NovelToon NovelToon
Hanum: Istri Cacat Dari Desa

Hanum: Istri Cacat Dari Desa

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Konflik etika / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Penyesalan Suami
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Tinta Hitam

Demi menghindari perjodohan, Cakra nekat kabur ke sebuah vila- milik keluarga sahabatnya yang terletak di daerah pelosok Bandung.

Namun, takdir malah mempertemukannya dengan seorang gadis dengan kondisi tubuh yang tidak sempurna bernama Hanum.

Terdesak karena keberadaannya yang sudah diketahui, Cakra pun meminta pada Hanum untuk menikah dengannya, supaya orang tuanya tak ada alasan lagi untuk terus memaksa menjodohkannya.

Hanum sendiri hanyalah seorang gadis yatim piatu yang sangat membutuhkan sosok seorang pelindung. Maka, Hanum tidak bisa menolak saat pria itu menawarkan sebuah pernikahan dan berjanji akan mencintainya.

Lalu, apa yang akan Cakra lakukan saat ia mengetahui bahwa perempuan yang akan di jodohkan dengannya itu adalah sosok yang ia cintai di masa lalu?

Lantas bagaimana nasib Hanum kedepannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tinta Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kesedihan Cakra

Plak!

Suara tamparan itu begitu nyaring, membuat beberapa orang asing yang berada tak jauh dari depan ruangan IGD langsung tertarik perhatiannya.

"Semua ini gara-gara kamu, Cakra! Gara-gara kamu!" teriak Liliana dengan wajah yang sudah sangat merah dan sembab, akibat tidak berhenti menangis.

"Kalau saja kamu tidak menuduh kami dan menuruti saja permintaan kami, mungkin saja Papa kamu tidak akan sampai masuk ke dalam sana, Cakra! Ini gara-gara kamu!!!" Liliana mengguncang kedua bahu Cakra yang hanya terdiam pasrah.

"Udah, Ma. Ini di rumah sakit. Banyak orang-orang yang liatin kesini." Cecilia menengahi seraya mencoba menarik mundur mamanya.

Namun, Liliana menyentak putrinya itu. Lalu menatap Cakra tajam seraya menunjuk tepat di wajahnya. "Kalau sampai terjadi apa-apa sama papa kamu, mama gak akan pernah maafin kamu, Cakra! Gak akan pernah! Camkan itu!" lantas Liliana memunggungi putranya itu dengan isak tangis.

Deg!

Cakra menatap punggung mamanya seketika. "Ma-"

"Pergi," usir Liliana pelan, menahan emosinya agar tidak meledak lagi.

"Ma, maafin Cakra ma-"

"Mama bilang pergi!" tapi Liliana tak bisa mengontrol kemarahannya.

"Cakra, sebaiknya kamu pergi dulu. Emosi mama lagi gak stabil." pinta Cecilia dengan selembut mungkin.

Cecilia tak ikutan marah pada adiknya ini, karena Cecil tahu siapa yang salah di sini. Namun, Cecil memilih untuk tidak menyalahkan siapapun.

Dengan enggan, Cakra pun mengangguk. Lalu pergi dari sana dengan perasaan bersalah yang semakin mencokol di dadanya.

Tak lama kemudian seorang dokter setengah baya keluar. "Dengan keluarga Pak Arya?" tanyanya profesional.

"Damar, gimana keadaan suami saya?" tanya Liliana langsung karena saking khawatirnya.

Dokter yang dipanggil Damar itu tak lain adalah sahabat suaminya sendiri saat sekolah menengah dulu. Damar tersenyum tipis, "tidak perlu khawatir, Arya hanya mengalami serangan jantung biasa. Untuk saat ini keadaannya stabil. Tapi jika sampai terus terulang lagi, itu akan menjadi sangat berbahaya. Jadi, saya harap, jangan pernah membuat emosinya naik apalagi sampai membuat amarahnya meledak, karena itu sangat tidak baik untuk keadaan jantungnya saat ini." jelas Damar panjang lebar.

Liliana, Cecilia dan Matthew pun mengangguk mengerti.

"Apa boleh, sekarang saya lihat suami saya?"

"Lebih baik nanti saja setelah Arya dipindahkan ke ruang rawat."

Liliana mengerti, "ah, iya, terimakasih Damar."

Damar pun mengangguk. "Kalau begitu saya pamit terlebih dulu, masih ada pasien yang harus saya tangani. Permisi." katanya, lalu berlalu dari sana meninggalkan ketiga orang itu yang menghela nafas lega.

Hanum kelimpungan sendiri di apartement karena Cakra masih belum kembali sejak kepergiannya sore tadi- yang katanya ingin menemui orangtuanya.

Namun, hingga sekarang suaminya itu belum juga kembali, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam lebih.

Ditelpon pun handphonenya tidak aktif. Membuat Hanum semakin mengkhawatirkan pria itu.

"Cakra, kamu kemana sih?" gumam Hanum seraya tidak berhenti matanya bolak-balik melihat ke arah pintu. Berharap pintu itu segera terbuka dan muncullah suaminya disana.

Tak lama kemudian, pintu pun akhirnya terbuka dan masuklah Cakra dengan keadaannya yang terlihat tidak baik-baik saja.

"Cakra!" panggil Hanum dengan perasaannya yang lega. Hanum hendak berdiri, namun, Cakra sudah lebih dulu menghampirinya.

Cakra tersenyum tipis walaupun terlihat di paksakan. "Maaf, aku perginya lama." katanya seraya duduk di samping istrinya.

Hanum memperhatikan wajah Cakra yang terlihat kusut, matanya sembab seperti habis menangis. "Kamu kenapa? Kamu nangis?" tanya Hanum khawatir seraya mengelus pelan kedua pipi suaminya, lalu menyugar rambut Cakra yang menghalangi keningnya.

Cakra menggeleng, walaupun hanyalah sia-sia.

"Jangan bohong. Kamu kenapa? Cerita sama aku?" desak Hanum.

Cakra pun menurunkan pandangannya, tak sanggup menatap mata Hanum yang melihatnya penuh perhatian.

"Papa masuk rumah sakit.." bisik Cakra yang masih bisa terdengar jelas.

Terdiam sesaat, Hanum pun bertanya, "kenapa?"

Cakra mengangkat pandangannya lagi, "gara-gara aku," katanya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Maksudnya?" Hanum masih tak mengerti.

Mata Cakra memanas, "Papa serangan jantung, dan itu karena aku." Cakra tak kuasa menahan air matanya. Ia pun tergugu lalu menopang kan keningnya di bahu Hanum.

Hanum memilih tak bertanya lagi, dengan ragu ia membawa Cakra ke pelukannya, lalu mengusap punggung suaminya itu dengan ... sayang.

Cakra pun membalas pelukan itu dengan erat, lalu menyusupkan wajahnya disela leher Hanum, membuat Hanum merasa kegelian karena nafas Cakra yang menerpa langsung kulit lehernya.

"Udah, gapapa. Pa-papa pasti baik-baik aja." kata Hanum menenangkan dan Cakra pun meresponnya dengan anggukan kecil.

Hening mengambil alih, Hanum hanya diam membiarkan Cakra menangis di pelukannya.

"Gapapa, gapapa," ucap Hanum lagi seraya menepuk-nepuk kepala Cakra, pelan, layaknya menenangkan anak kecil. Lagian, Hanum tidak tahu cara memenangkan orang dewasa yang sedang menangis itu, harus seperti apa?

"Kamu udah makan?" tanya Hanum setelah keheningan itu mengambil alih beberapa saat.

Masih dalam pelukan, Cakra menggeleng. Kepalang betah karena aroma leher Hanum begitu menenangkan baginya.

"Kalo gitu makan dulu, ya. Mau nasi goreng? Aku buatin. Kebetulan tadi aku masak nasi." tawarnya yang langsung di respon gelengan.

Hanum mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa gak mau? Nanti kamu sakit, loh. Tadi aja makan nasi padang nya cuman dikit. Malah aku yang di suruh abisin."

Cakra tersenyum tipis tanpa Hanum ketahui.

Karena tak merespon membuat Hanum bertanya lagi, "terus mau makan apa? Kalo ada bahan-bahannya aku masakin,"

"Mau cium," jawab Cakra pelan, yang tentunya masih bisa didengar jelas oleh Hanum.

Tapi tetap saja Hanum dibuat nge-lag. Apa dirinya tidak salah dengar?

"Ci-cium?" tanyanya tergagap.

"Hm,"

"Kalo kamu gak mau gapapa, aku gak akan maksa." kata Cakra, "tapi biar aku aja yang cium kamu." lanjutnya seraya mengangkat wajahnya.

"Apa?-" ucapan Hanum terhenti karena Cakra sudah lebih dulu membungkam bibirnya dengan bibirnya sendiri. Awalnya hanya menempel lama. Karena Hanum tak menolak, Cakra pun merubah ciuman biasa itu menjadi lumatan yang semakin lama semakin panas.

Saat merasakan dirinya hampir kehabisan oksigen, Hanum dengan sekuat tenaga mendorong dada Cakra, membuat Cakra terpaksa menjauhkan bibirnya.

Dengan terengah-engah, Hanum meraup udara sebanyak-banyaknya. Hanum menyeka bibirnya yang basah dan terasa panas.

"Maaf, aku kelepasan." kata Cakra merasa bersalah, tapi tidak menyesal sama sekali.

Hanum sendiri tidak marah, ia hanya ... gugup. Cakra begitu menyeramkan barusan, seperti predator yang sedang kelaparan?

"Maaf, ya, bibir kamu bengkak." Cakra menyentuh sudut bibir Hanum dengan perasaan sesal. Tapi enak.

"Eng-enggak papa, kok!" jawab Hanum cepat seraya memalingkan wajah. Wajahnya yang sudah memerah malah semakin memerah sampai ke telinganya.

Cakra yang sadar istrinya tengah gugup pun, kini malah merasa gemas.

"Kamu- kamu se-sebaiknya mandi dulu. Aku-aku mau masak dulu-"

"Jangan." larang Cakra langsung. "Lagian ini udah malam. Kita pesen aja."

Hanum pun tak menolak dan hanya mengangguk pelan. Sejujurnya ia hanya ingin segera menjauh dari Cakra. Ia sedang malu dan ingin segera sembunyi untuk menutupi rasa malunya itu.

"Kalo gitu aku mandi dulu ya. Kamu yang pesen makannya. Apa aja boleh. Pake hp aku." Cakra menyodorkan handphonenya yang langsung diambil oleh Hanum.

Setelah kepergian suaminya itu. Hanum langsung menghela nafas lega seraya mengipasi wajahnya yang terasa sangat panas.

Hanum belum terbiasa dengan perlakuan Cakra yang seperti itu. Itu terasa mengerikan bagi Hanum yang asalnya hanyalah gadis kampung yang tidak tahu menahu aktifitas seperti itu.

JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN

1
Marwan Hidayat
lanjut kak semakin seru ceritanya 🤩
Tinta Hitam: siap kak, maksih ya
total 1 replies
Marwan Hidayat
lanjutkan thor
Tinta Hitam: siap kak, terimakasih sudah membaca ceritaku ini
total 1 replies
Marwan Hidayat
lanjut kak
Tinta Hitam: siap kak
total 1 replies
Marwan Hidayat
ceritanya sangat bagus, rekomendasi deh buat yang suka baca novel
Tinta Hitam: terimakasih
total 1 replies
Lina Zascia Amandia
Tetap semangat.
Lina Zascia Amandia: Sama2.
Tinta Hitam: makasih kak sudah mampir 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!