Valeria Sinclair, seorang pengacara berbakat dari London, terjebak dalam pernikahan kontrak dengan Alexander Remington—CEO tampan dan dingin yang hanya melihat pernikahan sebagai transaksi bisnis. Tanpa cinta, tanpa kasih sayang.
Namun, saat ambisi dan permainan kekuasaan mulai memanas, Valeria menyadari bahwa batas antara kepura-puraan dan kenyataan semakin kabur. Alexander yang dingin perlahan menunjukkan celah dalam sikapnya, tetapi bisakah Valeria bertahan saat pria itu terus menekan, mengendalikan, dan menyakiti perasaannya?
Ketika rahasia masa lalu dan intrik keluarga Alexander mulai terkuak, Valeria harus memilih—bertahan dalam permainan atau pergi sebelum hatinya hancur lebih dalam.
🔥 Sebuah kisah penuh ketegangan, gairah, dan perang hati di dunia penuh intrik kekuasaan. 🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leona Night, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Informasi yang Menyakitkan
Alexander’s POV
Dua minggu telah berlalu dari pertengkaran hebat yang terjadi antara aku dan Valeria. Secara fisik, dia sudah pulih seperti semula. Hanya kadang saja dia masih pusing, itu jika aku mengajaknya beraktifitas terlalu lama. Cap tanganku di leher dan pundaknya juga sudah hilang. Penyangga leher yang dianjurkan dokter untuk dia pakai juga sudah dilepas. Intinya dia sudah pulih. Tapi satu hal yang aku tidak bisa mengobati, yaitu luka batin.
Luka batin Valeria sedemikian parah, dan mendalam. Sehingga dia tidak pernah lagi berbicara sepatah kata pun padaku. Bahkan sekedar untuk menjawab salam selamat pagi. Seperti malam ini, dia persis ada di hadapanku tetapi sama sekali tidak mau melihat ke arahku bahkan hanya untuk sekedar senyum pura pura.
“Tidak bisakah kau menjawab pertanyaanku dengan kata kata dan bukan hanya gelengan kepala dan anggukan?” tanyaku padanya.
Valeria memandangku dengan tatapan tidak suka lalu berkata,” Aku tidak dengar kau bicara apa?”
“Apakah lehermu masih sakit?’ tanyaku ulang.
“Ya kadang dia tiba tiba kaku dan tidak bisa digerakkan dengan luwes. Tapi aku sudah tanya pada dokter yang merawatku, menurutnya itu lumrah karena Pasca trauma berat, urat syaraf leher butuh waktu untuk kembali seperti semula,”
“Apakah kau masih sering vertigo Val?” tanyaku singkat
“Tidak, syukurlah sudah tidak pernah lagi,”
“Aku senang mendengarnya,”
Setelah menghabiskan makannya seperti dugaanku dia kembali ke kamarnya dan mengurung diri di sana. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku rindu padanya. Ternyata silent treatment itu sungguh menyiksa batin. Aku salut selama ini dia sabar dan bertahan menerima perlakuan itu dariku. Namun aku bukan dia, aku tidak bisa menerima perlakuan macam itu. Aku harus bicara padanya, mendengar dia bercerita lagi dan tersenyum seperti dulu.
Perlahan aku naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya. Aku mengganti bajuku dengan baju tidur dan berbaring diatas tempat tidurnya. Sengaja aku lakukan ini, kalau pun dia berani, aku ingin dia mengusirku. Namun aku pastikan dia akan gagal.
Seperti dugaan ku, dia sangat terkejut ketika keluar dari kamar mandi dan melihat aku berbaring di tempat tidurnya.
“Ohw…..apa yang kau lakukan di sini Alex?” tanyanya
“Apa yang kau lihat? Jelas aku ingin tidur,” jawabku singkat
“Kau bisa tidur di kamarmu. Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa kita akan tidur di kamar yang berbeda?”
“Aku merubah aturan itu. Aku ingin tidur bersamamu. Ingat kau adalah istri Sah Mrs Remington.”
Seketika wajah Valerie memerah karena emosi dan persis seperti dugaanku dia berjalan ke arah pintu hendak keluar kamar. Tapi aku sudah menguncinya.
Dia menoleh ke arahku dan bertanya,” Mengapa pintu ini terkunci. Kau sudah merubah kodenya?”
Aku mengangguk, lalu turun dari tempat tidur kemudian mendekatinya. Dia tampak panik dan wajahnya mulai memerah. Aku tahu dia emosi , tapi aku sudah bertekad untuk menerima kemarahannya, menjadikan diriku samsak amarahnya yang bertubi tubi, asalkan dia berbicara dan tidak diam membisu.
Aku berdiri di hadapannya dan berkata,” Aku ingin tidur disini, bersama istriku. Tidak salah bukan?”
“Sejak kapan kau menganggapku istrimu? Bukannya seperti perkataanmu selama ini, bahwa aku bukan siapa siapa? Bahwa aku tidak penting?”
Nafasnya naik turun, dan matanya mulai berkaca kaca. Aku sengaja diam saja dan memberi dia kesempatan meluapkan amarah serta kekecewaannya padaku. Aku memang pantas untuk itu.
“Kau masih ingat bukan saat malam Valentine? Aku menyerahkan diriku padamu dengan tulus. Aku memberikan kegadisanku padamu. Walau aku tahu kau tidak berhak. Karena kau sendiri melebeli dirimu bukan suami ku, dan perkawinan kita hanya sandiwara?”
“Ya , sayang aku ingat semuanya,” ujarku pelan
“Jangan panggil aku sayang. Kau tidak mencintaiku. Kau ingat apa yang kau katakan padaku setelah malam Valentine yang sangat berarti bagiku itu? Kau ingat?” teriaknya dengan nada tinggi.
Aku memegang pundaknya, tapi dia buru buru menepis tanganku.
“Kau berkata semua itu tidak ada artinya bagimu. Kau bilang semua itu bagian dari Klausul dan dimungkinkan atas dasar mau sama mau. Sekarang kau memanggilku istrimu? Kau gila Alex.Kau gila,”
Aku menatapnya dalam dalam dan berkata, “Luapkan seluruh kemarahanmu padaku, asal kau tidak menghukumku lagi dengan diam mu,”
Dia menangis menjadi jadi dan memukul dadaku serta mendorongku pergi. Tapi makin dia mendorongku makin aku mendekatinya dan memeluknya. Akhirnya dia lelah, dan menangis di dadaku. Aku memeluknya dan mengusap punggungnya lembut.
“Menangislah sayang, kau memang kayak untuk itu. Aku memang salah,”
Setelah cukup lama menangis, aku menggendongnya seperti anak kecil dan menidurkannya di ranjang. Lalu kucium lembut kening dan bibirnya.
“Aku hanya ingin bersamamu malam ini. Menjagamu dan menidurkanmu. Tidurlah jangan berpikir apa apa lagi. Aku ada disini menemanimu,” ujarku sambil mengelus punggungnya sehingga seluruh ketegangannya hilang dan dia pun tertidur.
*****
Valeria’s POV
Hubunganku dengan Alex mulai membaik. Dia begitu keras berupaya untuk mendapatkan maaf dariku. Aku sendiri tidak tega membiarkan dia menghiba hiba terus. Disamping itu, aku juga masih mencintai dia. Walaupun aku tahu dari mulutnya hingga hari ini belum pernah sekalipun dia mengucapkan kata cinta. Tapi sikapnya sungguh manis dan memabukkan.
Dua hari lalu aku menerima undangan pameran lukisan dari sebuah galeri seni di Paris ini. Pengirim undangan bernama Vivian ini, sepertinya dia adalah seorang seniman. Dalam hatiku sebenarnya muncul rasa curiga, tetapi aku menepisnya. Siapa tahu undangan ini dikirim karena aku istri Alex yang merupakan donatur dari beberapa galeri seni di sini.
Tanpa curiga aku mendatangi Gallery seni ‘Galerie des Rêves Éphémères’ yang berlokasi di Place de l'Inspiration Éternelle sebuah gedung pusat kesenian yang dilengkapi dengan ruang pertemuan dan Cafe.
Sesampainya di sana, seorang wanita yang bernama Vivian menyambutku dengan ramah, lalu setelah mengisi buku tamu dan beramah tamah seperlunya, dia membawaku keliling melihat lukisan yang dipamerkan dan setelah itu mengajak ku duduk di Cafe yang tampak Estetika.
Dia memesan Champagne untuk kami dan beberapa kue kecil.
Vivian menyesap sampanye, menatapku dengan sorot simpatik lalu membuka pembicaraan.
"Aku bisa melihatnya dari sorot matamu, Sayang… Kau tidak bahagia, bukan?"
Aku mengernyit, dan sedikit merasa tidak nyaman dengan statementnya.
"Aku tidak tahu apa maksudmu,” jawabku singkat
Vivian tersenyum, penuh pengertian, setelah menghembuskan rokoknya dia pun kembali berkata, "Aku pernah bekerja dengan Remington Steel Corp selama bertahun-tahun, dan aku tahu bagaimana pria seperti Alexander memperlakukan wanita dalam hidupnya."
Setelah meneguk Champagne, dia lalu berujar, “ Alexander gemar mengontrol, mendominasi, dan saat dia merasa kehilangan kendali, dia bisa saja menyakiti orang-orang yang paling dekat dengannya."
Aku mulai merasa ada yang salah dari pertemuan ini. Aku tidak nyaman dengan gestur tubuh dan tutur kata Vivian. Tiba tiba dia mengambil tasnya dan menunjukkan sesuatu dari ponselnya padaku.
Sebuah foto—Alexander dengan seorang wanita ( bukan diriku) di sebuah klub malam di Paris, diambil beberapa hari yang lalu.
“Lihat itu? Dia Alexander bukan? Dia biasa sok sibuk dan pulang malam, seolah dia sedang meeting atau ada rapat penting. Tetapi sejatinya dia adalah pria liar yang senang berkeliaran di tengah malam mencari mangsa untuk memuaskan hasratnya yang tak terkendali”
Aku menatap gambar Alex dengan wanita di ponsel itu dengan ekspresi yang ku upayakan sedatar mungkin. Setelah puas menunjukkan gambar itu, dan mengirimnya padaku, dia kembali mengatakan sesuatu yang membuatku mual.
“Alexander Remington adalah Predator Sex sayang. Dia akan melahap perempuan mana saja untuk memuaskan hasratnya. Dia suka membawa mereka di Paviliun bagian belakang mansionnya. Dia gemar berpesta sex disana.”
Aku menunduk dan mencecap Champagne ku perlahan untuk mengalihkan perasaan tidak nyaman.
Vivian menatapku dengan sorot mata simpatik yang jelas tampak dibuat-buat.
"Kau pikir dia benar-benar berubah? Kau pikir kau bisa menyelamatkannya? Omong kosong Darling. Hanya soal waktu saja dia akan mencampakkanmu. Dia menikahimu hanya untuk warisan keluarganya yang mempersyaratkan itu. Aku yakin dia tidak benar benar mencintaimu. Berhati hatilah sayang, jangan sampai kau tertipu lelaki hidung belang macam Alex.”
Aku menghela nafas panjang, dan menghabiskan minumanku lalu aku berkata,” Terimakasih atas nasehatnya. Aku sudah menangkap apa tujuanmu. Aku rasa sudah waktunya aku undur diri.”
Meskipun aku tahu pasti bahwa perkawinanku dan Alex adalah sebuah kontrak bisnis, tetapi Vivian membidik ku tepat pada sasaran. Sungguh aku merasa sangat kecewa dan kali ini susah bagiku menyembunyikannya.
Sekuat tenaga aku menahan air mataku menetes hingga aku masuk dalam mobil yang mengantarku pulang. Aku tidak menyangka bahwa Alex tega merenggut kegadisanku di tempat tidur yang biasa dipakainya untuk berpesta sex dengan banyak wanita Random diluar sana. Aku sungguh menyesal dia melakukan hal itu.
Sesampainya di mansion aku langsung menuju kamar mandi, merendam diriku didalam Bathup air hangat dan berusaha membersihkan badanku dari kemungkinan sisa sisa aroma Alex dan wanita wanita itu (walau pasti itu sudah tidak ada karena sudah sebulan berlalu). Aku merasa jijik, pada diriku sendiri. Setidaknya secara emosi aku ingin lepas dari vibrasi yang mungkin masih ada.
Saat berendam itulah aku membayangkan dan berpikir. Kehidupan macam apa yang sedang kujalani saat ini? Menikah pura pura dengan seorang lelaki predator sex yang kotor dan menjijikkan meskipun dari luar terlihat elegan dan bermoral. Aku mendesah…mungkinkah aku mampu bertahan dengan laki laki ini setahun kedepan? Aku hanya bisa menutup mata dan menyeka air mataku yang kembali menetes tak terkendali.
*****