Raka Pradipta 22th, seorang mahasiswa yang baru bekerja sebagai resepsionis malam di Sky Haven Residence, tak pernah menyangka pekerjaannya akan membawanya ke dalam teror yang tak bisa dijelaskan.
Semuanya dimulai ketika ia melihat seorang gadis kecil hanya melalui CCTV, padahal lorong lantai tersebut kosong. Gadis itu, Alya, adalah korban perundungan yang meninggal tragis, dan kini ia kembali untuk menuntut keadilan.
Belum selesai dengan misteri itu, Raka bertemu dengan Andika, penghuni lantai empat yang bisa melihat cara seseorang akan mati.
Ketika penglihatannya mulai menjadi kenyataan, Raka sadar… apartemen ini bukan sekadar tempat tinggal biasa.
Setiap lantai menyimpan horornya sendiri.
Bisakah Raka bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruangan di Balik Lemari
Ruangan di balik lemari itu gelap dan sempit, hampir seperti lorong kecil yang tersembunyi di antara dinding-dinding apartemen. Cahaya dari ponsel Aurel menyapu ke dalamnya, memperlihatkan lantai berdebu dan dinding yang lembab dengan beberapa noda hitam mengerikan.
Anton menelan ludah, berdiri di ambang pintu lemari dengan ekspresi tegang. “Gue nggak suka ini. Kenapa ada ruangan kayak gini di apartemen?”
Raka maju lebih dulu, menyorotkan ponselnya lebih dalam. Ruangan itu tidak terlalu dalam, hanya sekitar tiga meter ke belakang sebelum berakhir di dinding bata kasar yang terlihat tua dan retak di beberapa bagian.
Aurel menggerakkan tangannya di sepanjang dinding. “Ini bukan bagian asli dari apartemen. Kayak ada sesuatu yang sengaja ditutup di sini.”
Raka berjongkok, memperhatikan lantai berdebu. Ada bekas goresan samar-samar, seperti sesuatu pernah diseret ke dalam ruangan ini sebelum akhirnya ditutup kembali.
Anton menyilangkan tangan, menatap ruang sempit itu dengan waspada. “Oke, kita udah lihat. Sekarang kita keluar. Gue nggak mau kejadian di film-film horror kejadian di sini.”
Tapi sebelum mereka bisa bergerak, terdengar suara gesekan dari dalam lorong tersembunyi itu.
Sreeek… sreeek…
Suara itu membuat mereka semua langsung membeku di tempat.
“Lu denger itu?” suara Aurel pelan, hampir berbisik.
Anton langsung menggeleng cepat. “Gue nggak mau tahu! Keluar sekarang juga!”
Tepat saat itu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan dalam lorong. Tok… tok… tok…. Seperti ada sesuatu yang sedang bergerak di dalam sana.
Raka mencoba menyorotkan cahaya lebih jauh, tapi tidak ada apa-apa. Namun, rasa tidak nyaman mulai menjalari tengkuknya.
Maya, yang baru saja datang setelah terlambat menyusul mereka, berdiri di ambang pintu kamar 609. “Eh, kalian nemuin apa?”
Belum sempat mereka menjawab, pintu lemari itu tiba-tiba tertutup dengan keras!
BRAK!
Maya menjerit. “APA-APAAN ITU?!”
Aurel buru-buru menarik gagang pintu lemari, tapi pintu itu tak bergeming. “Sial! Ini kejebak!”
Anton langsung merogoh ponselnya, mencoba menyalakan senter sambil memundurkan tubuhnya ke tembok. “Nggak bener ini, nggak bener sama sekali!”
Dari dalam ruang tersembunyi itu, terdengar suara napas berat, lirih namun jelas.
Hhhh… Hhhh…
Suara itu bukan milik mereka.
Sesuatu ada di dalam sana bersama mereka.
Terdengar suara lain—seperti kuku yang menggesek dinding bata, sreeekk… sreeekk…, membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Maya di luar mencoba menarik pintu lemari, suaranya panik. “Ayo keluar! Gue nggak bisa buka dari luar!”
Raka mundur perlahan, meraih gagang pintu lemari dan mencoba membukanya. “Aurel, bantu gue dorong!”
Aurel dan Anton segera ikut mendorong, keringat mulai mengalir di pelipis mereka.
Di dalam kegelapan, terdengar suara bisikan pelan.
"Tolong… jangan pergi…"
Mata Raka membelalak. “Siapa itu?!”
Tidak ada jawaban.
Hanya suara gemeretak pelan dari dalam, seperti sesuatu yang sedang bergerak… atau merangkak mendekat.
“Fokus! Dorong lebih kuat!” seru Aurel.
Anton mendorong sekuat tenaga. “Gue nggak mau mati di sini!”
Maya dari luar akhirnya berhasil menarik dengan sekuat tenaga.
Brak!
Pintu lemari terbuka dengan paksa. Mereka bertiga langsung keluar, napas memburu. Anton hampir jatuh terduduk di lantai, wajahnya pucat.
Aurel menoleh ke dalam kamar, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.
“Keluar dari sini!” Anton menarik tangan Maya, dan mereka semua segera meninggalkan kamar 609.
Saat mereka keluar, terdengar suara gemeretak dari dalam ruangan tersembunyi itu.
Dan tepat sebelum pintu kamar 609 tertutup sendiri, mereka semua melihatnya—sepasang mata samar-samar menatap dari dalam kegelapan.
Mata itu besar dan kosong, memantulkan cahaya ponsel mereka dengan seram.
Pintu tertutup dengan keras.
BRAK!
Hening.
Mereka hanya berdiri di koridor, terengah-engah, saling menatap dengan wajah penuh ketakutan.
“Gue nggak mau ke sana lagi.” Anton akhirnya berbicara, suaranya gemetar.
Maya memegangi dadanya. “Astaga… apa yang barusan kita lihat?”
Aurel menghela napas panjang, menatap kamar 609 yang kini tampak seperti ruangan biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Raka mengepalkan tangannya. “Kita belum selesai di sini.”
Mereka semua menoleh ke arahnya.
Anton mengerutkan dahi. “Jangan bilang lo masih mau lanjut nyari tahu.”
Raka menatapnya dengan mata serius. “Ada sesuatu yang dikurung di sana. Dan gue nggak bisa diem aja.”
Hening lagi.
Aurel akhirnya berbicara. “Kalau kita mau tahu kebenarannya… kita harus cari tahu siapa yang dulu tinggal di sini.”
Anton menghela napas berat, lalu menepuk wajahnya sendiri. “Sial… ini ide buruk… tapi gue benci nggak tahu jawabannya.”
Maya menatap pintu kamar 609 dengan waspada. “Jadi… kita bakal nyari tahu tentang kamar ini?”
Raka mengangguk. “Kita harus.”
Tapi saat mereka berbalik untuk pergi, terdengar sesuatu dari dalam kamar.
Suara ketukan.
Tok… tok… tok…
Dingin merayapi punggung mereka.
Suara ketukan itu semakin keras.
Tok. Tok. Tok.
Sampai akhirnya…
TOK! TOK! TOK!
Mereka lari.
ke unit lantai 7