Arumi menikah dengan pria yang tidak pernah memberikan cinta dan kasih sayang padanya, pria yang selalu merasa tak pernah cukup memiliki dirinya. Kesepian dan kesunyian adalah hal biasa bagi Arumi selama satu tahun pernikahannya.
Raka— suami Arumi itu hanya menganggap pernikahan mereka hanya sekedar formalitas semata dan bersifat sementara. Hal ini semakin membuat Arumi menjadi seorang istri yang kesepian dan tidak pernah bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Menikmati Hidup Atas Namanya
Arumi mengusap wajahnya dengan perlahan, air mata itu ia hapus tanpa rasa tergesa sama sekali. Tangisan Arumi kali ini bukanlah tangisan meratapi nasibnya yang buruk, melainkan tangis kelegaan dan sebuah rutukan atas kebodohannya selama ini yang berharap banyak dalam pernikahannya.
Selama ini, Arumi merasa kalau cinta akan bisa hadir dan tumbuh seiring berjalannya waktu. Tapi dia salah besar, jika sedari awal tidak diinginkan, selama apa pun, seberapa besar usaha, tidak akan pernah bisa menimbulkan rasa cinta itu sendiri.
Ia berdiri sambil menarik napas panjang, lalu melangkah ke arah lemari kecil tempat Raka biasa meletakkan sejumlah uang dan kartu-kartu pentingnya. Tangannya berhenti sejenak di atas sebuah kartu kredit hitam berlogo eksklusif. Kartu yang selama ini hanya bisa dia lihat dan tak pernah benar-benar ia sentuh selain untuk kebutuhan rumah tangga.
Raka memang menyediakan kartu itu untuk kebutuhan Arumi, hanya saja Arumi selalu merasa segan menggunakannya lantaran perkataan Raka yang sering memanipulasi pikirannya. Seolah-olah Arumi terlihat sangat keji jika menggunakan kartu tersebut untuk keperluan dirinya sendiri.
Arumi mengambil kartu tersebut lalu menggenggamnya dengan penuh rasa kepemilikan.
“Katanya aku hidup dari namamu, katanya aku ini dibiayai olehmu,” gumam Arumi pelan. “Kalau begitu, izinkan aku menikmati semua yang namamu janjikan itu. Aku hanya ingin mewujudkan apa yang pernah kau umpatkan padaku.”
Arumi menyelipkan kartu itu ke dalam dompetnya dan menyimpan ke dalam tas. Kartu itu akan dia gunakan untuk merombak ulang apa yang seharusnya dirinya dapatkan. Toh semua harta Raka adalah haknya juga sebagai seorang istri.
Hari-hari Arumi setelah itu berjalan dengan ritme yang baru. Pagi-pagi sekali ia sudah bersiap, mengenakan pakaian mahal yang baru ia beli, riasan wajahnya tipis tapi tegas, rambutnya jatuh rapi tanpa perlu diikat tergesa seperti dulu. Ia sarapan sendirian di meja makan yang luas, tanpa menunggu Raka bangun dan tanpa mendengarkan cacian Raka atas masakannya, dan juga tanpa memeriksa ponsel karena berharap ada pesan masuk dari suaminya itu.
Selesai sarapan, Arumi segera pergi dengan menaiki mobilnya, ia melajukan mobil menuju butik-butik ternama yang selama ini hanya ia lihat dari balik kaca mobil jika keluar bersama dengan Raka.
Arumi masuk ke butik pertama dengan langkah mantap. Deretan tas branded tersusun rapi di etalase, kilaunya memantul di mata. Seorang pramuniaga menghampirinya dengan senyum penuh hormat. “Selamat pagi, Kak. Silakan melihat-lihat.”
Arumi menunjuk sebuah tas kulit berwarna netral. “Yang itu. Aku mau.”
“Baik, Kak.”
Tak ada tanya harga dan keraguan sama sekali ketika dia belanja. Kartu kredit Raka meluncur begitu saja di mesin EDC, disusul bunyi notifikasi transaksi berhasil.
“Satu tas tidaklah cukup, aku masih ingin belanja lagi,” gumamnya sembari tersenyum.
Ia berpindah ke butik sepatu, memilih hak tinggi yang selama ini hanya ia simpan di wishlist imajiner karena dianggap terlalu ‘tidak perlu’. Ia lalu membeli jam tangan mewah, perhiasan sederhana namun mahal, parfum dengan aroma yang tegas dan dewasa. Setiap gesekan kartu terasa seperti pembalasan yang sunyi.
Bagi Arumi, membalas pengkhianatan Raka bukanlah dengan sebuah teriakan, tangisan, atau amukan, melainkan dengan menikmati hidup dengan segala fasilitas yang disediakan Raka selama ini.
Siang harinya, Arumi makan di restoran fine dining sendirian. Ia duduk di dekat jendela, menikmati hidangan mahal tanpa memikirkan apakah Raka akan menyukainya atau tidak. Untuk pertama kalinya, ia memesan makanan berdasarkan seleranya sendiri.
“Rasanya begini ya,” gumamnya lirih sambil tersenyum. “Menjadi istri kaya yang benar-benar menikmati hidupnya.”
Hari berikutnya, Arumi kembali berbelanja.
Kali ini ia membeli perabot rumah tangga kelas atas yaitu set peralatan makan mahal, dekorasi rumah berdesain modern, karpet impor, tirai custom. Semua dikirim ke rumah atas nama Arumi Ralina.
Ia juga memesan mobil baru karena merasa mobil saat ini terlalu sederhana bagi seorang istri dari pengusaha berkelas.
Setiap kali ponselnya bergetar menandakan notifikasi transaksi besar, Arumi hanya melirik sekilas lalu mengunci layar kembali.
Bukankah Raka sendiri yang mengatakan hidupnya bergantung padanya selama ini? Malam-malam Arumi kini dihabiskan di spa, restoran mahal, atau duduk di kamar barunya yang perlahan berubah sesuai seleranya. Ia tidur nyenyak, tanpa mimpi buruk atau menunggu suara langkah Raka pulang.
Sejak perdebatan pagi itu, Raka sama sekali tidak pulang ke rumah Arumi. Dia memilih untuk menghabiskan malam bersama dengan Nadira sekalian mengurus semua keperluan pernikahan mereka.
Di suatu sore, Arumi berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Tubuhnya terbalut gaun mahal, rambutnya berkilau, wajahnya tenang. Ia hampir tidak mengenali perempuan yang menatap balik ke arahnya dari dalam cermin itu.
“Dulu aku takut disebut memanfaatkanmu,” ucapnya pada bayangan itu. “Sekarang aku sadar, selama ini aku hanya terlalu jujur, polos, dan terlalu berharap.”
Ia meraih tas mahal di ranjang, menyelipkan kartu kredit ke dalamnya dengan santai. “Kalau kau bisa bahagia dengan perempuan lain,” lanjutnya pelan, “maka aku juga berhak bahagia dengan caraku sendiri.” Senyumnya terukir perlahan. Bukan senyum polos seperti dulu, melainkan senyum perempuan yang akhirnya paham posisi dan kekuatannya sendiri.
Arumi Ralina tidak lagi menunggu dicintai.
Ia sedang menikmati kekuasaan yang tanpa sadar telah diberikan Raka padanya dan ia berniat menggunakannya sampai puas.
Setiap sudut rumah kini sudah berubah total, tak ada interior biasa di sana. Semua sangat mahal harganya dan kini Arumi mempekerjakan dua pembantu rumah tangga, satu tukang kebun, dan dua orang satpam yang berjaga di rumah menggunakan shift. Jadi rumahnya akan dijaga oleh satpam selama 24 jam dan di rumah itu, Arumi tak sendirian lagi, ada dua wanita yang bekerja dengannya, yang pertama berusia 46 tahun bernama Mardiana dan yang kedua berusia 40 tahun bernama Idani.
Selama satu minggu ini, Arumi sangat menikmati hidupnya sendiri. Setiap pagi dia akan pergi menghabiskan uang Raka lalu sorenya dia akan ke kolong jembatan bermain dengan anak-anak di sana dan lanjut ke panti asuhan untuk memberikan makanan.
Kesibukannya itu membuatnya lupa akan kepedihan yang telah dia terima selama ini.
...***...
Malam harinya, saat Arumi bersantai menonton drama kesukaannya. Panggilan dari Raka masuk dan dia abaikan, tak berhenti sampai di sana. Raka terus melakukan panggilan sampai mengirimkan pesan pada Arumi.
Raka : Aku perlu bicara denganmu, angkat panggilanku, Arum.
Setelah pesan itu dia baca, barulah Arumi mau menjawab panggilan dari suaminya itu dengan senyuman remehnya.
Arumi :
Ada apa? Aku sangat sibuk sekarang.
^^^Raka :^^^
^^^Berani sekali kau bicara begitu padaku. ^^^
Arumi :
Ada apa? Kalau tidak penting, aku matikan panggilan ini.
^^^Raka :^^^
^^^Aku hanya ingin memberitahumu kalau besok malam kedua orang tuaku mengundangmu untuk makan malam di rumah mereka. Datang dengan pakaian bagus dan kali ini tolong jangan membuat aku malu. ^^^
Arumi :
Hanya itu?
^^^Raka :^^^
^^^Malam besok kami akan menentukan tanggal pernikahanku dengan Nadira. Aku harap kau tidak membuat masalah, mengerti. ^^^
Arumi :
Oke. Aku akan datang.
Arumi memutuskan panggilan begitu saja, sama seperti Raka yang dulu sering memutus panggilan begitu saja padanya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
sama-sama kagak gunaaa/Hammer//Joyful/
istri sah : Ngabisin duit suami
pelakor : ngabisin duit buat ngabisin nyawa istri sah/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
pelakor sakit hati : cari pembunuh bayaran 🤣🤣 gak ada harga dirinya lu Dir