Aydin terhenyak, dunianya seakan tiba-tiba runtuh saat seorang gadis yang bahkan dia tak tahu namanya, mengaku sedang hamil anaknya.
Semua ini berawal dari sebuah ketidak sengajaan 3 bulan yang lalu. Saat diacara pesta ulang tahun salah satu temannya, dia menghabiskan malam panas dengan seorang gadis antah brantah yang tidak dia kenal.
"Kenapa baru bilang sekarang, ini sudah 3 bulan," Aydin berdecak frustasi. Sebagai seorang dokter, dia sangat tahu resiko menggugurkan kandungan yang usianya sudah 3 bulan.
"Ya mana aku tahu kalau aku hamil," sahut gadis bernama Alula.
"Bodoh! Apa kau tak tahu jika apa yang kita lakukan malam itu, bisa menghasilkan janin?"
"Gak udah ngatain aku bodoh. Kalau Mas Dokter pinter, cepat cari solusi untuk masalah ini. Malu sama jas putihnya kalau gak bisa nyari solusi." Jawaban menyebalkan itu membuat Aydin makin fruatasi. Bisa-bisanya dia melakukan kesalahan dengan gadis ingusan yang otaknya kosong.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TAK MAU JADI PEMBUNUH
Tubuh Alula menegang saat Dokter Laila mulai menggerakkan alat USG diperutnya. Saking takutnya, dia sampai tak sadar memejamkan mata sambil menggenggam erat tangan Aydin. Pria yang berdiri disamping brankar itu sampai tersenyum kikuk, malu pada Dokter Laila yang melihat sambil senyum-senyum.
"Alhamdulilah janinnya sehat. Usianya sudah masuk 13 minggu. Semuanya normal, mulai dari berat ukuran dan detak jantung."
Jantung Aydin ikut berdebar saat pertama kali dia mendengar suara detak jantung calon anaknya. Sedangkan Alula, matanya mulai terbuka, air matanya meleleh. Rasanya masih belum bisa percaya ada kehidupan lain didalam perutnya saat ini. Kenapa rasanya dia mulai sayang. Apakah ikatan batin itu sudah mulai terbentuk?
"Bisa kita bicara berdua Dok," ajak Aydin begitu pemeriksaan selesai. Dokter Laila mengangguk lalu mengajak Aydin keluar dari ruangan tersebut.
Alula kembali tegang, penasaran dengan apa yang mereka bicarakan diam-diam dibelakangnya. Jangan-jangan tentang aborsi. Dia yang barusana sedikit lega, jadi tegang lagi.
"Tidak, gue mau aborsi," Alula menggeleng cepat. Rasa sayang itu muncul tiba-tiba hanya karena dia mendengar detak jantung janinnya barusan. "Gue harus pergi dari sini." Gadis itu turun dari ranjang, mengambil tasnya yang ada dikursi lalu membuka pintu perlahan. Tempat ini sangat mencurigakan. Selain Dokter Laila, tak ada orang lain lagi, entah itu asisten dokter atau pasien. Jika dia mati disini, juga tidak akan ada yang tahu.
Begitu memastikan tak ada orang, buru-buru dia keluar. Berjalan sambil jinjit agar tak menimbulkan suara. Jangan sampai Aydin atau Dokter Laila tahu dia kabur.
"Mau kemana kamu?"
Alula menoleh dan mendapati Aydin berdiri tak jauh darinya. Dia yang sudah yakin tak mau aborsi, langsung berlari menuju pintu keluar.
"Hei, stop," teriak Aydin sambil mengejarnya. Tapi Alula pura-pura tuli, terus saja berlari namun nahas, Aydin berhasil menarik lengannya saat sudah berada di halaman.
"Lepas, lepas," teriak Alula sambil berontak. "Aku gak mau aborsi, gak mau," dia terus berteriak. "Lepas Dokter, aku gak mau aborsi," tangisnya pecah saat itu juga.
"Kenapa gak mau? Bukankah kamu yang minta aborsi?"
"Engak, aku gak mau." Alula menggeleng sambil sesenggukan.
"Kenapa? Takut mati?"
"Aku gak mau jadi pembunuh, apalagi membunuh anakku sendiri."
Aydin menarik Alula kearah mobil lalu membukakannya pintu. "Masuklah."
"A-aku pulang sendiri saja." Dia masih takut Aydin mau memaksanya aborsi.
"Masuk," bentak Aydin.
Gadis itu akhirnya menurut, masuk kedalam mobil. Aydin menarik sabuk pengaman lalu memasangkannya pada Alula. "Tunggu sebentar, barangku masih ketinggalan didalam." Melihat Alula mengangguk, Aydin kembali menutup pintu lalu masuk kedalam.
Tak sampai 10 menit, Aydin sudah kembali ke dalam mobil. Menyodorkan sesuatu pada Alula, print out USG janin mereka.
"Aku minta diprint 2. Buat kamu dan aku."
Alula menatap foto USG yang ada ditangan kanannya tersebut dengan mata berkaca-kaca. Sementara tangan kirinya, bergerak mengusap perut. Dia menyayangi anak itu. Kalaupun Dokter Aydin tak mau tanggung jawab, akan dia besarkan sendiri anak itu.
Aydin menyalakan mesin, melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumah Dokter Laila.
"Kita akan menikah."
Alula langsung menoleh mendengar kata itu. "Me-menikah?"
"Iya."
"Ta-tapi bukankah Mas dokter tak mau tanggung jawab?"
"Kapan aku bilang tak mau tanggung jawab? Apa kau pikir, yang tadi benar-benar klinik aborsi?" Melihat Alula mengangguk, Aydin langsung tersenyum. "Aku tidak sejahat itu, sampai mau membunuh anakku sendiri. Dokter Laila itu spesialis kandungan di rumah sakit aku magang dulu. Kami lumayan dekat, makanya berani ngajak kamu kesini."
"Dia bukan dokter abal-abal yang biasanya melakukan aborsi?"
"Bukanlah."
"Tapi kenapa tempat prakteknya mencurigakan? Tak ada satupun pasien yang datang kesana."
"Makanya budayakan membaca. Didepan tadi sudah tertera hari apa saja praktik buka. Dan hari ini, beliau tutup, makanya tak ada pasien. Hari ini cuma spesial meriksa kamu saja."
Alula tertawa sekaligus meneteskan air mata. Rugi dia ketakutan seperti tadi, nyatanya hanya di prank. Padahal dia pikir, besok dia hanya tinggal nama.
"Ini sudah malam, anak SMA kayak kamu keluyuran, apa gak dicariin sama orang tua kamu?"
Alula menggeleng, "Papaku dinas diluar kota. Mamaku, mana peduli," dia tersenyum getir. "Mungkin dia malah berharap aku tak pulang selamanya."
"Tidak ada orang tua yang seperti itu."
"Ada, mamaku seperti itu."
"Nama kamu Alula kan?" Aydin teringat saat tadi Dokter Laila menanyakan nama Alula. "Kamu apanya Eliza?"
"Adiknya."
"Hah."
"Gak usah kaget gitu," Alula tersenyum kecut melihat ekspresi Aydin. "Gak mirip sama sekalikan? Semua orang juga bilang gitu."
Eliza memang pernah cerita kalau dia punya adik. Tapi Aydin tak menyangka jika Alula adalah adiknya. Awalnya dia pikir, Alula adalah saudara Eliza yang kebetulan tinggal dirumahnya. Wajah mereka sungguh tak ada mirip-miripnya sama sekali.
Kruyuk kruyuk
Alula tersenyum malu saat perutnya bersuara. Sejak siang tadi, dia memang belum makan.
"Lapar?" tanya Aydin.
"Banget."