasien 000-Φ
Satrio menghela napas. “Dia tahu. Dia pernah ada di tempat yang sama seperti Ressa. Mungkin... bahkan sebelum semuanya dimulai.”
Mereka menoleh ke sekeliling ruangan. Atmosfernya mulai berubah. Udara menjadi lebih berat, seolah menghisap mereka kembali ke dalam kenangan yang tertinggal.
Elysia tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang mengawasinya. Bukan dari ruangan, tapi dari dalam dirinya.
Suara kecil, familiar, namun bukan miliknya, berbisik dalam hati :
> “Apa kau pikir ini hanya tentang Ressa?”
Ia menutup matanya. Dalam kegelapan pikirannya, ia melihat gambaran singkat, anak-anak lain, ruangan putih, eksperimen, dan satu sosok berdiri di balik cermin, mengamati mereka semua.
Bayangan itu... memiliki wajah.
Dan wajah itu... mirip dengannya.