Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lapak Majalah
Saat berjalan menuju gerbang sekolah bersama Yuli, Gita melihat Rudi tengah menuju parkiran mobil. Gita pun teringat akan buku sketsa rusak yang tadi ia bawa dari rumah.
"Hah, gue gak sempet nunjukin buku itu ke si Rudi," gumam Gita pelan.
"Git, Lo mau ke mana lagi setelah ini?" tanya Yuli mengalihkan fokus Gita.
"Enggak ada rencana sih, paling pulang aja ke rumah," jawab Gita. Gue mau ngabisin waktu bareng Tini. Sebelum ... ya sebelum kecelakaan itu terjadi. Eh?
"Kenapa?" tanya Yuli ketika Gita tiba-tiba berhenti berjalan.
"Gak, gak apa-apa." Gita menggelengkan kepalanya dan kembali melangkah. Apa alasan gue balik ke masa ini buat mencegah kecelakaan Tini ya?
Tapi kenapa gue mesti 'mendarat' beberapa tahun sebelumnya?
Atau ada kejadian besar lain di tahun 2004 ini?
Lokasi kemunculan gue kembali lagi ini adalah sekolah dan ketemu tukang bully, hmm ... masa iya sih, gue jauh-jauh dari masa depan cuma buat ngurusin Karen dan gengnya. Dih mubazir amat!
Yah, setidaknya gue jadi bisa kenal Yuli dan banyak interaksi sama Gio. Meski sekarang mah udah flat aja rasanya ke cowok itu.
Beda umur gue dan Gio juga jauh. Masa iya ngegebet berondong. Hahaha.
Gita lalu tersenyum, ia merasa bersyukur terlempar ke waktu yang masih jauh dari kejadian nahas yang menimpa Tini, bahkan dua hari ini ia bisa menikmati punya teman seru dan makan enak di kantin saat SMA.
"Lo aneh deh Git, muka Lo itu lho ... ekspresif banget. Kayaknya apa yang ada di hati lo itu keliatan semua di muka," komentar Yuli sambil terkekeh.
Gita menyeringai dan ikut tertawa. Dia sadar akan karakter dirinya tersebut, Gita sulit mengontrol ekspresinya.
Termasuk saat tengah dirundung, Gita sering memperlihatkan ekspresi mencemooh dan sebal saat ditindas, padahal di masa lalu itu Gita tak bisa melawan. Tentu saja wajah menyebalkan Gita, membuat Karen dan Ara makin berang dan beringas dalam menyakitinya.
Saat mereka keluar dari gerbang, Gita tiba-tiba teringat cerita dari mbok jamu di angkutan kota.
"Yul, pernah denger cerita soal hantu-hantuan gitu gak di sekolah?" tanya Gita.
Yuli terbahak, "Ya ampun! Tahun 2004 masih ngomongin hantu!"
Gita mendelik sebal. "Jawab aja sih! Asal Lo tau ya, 20 tahun lagi, bukan cuma hantu yang diobrolin, tapi malah sampe cek kodam segala!"
"Widih! Judes banget woy temen gue," ucap Yuli sambil mencubit pipi Gita gemas.
"Ih cubit-cubit melulu! Gak sopan sama orang tua!" omel Gita sambil mengelus kedua pipinya.
"Hahaha, ampun Bu Gita," ejek Yuli sambil menangkupkan tangannya di depan wajah.
Gita mendengus. Percuma minta dihormati dalam wujud remaja gini. Makin diledek yang ada malahan.
"Jadi gimana, Lo pernah denger gak, soal cerita serem di sekolah?" tanya Gita lagi.
Yuli tampak berpikir, lalu menggeleng. "Enggak pernah denger cerita kayak gitu gue. Emang Lo denger cerita hantu kayak gimana?" tanya Yuli penasaran.
Gita pun menceritakan soal hantu anak sekolah yang dibahas mbok jamu, sambil menunjuk ke arah lapangan di balik gerbang.
Usai menyimak cerita Gita, Yuli mengusap tengkuknya. "Yah Git, gue jadi takut ke sekolah nih gara-gara denger cerita hantu itu dari lo."
"Halah bilang aja males, pengen bolos!" tukas Gita yang disambut tawa renyah Yuli.
Mereka pun lanjut saling berbincang dan bercanda, sambil terus berjalan menuju pemberhentian angkutan kota.
Di sisi gang dekat tepian jalan raya, Gita melihat pedagang kaki lima tengah merapikan aneka majalah di gerobak kayu besar.
Beberapa orang, termasuk para remaja dengan seragam dan tas di pundak, ramai mengerubungi lapak tersebut.
Gita tersenyum senang. Pada masa ini, bisnis media cetak masih lancar dan berjaya, tidak seperti beberapa tahun kemudian, di mana banyak media cetak yang terpaksa gulung tikar karena masyarakat sudah lebih lekat dengan media daring.
Gita melangkah mendekat ke lapak tersebut sambil menarik tangan Yuli.
Gita kini berada di dalam kerumunan itu, berdesakan dengan para siswa yang mengerubungi majalah musik, juga para siswi yang beramai-ramai membaca sebuah majalah tak tersegel sambil cekikikan.
"Ada majalah yang gue incer," gumam Gita kala Yuli menatapnya penuh tanya.
"Lo suka baca ya ternyata, gue juga suka sih tapi baca komik aja," komentar Yuli.
Gita mengangguk. Sebuah rangkaian memori terpanggil kembali ketika ia melihat majalah Ceritaku di antara majalah lain yang berjejer di sana.
"Ada penulis yang karyanya gue suka di sini," lirih Gita, "tapi dia udah beberapa bulan hiatus," lanjutnya.
Gita mengambil majalah bersampul seorang singer yang tahun itu baru naik daun, dan membayarkan sejumlah rupiah pada sang pedagang.
"Ceritanya bersambung gitu ya?" tanya Yuli kala mereka berdua beranjak dari lapak majalah.
Gita menganguk. "Iya bener, yang bikin gue kagum itu ... di info penulis disebutkan, kalau dia ternyata masih sekolah, lho. Kayak Lo gitu."
"Heh Lo juga masih anak sekolah, Neng!" cibir Yuli sambil menepuk bahu Gita.
Gita terhuyung. Astaga beneran ini tenaganya si Yuli gede banget.
"Eh, jangan-jangan dia anak sekolah kita, Git!" seru Yuli kemudian.
Gita mengernyitkan dahinya.
"Emang ada penulis di sekolah kita? Kok Lo bisa tau, katanya cuma suka sama komik ... atau jangan-jangan, orang yang Lo maksudkan itu seorang komikus?" cecar Gita.
"Ih kan pernah diumumin tau waktu upacara waktu kita kelas satu dulu. Soalnya, dia itu dapet penghargaan lomba menulis tema budaya mewakili sekolah," terang Yuli.
Gita menelengkan kepalanya, seolah dengan begitu, ingatan masa lalunya bisa mengalir lebih lancar.
Tapi...
"Aduh!" Gita meringis memegangi kepalanya.
Gadis itu terlihat kesakitan, hingga membuat Yuli panik.
"Git, Lo kenapa?" tanya Yuli kebingungan.
Sedangkan Gita menarik napas dan menenangkan dirinya. Hingga nyeri itu pun mereda.
"Udah, udah gak apa-apa, Yul," lirih Gita.
Yuli membuang napas lega. "Gue takut Lo pingsan lagi Git."
Gita tersenyum, ia bisa merasakan ketulusan Yuli yang khawatir padanya.
"Besok aja gue ketemu sama si penulis itu ya Yul, gue mau mastiin apakah dia orang yang nulis di majalah ini atau bukan," pinta Gita.
Yuli menggigit bibirnya, ia tampaknya ragu, tapi akhirnya kemudian mengangguk. Sebenernya gue takut bikin Gita kecewa sih.
Tapi, yaudah deh ... gue iya-in aja dulu, kayaknya Gita penasaran banget. Dari pada dia sakit lagi kayak tadi.
"Siap Bu Bos!" seru Yuli kemudian sambil memberi hormat ala pasukan pengibar bendera.
Gita tersenyum dan menepuk bahu Yuli. Kayaknya ingetan masa lalu gue gak bisa dipaksain. Gue kira bakal keluar ingetan kayak waktu tadi rapat sama guru BK.
Tapi perasaan gue agak ga nyaman soal si penulis hiatus ini.
***
Salam Dari "Lina : The Screet Of The Ten Haunted Souls" /Smile/