Dijodohkan? Kedengarannya kayak cerita jaman kerajaan dulu. Di tahun yang sudah berbeda ini, masih ada aja orang tua yang mikir jodoh-jodohan itu ide bagus? Bener-bener di luar nalar, apalagi buat dua orang yang bahkan gak saling kenal kayak El dan Alvyna.
Elvario Kael Reynard — cowok paling terkenal di SMA Bintara. Badboy, stylish, dan punya pesona yang bikin cewek-cewek sampai bikin fanbase gak resmi. Tapi hidupnya yang bebas dan santai itu langsung kejungkal waktu orang tuanya nge-drop bomb: dia harus menikah sama cewek pilihan mereka.
Dan cewek itu adalah Alvyna Rae Damaris — siswi cuek yang lebih suka diem di pojokan kelas sambil dengerin musik dari pada ngurusin drama sekolah. Meskipun dingin dan kelihatan jutek, bukan berarti Alvyna gak punya penggemar. Banyak juga cowok yang berani nembak dia, tapi jawabannya? Dingin banget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Tidur Berdua
“Engh…”
Jarum jam baru menunjukkan pukul 05.35 pagi ketika tubuh Alvyna mulai bergerak perlahan, menggeliat pelan dari dalam tidurnya. Seiring dengan gerakannya yang lembut, kedua matanya mulai terbuka perlahan, berkedip beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya lembut yang mulai menerobos dari celah tirai.
Deg.
Tubuhnya langsung menegang. Seluruh kesadarannya tiba-tiba saja terkumpul dalam sekejap begitu ia menyadari sesuatu yang sangat ganjil atau lebih tepatnya, mencurigakan. Posisi tidurnya sekarang…
Alvyna tercekat.
Padahal, semalam ia ingat betul telah menaruh guling panjang di antara dirinya dan El, suaminya. Guling yang seharusnya jadi pembatas sakral itu entah menghilang ke mana. Dan kini, mereka malah dalam posisi saling berpelukan seakan telah melalui musim dingin bersama. Kepalanya tertengger nyaman di dada bidang El, sementara tangannya melingkar erat di pinggang pria itu. Lebih parahnya, El juga memeluk balik dirinya seolah memang ingin mereka tetap seperti itu.
“Anjir! Ini kenapa posisi tidur gue bisa jadi begini?! Enak banget pula, ck gini banget ya punya suami?” rutuk Alvyna dalam hati, merasa malu sekaligus nyaman. Astaga, ini guling bernyawa! Dan sialnya, bikin betah.
Matanya melirik sekilas ke arah jam dinding. Hampir pukul 06.00.
“Di dapur masih kosong kan? Kemarin belum belanja harusnya gue ingetin si El buat ajak belanja! Kok bisa lupa sih!” pikir Alvyna sambil meringis kesal pada dirinya sendiri.
“Sarapan di kantin aja kali ya? Iya deh, berangkat lebih awal sekalian isi perut. Bisa tumbang gue kalau perut kosong.”
Dengan sangat hati-hati, Alvyna mulai berusaha melepaskan diri dari pelukan El. Ia memindahkan tangan besar pria itu dari pinggangnya perlahan ke atas tubuh El sendiri. Saat El sempat mengerang pelan, jantung Alvyna hampir copot. Tapi untunglah pria itu tidak terbangun. Ia bisa bernapas lega.
“Huft oke, mari kita mandi sebelum drama lain dimulai,” gumamnya sambil bangkit menuju kamar mandi.
Sekitar lima belas menit kemudian, Alvyna keluar dari kamar mandi dengan handuk membalut tubuhnya. Ia melirik ke arah El yang masih terlihat pulas tertidur di atas ranjang. Aman. Ia masuk ke walk-in closet dan mengenakan seragam sekolahnya dengan cekatan. Setelah selesai, ia keluar untuk membangunkan El yang masih bergelung nyaman dalam selimut.
“Ck, dasar kebo! Udah mau jam setengah tujuh masih juga tidur!” rutuknya kesal sambil menyilangkan tangan.
“El! Bangun woi! Udah siang, El!” serunya sambil menepuk ranjang pelan.
“Gue siram juga lo kalau gak bangun-bangun! EL!!” pekiknya lagi dengan nada lebih tinggi.
El hanya bergeliat malas, menarik selimut menutupi wajahnya, seolah menolak realita. Melihat itu, Alvyna mendengus, lalu menarik selimut itu paksa sampai tubuh El tersibak udara pagi yang dingin.
“Ck! Engh…” gumam El tak senang, matanya mulai terbuka dengan gerakan lambat. Dahi berkerut, mata sipit menyesuaikan cahaya dari tirai yang kini terbuka lebar.
“Ck, baru jam berapa sih, Ra berisik banget,” keluh El dengan suara serak khas bangun tidur.
“Gue mau berangkat lebih awal. Belum sempat masak karena lupa ngajakin lo belanja kemarin. Jadi sarapan di kantin aja ya. Harusnya lo berterima kasih karena udah gue bangunin. Telat lo entar,” sahut Alvyna dengan nada penuh ceramah.
“Siapa bilang di kulkas gak ada makanan?” tanya El malas, sebelah alisnya terangkat.
“Lah, bukannya emang kosong? Kemarin cuma....”
“Makanya, nanya dulu. Ck, turun aja sana cek sendiri!” potong El sambil menutup wajah lagi dengan selimut.
Dengan langkah berat tapi penasaran, Alvyna keluar kamar, menuruni tangga menuju dapur. Begitu membuka pintu kulkas…
Matanya melebar.
“Astaga!” napasnya tercekat. Kulkas yang semalam kosong kini penuh. Bahan masakan, minuman, cemilan, semuanya tertata rapi.
“Ini serius? Kemarin masih kosong siapa yang ngisi sebanyak ini? Jangan-jangan El? Tapi kapan? Dan kok bisa lengkap banget? Dia kan cowok!” pikirnya tak habis pikir.
“Udahlah, bodo amat. Tanya nanti aja. Yang penting sekarang masak dulu sebelum telat!” celetuknya sambil mulai memilih bahan untuk nasi goreng.
Sementara itu, El yang sempat berniat tidur lagi, kini sudah terjaga sepenuhnya. Ia bersandar di headboard, menatap ponsel. Sebuah pesan dari Darian muncul di layar sebuah foto yang semalam tak sempat ia buka.
Darian: Send a picture
El menatap foto itu dalam diam selama beberapa menit. Banyak pesan masuk. Notif panggilan tak terjawab. Salah satunya membuat matanya menyipit tajam.
El: Bar classy ibu kota?
Darian: Yoi, gue ke sana sama cewek gue semalam. Gak sengaja liat cewek lo juga di sana.
El: Thank infonya. Gue ketiduran. Sorry.
Darian: Santai. Siapa tahu berguna.
El: Lo tau siapa cowoknya?
Darian: Masih orang yang sama. Musuh bebuyutan lo.
Genggaman tangan El mengeras. Rahangnya mengeras. Nafasnya memburu.
“Sialan. Ternyata lo masih berani main belakang, Ly!” geramnya lirih.
Dengan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun, El menyeret tubuhnya masuk kamar mandi dan mengguyur kepalanya dengan air dingin, berharap emosinya ikut mereda. Lima belas menit kemudian, ia sudah keluar dan masuk ke walk-in closet. Saat hendak mengambil seragam, matanya menangkap sesuatu di atas sofa.
Satu set lengkap seragam, termasuk sepatu, kaos kaki, bahkan celana dalam.
“Lah, siapa yang nyiapin? Gue gak punya pembantu masa sih Rae?” gumamnya ragu. Tapi logikanya menjawab sendiri. Di rumah ini hanya ada mereka berdua.
“Ck, udahlah. Disiapin ya tinggal dipake.”
Dengan seragam rapi dikenakan setengah, kancing belum semua terpasang, El melangkah keluar sambil menenteng topi hitamnya. Tepat saat itu, pintu kamar terbuka. Alvyna muncul membawa tas sekolah.
“Kirain bakal tidur sampe siang lo,” sindir Alvyna sambil mendekati meja rias.
“Mati dong,” balas El pendek.
“Eh lo yang nyiapin baju gue?” tanya El langsung.
Alvyna menoleh cepat, menatap pria itu sekilas sebelum memalingkan wajah lagi. “Hm, sekalian tadi,” jawabnya singkat, pipinya memanas.
Ingatan tentang tangan yang sempat menyentuh ‘area keramat’ saat menyiapkan seragam membuat tubuhnya menggigil geli. Kalau bukan karena pesan ibunya yang mengharuskan dirinya sebagai istri mempersiapkan semuanya untuk suaminya, mana sudi dia melakukan semua itu.
Sementara El hanya tersenyum kecil. Ucapan sederhana dari Alvyna tadi cukup untuk menghangatkan hatinya yang selama ini dingin dan terbiasa sendiri. Perhatian sekecil itu saja sudah membuat hatinya bergetar.
“Ck… ternyata ada enaknya juga punya istri. Setidaknya, dua malam ini gue gak tidur sendiri.”