MONSTER KEJAM itulah yang Rahayu pikirkan tentang Andika, suaminya yang tampan namun red flag habis-habisan, tukang pukul kasar, dan ahli sandiwara. Ketika maut hampir saja merenggut nyawa Rahayu di sebuah puncak, Rahayu diselamatkan oleh seseorang yang akan membantunya membalas orang-orang yang selama ini menginjak-injak dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Rahayu
Keheningan yang mencekam di gudang itu pecah oleh raungan frustrasi Andika. Ia berlutut di samping tubuh Santi yang tak berdaya, sementara Rahayu, dengan wajah yang terluka dan berlumuran darah, tertawa rendah dengan suara yang dingin.
"Kamu iblis, Rahayu! Kamu udah buta, cacat, tapi kamu masih berani menyentuhnya?!" teriak Andika, suaranya melengking karena ketakutan yang disamarkan oleh kemarahan.
Ia berdiri, tangannya terkepal, hendak melayangkan pukulan ke wajah Rahayu yang sudah hancur.
"Pukul saja, Andika," potong Rahayu dengan nada dingin yang menusuk tulang.
"Setiap tetes darah yang keluar dari tubuhku adalah segel kutukan bagi kalian semua. Kamu pikir aku yang iblis? Lihat dirimu! Kamu membiarkan istrimu disiksa, kamu membiarkan orang-orang itu menghancurkan kehormatanku. Kalian semua adalah sampah yang menunggu waktu untuk dibakar di neraka!"
Rahayu meludah ke arah suara Andika, meski ludahnya bercampur darah.
"Kalian bisa merantai tanganku, tapi kalian tidak bisa merantai pembalasan Tuhan. Santi baru permulaan. Setelah ini, satu per satu dari kalian akan memohon maut datang lebih cepat daripada penderitaan yang aku siapkan."
Andika gemetar. Ada aura kegelapan dendam yang begitu pekat memancar dari sosok wanita yang terikat itu, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Tanpa membalas ucapan Rahayu, ia segera membopong tubuh Santi yang lunglai keluar dari gudang, meninggalkan Rahayu kembali dalam kegelapan yang sunyi.
Di ruang tengah, Bu Citra sedang mondar-mandir sambil memegangi lukanya yang diperban saat Andika muncul dengan napas tersengal, membawa Santi yang pingsan.
"Astaga, Andika! Apa lagi ini?!" jerit Bu Citra.
"Dia menyerang Santi, Bu! Rahayu menendangnya hingga kepala Santi menghantam lantai semen," jawab Andika sambil membaringkan Santi di sofa beludru.
"Wanita buta itu... dia bukan manusia lemah. Ada sesuatu yang salah dengannya."
Bu Citra mendekat, memperhatikan luka memar di perut Santi dan wajah Santi yang pucat pasi. Ketakutan mulai merayap di hati wanita tua itu. Selama ini ia menganggap Rahayu hanyalah boneka cantik yang bisa ia injak-injak setelah kehilangan penglihatannya.
Namun, perlawanan Rahayu malam ini menunjukkan hal yang berbeda.
"Bagaimana mungkin seorang tunanetra bisa melakukan serangan seakurat itu di kegelapan?" gumam Bu Citra.
"Andika, kita harus tahu siapa sebenarnya yang kita hadapi. Aku gak mau ada macan buas di dalam mansion ini."
Atas perintah ibunya, Andika mengambil ponselnya. Beberapa hari setelah pernikahan mereka, ia jarang memedulikan latar belakang Rahayu secara mendalam, ia hanya tahu Rahayu adalah putri piatu dari rekan bisnis ayahnya yang kaya raya.
Andika mulai mencari dengan nama lengkap Rahayu di mesin pencari dan media sosial. Ia menelusuri unggahan lama, bertahun-tahun sebelum kecelakaan naas itu terjadi. Setelah melakukan scrolling yang dalam, ia menemukan sebuah akun yang sudah cukup lama tidak aktif.
Matanya terbelalak.
"Bu... lihat ini," bisik Andika, menyodorkan ponselnya ke hadapan Bu Citra.
Di layar itu, terlihat foto Rahayu dengan seragam karate putih dan sabuk hitam yang melilit pinggangnya. Ia berdiri di atas podium, memegang piala emas besar. Judul beritanya terbaca: "Rahayu Adiningrat, Peraih Emas Kejuaraan Karate Nasional, Menumbangkan Lawan dalam 30 Detik."
Ada banyak foto lainnya. Rahayu saat melakukan latihan ekstrem, Rahayu saat mematahkan tumpukan papan, dan video singkat yang menunjukkan kecepatan
gerakannya yang luar biasa.
"Dia bukan cuma wanita manja dari keluarga kaya," suara Bu Citra bergetar.
"Dia seorang petarung. Pantas saja meskipun dia buta, insting dan pendengarannya masih bisa menuntun gerakannya. Jika dia bisa melakukan ini dalam kondisi gelap, bayangkan apa yang terjadi jika suatu saat dia bisa melihat kembali?"
Keringat dingin mengucur di dahi Bu Citra. Bayangan Rahayu yang pulih dan berdiri di hadapannya dengan mata yang tajam membuatnya merasa mual karena takut.
Bu Citra mencengkeram lengan Andika dengan kuat, kuku-kukunya yang tajam menusuk kulit putranya. Ambisinya kini berpacu dengan rasa takutnya.
"Kita gak punya banyak waktu, Andika," bisik Bu Citra dengan suara serak.
"Rahayu harus segera kita lenyapkan, tapi tidak sebelum kita mendapatkan apa yang menjadi hak kita. Kamu ingat? Enam puluh persen saham perusahaan Pak Rio, ayahnya, secara otomatis jatuh ke tangan Rahayu tahun lalu berdasarkan ketentuan setelah Rahayu menginjak usia 21 tahun."
Andika mengangguk. Itulah alasan utama mereka tetap menahan Rahayu di mansion ini daripada membuangnya ke jalanan. Saham itu bernilai triliunan rupiah, kunci utama untuk menyelamatkan bisnis keluarga mereka yang mulai goyah.
"Besok pagi," perintah Bu Citra dengan mata berkilat jahat, "bawa surat peralihan saham itu ke gudang. Paksa dia tanda tangan. Gunakan cara apa pun. Jika dia menolak, gunakan rasa sakit sebagai bahasanya. Setelah 60% saham itu berpindah ke nama kamu, kita gak perlu lagi berpura-pura. Kita bisa mengirimnya ke tempat di mana dia gak akan pernah bisa kembali lagi."
Andika menatap ke arah gudang belakang yang gelap melalui jendela.
"Bagaimana jika dia melawan lagi, Bu?"
Bu Citra menyeringai keji, rasa perih lukanya membakar dendamnya.
"Dia terikat rantai besi, Andika. Dan dia buta. Karate gak akan berguna jika dia gak bisa bergerak. Besok, kita akan mematahkan semangatnya sampai dia memohon untuk memberikan segalanya hanya demi setetes air."
Sementara itu, di dalam gudang yang lembap, Rahayu menyandarkan kepalanya pada tiang kayu yang dingin. Darah di pipinya mulai mengering, meninggalkan rasa kaku dan nyeri yang berdenyut.
Namun, di balik kelopak matanya yang gelap, ia tidak menangis.
Ia justru sedang berkonsentrasi, mengatur napasnya seperti yang diajarkan pelatih karatenya bertahun-tahun lalu.
Ia mempertajam pendengarannya, memetakan setiap suara, tetesan air di pojok ruangan, langkah tikus yang berlari di atas balok kayu, hingga suara napas Joni yang berjaga di luar pintu.
“Kalian menyiksaku dalam diam,” batin Rahayu.
"Kalian menganggapku sampah karena aku gak bisa melihat dunia."
Rahayu merasakan rantai di pergelangan tangannya. Ia mencoba mencari titik lemah pada sambungan besi itu. Ia tahu, esok hari akan menjadi puncak dari penderitaannya, atau justru awal dari kehancuran keluarga Citra.
"Silakan datang, Andika. Datanglah dengan surat-surat busukmu itu," bisik Rahayu pelan, suaranya hilang ditelan angin malam yang menyusup lewat celah dinding.
"Karena aku gak akan memberikan tanda tangan. Aku hanya akan memberikan penderitaan bagi kalian semua."
Malam semakin larut, dan mansion megah itu kini tak lebih dari sebuah penjara yang menunggu ledakan amarah dari seorang wanita yang sudah kehilangan segalanya, kecuali keinginan untuk membalas dendam.
BERSAMBUNG
jangan lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB🙏