Gagal menikah!One night stand dengan pria asing yang tak dikenalnya.
Anggun terancam dijodohkan oleh keluarganya, jika dia gagal membawa calon suami dalam acara keluarga besarnya yang akan segera berlangsung.
Tapi secara tak sengaja berpapasan dengan pria asing yang pernah bermalam dengannya itu pun langsung mengajak si pria menikah secara sipil.Yang bernama lengkap Sandikala Mahendra.Yang rupanya Anggun tidak tahu siapa sosok pria itu sebenarnya.
Bukan itu saja kini dia lega karena bisa menunjukkan pada keluarga besarnya jika dia bisa mendapatkan suami tanpa dijodohkan dengan Darma Sanjaya.
Seorang pemuda playboy yang sangat dia benci.Karena pria itu telah menghamili sahabat baik Anggun tapi tidak mau bertanggung jawab.Pernikahan asal yang dilakukan Anggun pun membuat dunia wanita itu dan sekaligus keluarga besarnya menjadi berubah drastis dalam sekejap.
Akankah pernikahan Anggun berakhir bahagia?Setelah mengetahui siapa sosok pria itu sebenarnya?Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mitha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Anggun berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri dengan mata yang sembab. Udara dingin dari pendingin ruangan menyentuh kulitnya, tapi bukan itu yang membuatnya menggigil—melainkan rasa sakit yang terus berdenyut di dalam dadanya.
Ia mengusap wajahnya, mencoba menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Lelah. Itu yang ia rasakan. Bukan hanya fisik, tetapi juga emosinya. Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan yang gelap, tanpa tahu harus melangkah ke arah mana.
Kala.
Nama itu berputar di kepalanya, seperti mantra yang tak bisa ia hentikan. Laki-laki itu baru saja memberinya sebuah pengakuan yang selama ini tidak pernah ia duga. Bahwa ia takut mencintai, takut kehilangan, takut menyakiti. Tapi apakah itu alasan yang cukup untuk membuatnya tetap bertahan?
Tidak.
Ia menginginkan cinta yang jelas. Sebuah kepastian, bukan ketidakjelasan yang membuatnya terus merasa terombang-ambing.
Anggun menghela napas panjang, lalu berjalan menuju koper yang masih terbuka di atas tempat tidur. Tangannya bergerak dengan ragu-ragu sebelum akhirnya kembali memasukkan beberapa bajunya ke dalam lemari. Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar, tetapi untuk saat ini, ia memilih untuk menunggu.
Sementara itu, di luar kamar…
Kala duduk di ruang tamu dengan kepala bersandar di sofa, matanya terpejam. Tapi bukan karena kantuk—otaknya terlalu penuh dengan berbagai pikiran yang membuatnya sulit untuk benar-benar beristirahat.
Suara Anggun masih menggema di kepalanya.
"Aku ingin kau berpikir. Aku ingin kau mencari tahu apa yang sebenarnya kau inginkan. Jika kau mencintaiku, buktikan. Jika tidak, lepaskan aku."
Kata-kata itu menusuknya lebih dalam dari yang ia duga.
Selama ini, ia mengira dengan menjaga jarak, ia bisa melindungi Anggun. Melindungi dirinya sendiri. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Ia menyakitinya, membuatnya merasa tidak diinginkan.
Kala membuka matanya, menatap langit-langit dengan ekspresi lelah.
"Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya.
Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, mencoba mencari jawaban yang sudah lama ia hindari.
Keesokan paginya
Anggun terbangun lebih awal dari biasanya. Kepalanya masih terasa berat, tetapi ia tidak ingin berlama-lama di tempat tidur.
Ia berjalan keluar kamar, berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di pagi yang sepi. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Kala sedang duduk di meja makan, menatap cangkir kopinya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Mereka saling berpandangan dalam diam.
Akhirnya, Kala yang pertama membuka suara. "Kau tidur nyenyak?"
Anggun mengangkat bahu. "Aku tidak tahu."
Kala mengangguk pelan, lalu menggeser kursi di depannya. "Mau duduk?"
Anggun menimbang sejenak sebelum akhirnya melangkah mendekat dan duduk. Ia menatap laki-laki di hadapannya, mencoba membaca pikirannya.
Kala tampak berbeda pagi ini. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang terasa lebih dalam, lebih tajam.
"Aku tidak bisa tidur semalaman," kata Kala akhirnya.
Anggun tidak menjawab, menunggu laki-laki itu melanjutkan.
"Aku berpikir tentang apa yang kau katakan tadi malam. Tentang kepastian, tentang apa yang aku inginkan."
Anggun menahan napas, jantungnya mulai berdetak lebih cepat.
Kala menghela napas panjang sebelum akhirnya menatapnya dengan serius. "Dan aku menyadari sesuatu. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak lama."
Anggun membeku.
"Tapi aku terlalu pengecut untuk mengakuinya," lanjutnya. "Aku terlalu takut kehilangan lagi, terlalu takut menyakiti, sampai akhirnya aku malah membuatmu merasa tidak diinginkan."
Anggun menatapnya tanpa berkedip, merasa sulit untuk memproses kata-kata itu.
"Aku tahu aku terlambat," kata Kala pelan. "Aku tahu mungkin kau sudah muak denganku. Tapi aku ingin kau tahu, Anggun. Aku tidak ingin kehilanganmu."
Keheningan memenuhi ruangan itu.
Anggun merasa dadanya sesak. Ia ingin marah, ingin membalas semua kebingungan dan rasa sakit yang sudah ia alami. Tapi di saat yang sama, ada sesuatu dalam diri Kala yang membuatnya tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
"Kau bilang kau mencintaiku," kata Anggun akhirnya, suaranya nyaris berbisik. "Tapi bagaimana aku bisa percaya?"
Kala menatapnya dengan mata penuh ketulusan. "Aku tidak akan memintamu untuk percaya sekarang. Aku akan membuktikannya."
Anggun terdiam.
"Aku ingin kau memberiku kesempatan," lanjut Kala. "Untuk menunjukkan bahwa aku benar-benar mencintaimu. Untuk membuatmu merasa bahwa kau adalah seseorang yang berarti bagiku."
Anggun ingin menertawakan ironi ini. Setelah semua keraguan, setelah semua luka, akhirnya laki-laki ini mengakui perasaannya. Tapi apakah itu cukup?
Ia menatap Kala lama, mencoba mencari kebenaran dalam matanya.
"Baiklah," kata Anggun akhirnya. "Aku akan memberimu kesempatan. Tapi jangan berharap aku akan langsung percaya begitu saja."
Kala mengangguk, ekspresi di wajahnya berubah sedikit lebih lega. "Aku mengerti."
Mereka kembali terdiam, tetapi kali ini, suasananya terasa berbeda. Ada sesuatu yang berubah—sebuah harapan kecil yang mulai tumbuh di antara mereka.
Namun, sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh, ponsel Kala kembali berdering.
Anggun melihat ekspresi laki-laki itu berubah saat melihat nama di layar.
"Siapa?" tanyanya hati-hati.
Kala menatapnya sebentar sebelum akhirnya menjawab panggilan itu.
"Halo?"
Anggun memperhatikan bagaimana rahang Kala mengencang saat mendengar suara di seberang telepon.
"Ya, aku akan segera ke sana."
Ia menutup telepon dan berdiri.
Anggun menghela napas. "Urusan kantor lagi?"
Kala menatapnya, ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Ya."
Anggun menatapnya dengan tajam. "Jangan buat aku menyesal memberi kesempatan ini, Kala."
Kala menatapnya dalam sebelum akhirnya berkata, "Aku tidak akan mengecewakanmu."
Lalu, tanpa menunggu lebih lama, ia berjalan keluar, meninggalkan Anggun dengan perasaan yang kembali bercampur aduk.
Di satu sisi, ia ingin percaya bahwa laki-laki itu sungguh mencintainya. Tapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang mulai muncul di hatinya.
Sesuatu sedang terjadi. Sesuatu yang mungkin lebih besar daripada yang ia kira.
Dan Anggun tidak yakin apakah ia siap untuk menghadapi kenyataan yang menanti di depan.